Selasa, 21 Februari 2012


Kiat Menciptakan Iklim Belajar Sastra yang Kondusif dengan Pendekatan Keterampilan Proses

Yasnur Asri

Abstract: This article describes technical words used to create a conducive teaching and learning atmosphere by using a process approach in the teaching of literature. It is expected that by applying the suggestions written in this article, the quality of teaching literature and appreciation to literary works will be improved so that the minimal competencies as required in the curriculum can be met. It is realized that a conducive learning atmosphere is a significant learning variable that contributes to students, literary appreciation.
Key words: iklim belajar, apresiasi sastra, pendekatan keterampilan proses.


PENDAHULUAN

Ada sejumlah argumentasi yang mendasari diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar apresiasi bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Sejumlah argumentasi itu adalah: (1) guru tidak mungkin mengajarkan semua fakta, konsep prinsip sastra yang selalu berkembang ; (2) peserta didik akan lebih mudah memahami fakta, konsep dan prinsip sastra jika mereka sendiri yang menemukannya; (3) penemuan dalam bidang-bidang ilmu, termasuk ilmu sastra bersifat relatif tidak mutlak; dan (4) pengembangan konsep tidak bisa dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri peserta didik (Semiawan dkk., 1985: 14-16).
Alasan lain yang juga cukup relevan mengapa pendekatan keterampilan proses diterapkan dalam pengajaran sastra adalah sebagai berikut. Pertama, dalam kurikulum bidang studi bahasa dan sastra Indonesia untuk SMU secara eksplisit dijelaskan bahwa PBM dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bergaul dengan karya sastra. Dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses, peserta didik akan mempunyai peluang dan kemerdekaan untuk belajar dan menggauli karya sastra dengan seakrab-akrabnya. Kedua, tujuan pengajaran sastra di SMU adalah agar peserta didik dapat mengenal, memahami, dan dapat mengekspresikan sastra Indonesia serta dapat mengkomunikasikannya secara tulisan/lisan. Berdasarkan rumusan tujuan itu, tentu aspek
apresiasi merupakan tekanan pokok. Apresiasi peserta didik tidak akan tumbuh dengan paksaan guru. Dengan dasar pemikiran ini jelas pendekan keterampilan proses dapat dijadikan sebagai pemicu sistem pengajaran yang diindoktrinasikan guru (Suyitno, 1985, Nadeak 1985, dan Rosyana, 1989). Pendek kata dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses dalam PBM apresiasi sastra, peserta didik akan terhindar dari bius indoktrinasi guru, karena ia mempunyai kebebasan untuk memberikan penafsiran dan penghayatan terhadap karya yang diapresiasikannya. Hal yang seperti inilah yang diharapkan dari pengajaran apresiasi sastra, yaitu agar tercipta masyarakat sastra yang apresiatif dan kreatif di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mewujudkan masyarakat sastra yang seperti itu diperlukan keaktifan peserta didik dalam proses belajar, baik secara fisik maupun mental. Ketiga, Apabila dikaitkan dengan akikat komunikasi dalam sastra yang unsur-unsurnya meliputi penciptaan, medium, pesan dan penikmat atau pembaca, kehadiran pendekatan keterampilan proses yang diwujudkan dalam CBSA (bukan pendekatan dari Catat Buku Sastra Abis) sangat memungkinkan terciptanya kontak yang optimal antarkomponen komunikasi sastra itu. Keaktifan peserta didik dalam membaca, menyelidiki, menginterprestasi karya sastra secara langsung akan memungkinkan tenvujudnya komunikasi sastra yang mesra (Widdowson, 1979: 47-70) dengan iklim PBM yang kondusif seperti ini peserta didik sebagai insan sastra akan dapat melakukan kegiatan apresiasi dan ekspresi sastra secara kreatif dan kontinu. Keempat, jika kita masih konsisten dengan paham bahwa sastra adalah warisan kultural, ranah pengembangan kemampuan apresiasi, kumpulan pengajaran moral, dan himpunan visi budaya yang berkonsep realitas (Gani: 1989: 1-4) maka keberadaan pendekatan keterampilan proses yang dijiwai CBSA sangat menguntungkan. Melalui kegiatan membaca, menyimