Kiat Menciptakan Iklim
Belajar Sastra yang Kondusif dengan Pendekatan Keterampilan Proses
Yasnur Asri
Abstract:
This article describes technical words used to create a conducive teaching and
learning atmosphere by using a process approach in the teaching of literature.
It is expected that by applying the suggestions written in this article, the
quality of teaching literature and appreciation to literary works will be
improved so that the minimal competencies as required in the curriculum can be
met. It is realized that a conducive learning atmosphere is a significant
learning variable that contributes to students, literary appreciation.
Key words: iklim belajar, apresiasi sastra, pendekatan
keterampilan proses.
PENDAHULUAN
Ada sejumlah argumentasi yang mendasari
diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar
apresiasi bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Sejumlah argumentasi itu
adalah: (1) guru tidak mungkin mengajarkan semua fakta, konsep prinsip sastra
yang selalu berkembang ; (2) peserta didik akan lebih mudah memahami fakta,
konsep dan prinsip sastra jika mereka sendiri yang menemukannya; (3) penemuan
dalam bidang-bidang ilmu, termasuk ilmu sastra bersifat relatif tidak mutlak;
dan (4) pengembangan konsep tidak bisa dilepaskan dari pengembangan sikap dan
nilai dalam diri peserta didik (Semiawan dkk., 1985: 14-16).
Alasan lain yang juga cukup relevan
mengapa pendekatan keterampilan proses diterapkan dalam pengajaran sastra
adalah sebagai berikut. Pertama, dalam kurikulum bidang studi bahasa dan sastra
Indonesia untuk SMU secara eksplisit dijelaskan bahwa PBM dilaksanakan dengan
lebih banyak mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bergaul dengan
karya sastra. Dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses, peserta didik
akan mempunyai peluang dan kemerdekaan untuk belajar dan menggauli karya sastra
dengan seakrab-akrabnya. Kedua, tujuan pengajaran sastra di SMU adalah agar
peserta didik dapat mengenal, memahami, dan dapat mengekspresikan sastra
Indonesia serta dapat mengkomunikasikannya secara tulisan/lisan. Berdasarkan
rumusan tujuan itu, tentu aspek
apresiasi merupakan tekanan pokok. Apresiasi peserta didik
tidak akan tumbuh dengan paksaan guru. Dengan dasar pemikiran ini jelas
pendekan keterampilan proses dapat dijadikan sebagai pemicu sistem pengajaran
yang diindoktrinasikan guru (Suyitno, 1985, Nadeak 1985, dan Rosyana, 1989).
Pendek kata dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses dalam PBM
apresiasi sastra, peserta didik akan terhindar dari bius indoktrinasi guru,
karena ia mempunyai kebebasan untuk memberikan penafsiran dan penghayatan
terhadap karya yang diapresiasikannya. Hal yang seperti inilah yang diharapkan
dari pengajaran apresiasi sastra, yaitu agar tercipta masyarakat sastra yang
apresiatif dan kreatif di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mewujudkan masyarakat
sastra yang seperti itu diperlukan keaktifan peserta didik dalam proses
belajar, baik secara fisik maupun mental. Ketiga, Apabila dikaitkan dengan
akikat komunikasi dalam sastra yang unsur-unsurnya meliputi penciptaan, medium,
pesan dan penikmat atau pembaca, kehadiran pendekatan keterampilan proses yang
diwujudkan dalam CBSA (bukan pendekatan dari Catat Buku Sastra Abis) sangat
memungkinkan terciptanya kontak yang optimal antarkomponen komunikasi sastra
itu. Keaktifan peserta didik dalam membaca, menyelidiki, menginterprestasi
karya sastra secara langsung akan memungkinkan tenvujudnya komunikasi sastra
yang mesra (Widdowson, 1979: 47-70) dengan iklim PBM yang kondusif seperti ini
peserta didik sebagai insan sastra akan dapat melakukan kegiatan apresiasi dan
ekspresi sastra secara kreatif dan kontinu. Keempat, jika kita masih konsisten
dengan paham bahwa sastra adalah warisan kultural, ranah pengembangan kemampuan
apresiasi, kumpulan pengajaran moral, dan himpunan visi budaya yang berkonsep
realitas (Gani: 1989: 1-4) maka keberadaan pendekatan keterampilan proses yang
dijiwai CBSA sangat menguntungkan. Melalui kegiatan membaca, menyimak, dan
melihat pembacaan puisi, serta pementasan drama, para peserta didik diharapkan
bisa menghayati warisan budaya yang berupa sastra, dapat mengembangkan
kemampuan apresiasinya, dapat menggali ajaran moral yang terkandung di
dalamnya, dan dapat memahami dan menghayati visi budaya yang tersembunyi dalam
karya sastra. Kelima, bila dikaitkan dengan landasan pengajaran sastra, seperti
yang dikemukakan Rusyana (1989: 11-15), yaitu teori sastra, hasil sastra, dan
ilmu pendidikan, maka pendekan keterampilan proses pun dapat dijadikan
"senjata pemungkas".
Bahan pengajaran sastra harus berlandaskan pada telaah ilmu
sastra. Setelah peserta didik mempelajari bahan pengajaran sastra itu, mereka
diharapkan dapat mengolah perolehannya sehingga bermanfaat, baik bagi
kepentingan praktis maupun teoretis. Untuk kepentingan praktis, misalnya,
peserta didik akan dapat meningkatkan kemampuan apresiasinya, sedangkan untuk
kepentingan teoretis, peserta didik akan
dapat menambah wawasan keilmuan sastranya.
Kontak langsung dengan karya sastra
merupakan prasyarat terjadinya kegiatan apresiasi. Wujud kontak langsung dengan
karya sastra dapat dilakukan dengan metode M5, yaitu mendengar/ menonton,
membaca, mengekspresikan/ mengoralkan, menafsirkan, dan menuliskan hasil
tafsiran (Santosa 1991: 8). Untuk melakukan kegiatan seperti ini tentu diperlukan
kreativitas peserta didik sendiri, baik secara fisik maupun mental. Kadar
kreativitas yang seperti ini akan dapat dioptimalkan dengan menerapkan
pendekatan keterampilan proses melalui CBSA. Menurut kaca mata ilmu pendidikan,
kreativitas dan keaktifan peserta didik dalam PBM apresiasi sastra diperlukan
guru yang percaya pada sastra dan anak, untuk mengaktifkan peserta didik dalam
kegiatan PBM apresiasi sastra. Dengan tipe guru yang seperti ini, pemahamanan
peserta didik terhadap karya sastra akan lebih mantap dan tahan lama, karena
mereka terlibat secara langsung dengan
mendalami sendiri setiap karya sastra yang diapresiasikan.
Itulah beberapa argumentasi mengapa
pendekatan keterampilan proses perlu dimasyarakatkan dalam PBM termasuk PBM
apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Permasalahannya bagi kita sekarang tentu
berkaitan dengan cara mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam kegiatan
belajar-mengajar. Uraian berikut akan menyajikan tentang cara menerapkan
pendekatan tersebut dalam pengajaran sastra, seperti dalam perencanaan,
pelaksanaan maupun dalam evaluasi dan tindak lanjut.
KIAT PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DALAM PENGAJARAN
APRESIASI SASTRA
Pelaksanaan pengajaran sastra
merupakan aktualisasi rencana pengajaran sastra yang telah disusun, di dalam
atau di luar kelas. Dalam pelaksanaan pengajaran sastra inilah komponenkomponen
pengajaran akan terlibat dan berinteraksi secara nyata. Keterlibatan dan
interaksi antarkomponen ini baru dapat terlaksana dengan menggunakan pendekatan
yang sesuai, dalam hal ini adalah pendekatan keterampilan proses.
Untuk mewujudkan pendekatan
keterampilan proses dalam pengajaran sastra diperlukan strategi, metode, dan
teknik pengajaran yang tepat. Salah satu strategi yang tepat untuk mewujudkan
pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran sastra (tidak tertutup
kemungkinan untuk pengajaran bidang studi lainnya) adalah strategi CBSA. Dengan
menggunakan strategi CBSA peserta didik akan lebih leluasa berperan serta dan
terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dengan bimbingan guru
melalui aktivitas-aktivitas membaca, mengamati atau mengobservasi, menafsirkan,
meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan segala sesuatu yang telah digali
dan diperolehnya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Maksudnya, peserta
didik dapat mewujudkannya melalui kegiatan seperti pementasan drama, pembacaan
puisi, pembacaan cerita pendek, diskusi sastra, dialog sastra, dan lain-lain
(Setiawan, 1985: 9-13). Iklim belajar-mengajar seperti itu akan terwujud mana
kala komponen-komponen pengajaran yang terlibat menjalankan peran dan fungsinya
secara profesional.
Guru dalam pelaksanaan pengajaran
sastra yang diwarnai pendekatan keterampilan proses akan menjalankan peran dan
fungsinya sebagai fasilitator, dinamisator, organisator dan menjaga iklim
mengajar yang hidup dengan menggunakan metode atau teknik mengajar yang
relevan, misalnya dengan teknik diskusi, tanga jawab, penugasan dan latihan.
Campur tangan guru dalam proses belajar mengajar yang demikian itu sematamata
hanya membantu dan menunjukkan jalan serta "mengendapkan" proses agar
lebih terasa sejalan dengan rencana yang telah digariskan. Pada sisi lain,
peserta didiklah yang berperan aktif dalam proses belajar mengajar dengan
memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia. Keaktifan peserta didik tidak
terbatas di dalam kelas semata melainkan juga di luar kelas. Dalam kaitan ini
peserta didik dapat memanfaatkan lingkungan sekitarnya secara maksimal sebagai
sumber belajar.
Komunikasi yang diharapkan dalam
melaksanakan pengajaran sastra yang diwarnai oleh pendekatan keterampilan
proses adalah komunikasi yang optimal, baik antara guru dengan peserta didik
maupun peserta didik dengan peserta didik secara timbal balik. Lebih jauh
komunikasi itu bukan hanya antara guru-peserta didikdan peserta didikpeserta
didik tetapi meliputi guru-teks atau sumber belajar lain. Dengan komunikasi
yang demikian ini, kemungkinan peserta didik untuk berproses secara aktif untuk
menemukan sesuatu dan mengolahnya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Dalam pelaksanaan pengajaran
apresiasi sastra hubungan antara pembaca dengan wacana sastra sangat penting.
Ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt (Gani, 1989: 11-17) yang ditegaskan
dalam menggali makna hubungan antara pembaca dengan wacana sangat penting.
Padangan Rosenblatt ini akan melahirkan empat prinsip yang sesuai dengan
pendekatan keterampilan proses. Empat prinsip itu adalah: (i) peserta didik
harus di beri kesempatan untuk melahirkan kreasinya sendiri; (ii) peserta didik
harus diberi kebebasan untuk membentuk kristalisasi rasa personalnya terhadap
wacana sastra yang dihadapinya; (iii) guru harus berusaha menemukan butir-butir
persamaan diantara pendapat-pendapat peserta didiknya; dan (iv) pengaruh guru
haruslah berupa elaborasi dari pengaruh-pengaruh utama yang inheren di dalam
sastra itu sendiri. Implikasi lebih lanjut dalam pengajaran apresiasi sastra
adalah bahwa makna sastra harus di tentukan oleh peserta didik,
sedangkan guru, kritikus, atau peserta didik yang lain dapat
saja membantunya, tetapi tidak membuat makna sastra untuk peserta didikkutan
(Gani, 1978: 11). Dengan demikian, kelas sastra akan menjadi ajang bagi peserta
didik untuk beradu pendapat, bersambung rasa dengan nilai-nilai dalam wacana
sastra yang dibacanya. peserta didik akan menyerap dan mengendapkan temuan dan
hasil diskusinya menurut pandangan personalnya masing-masing. Hal yang seperti
ini bermanfaat dan menarik bagi peserta didik dalam mepelajari sastra.
Pada sisi lain, bila kita kaitkan
dengan kriteria interprestasi sastra, kehadiran pendekatan keterampilan proses
dalam pelaksanaan pengajaran sastra sangat menunjang. Adanya kebebasan bagi
peserta didik untuk memaknai sastra yang dibacanya akan memungkinkan akan
terpenuhinya interprestasi (Gani, 1978: 118-159). Dalam hubungan ini kehadiran
teknik diskusi dan tanga jawab akan memperkuat atau melengkapi temuantemuan,
sehingga pemahaman mereka akan semakin lengakp dan komprehensif. Di samping itu
dalam kesempatan ini peserta didik diminta untuk mengemukakan
pengalaman-pengalamnya selama bercengkrama dengan karya sastra, misalnya
bagaimana cara menemukan suatu tema, penokohan, atau unsur-unsur keindahan
lainnya yang telah ditemukan dalam suatu cerpen atau novel atau karya sastra
yang lain. Mereka dapat berbagi pengalaman sehubungan dengan proses penemuannya
itu. Juga diharapkan peserta didik dengan dibantu guru ala kadarnya dapat
mengolah segala sesuatu yang telah diperolehnya itu (atau telah diperoleh
sebelumnya) pada situasi lain yang mirip atau dalam kehidupan seharti-hari. Hal-hal
yang seperti ini tidak kalah pentingnya dengan basil temuan itu sendiri. Dengan
perkataan lain, cara menemukan, temuan, pengolahan hasil temuan yang telah
digali dari karya sastra sama-sama penting sehingga perlu mendapat perhatian
baik oleh guru maupun oleh peserta didik itu sendiri.
Agar pelaksanaan pengajaran sastra
lebih terarah perlu dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS). LKS dimaksudkan
untuk membimbing peserta didik melakukan aktivitas apresiasi sastra berdasarkan
rencana yang telah ditentukan. Artinya, lembar kerja itu berisi kegiatan atau
aktivitas yang harus dilakukan peserta didik selama pengajaran sastra
berlangsung. Dengan adanya LKS ini, guru dapat mengamati dan sekaligus menilai
keseriusan dan tingkat apresiasi peserta didik dijadikan sarana pendidikan
homaniora atau mental spritual. Jika ditilik secara kultural, jika peserta
didik yang kreatif clan dinamis akan dapat mentransmasikan nilai kebudayaan
dari satu generasi berikutnya, berdasarkan kesinambungan clan penyimpangan yang
ada. Ini tidak akan terwujud manakala peserta didik tidak mengenal clan bergaul
dengan karya sastra yang nota benenya berisi visi kultual itu. Untuk itu
diperlukan kiat PBM yang kondusif sehingga peserta didik dapat mengenal clan
memahami pantulan nilai-nilai yang diungkapkan karya sastra tersebut.
Pendekatan keterampilan proses
merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat dimanfaatkan guru
untuk menciptakan iklim belajar sastra kondusif, yaitu iklim belajar yang
terbebas dari virus-virus yang membelenggu peserta didik untuk berapresiasi
clan berekspresi terhadap nilai-nilai karya sastra. Mudah-muclahan dengan kiat
ini, pengajaran sastra akan lebih hidup clan semarak. Peserta didik akan dapat
menghindarkan diri dari khotbah-khotbah guru tentang sastra clan pengajaran
sastra tidak akan menjadi pengajaran tentang dunia antah barantah. Kemudian
dengan kiat ini siswa akan terlibat secara aktif clan kreatif dalam memberi
makna wacana sastra yang dipelajarinya, sehingga temuan nilainilai yang
diperoleh melalui pergaulan secara akrab dengan karya sastra akan menjadi bekal
yang bermanfaat baginya dalam meniti kehidupan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Moody, H.L.B. 1971 The Theaching of Literature in Developing
Countris. London: Longman Group Ltd.
Nadeak, Wilson. 1975.
Pengajaran Apresiasi Puisi untuk Sekolah
Lanjutan Atas. Bandung: Sinar Baru.
Olsen, Stein Hougon.
1978. The Structur of Literaru
Understanding. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahmanto, B 1982. :Mencari Model Pengembangan Masyarakat Sastra
di SMA dalam Sudiroatmadja, M.H. & Rahmanto, M.H. Bakti Gatra.
Yogyakarta: FKSS IKIP Sanata Dharma.
---------- 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Rusyana, Yus. 1989.
"Pengajaran Sastra Indonesia di SMA". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.
Santoso, Puji. 1991.
"Berbagai Isu Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah". Makalah PILNAS HISKI V. Bandung: HISKI
clan Unpad.
Semiawan, dkk. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta:
Gramedia.
Suyitno. 1985. Teknik-teknik Pengajaran Sastra clan
Keterampilan Berbahasa. Yogyakarta: Hanindita.
Depdikbud. 1982. Konsep CBSA clan Berbagai Strategi B-M.
Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
Widdowson, H.G. 1979.
Stylistics and The Theaching of
Literature. London: Longman Group Ltd
Gani, Rizanur. 1989.
"Wawasan Pengajaran Sastra Indonesia". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.
Artikel diterbitkan pada Jurnal Bahasa dan Seni Vol.6, No.2,
tahun 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar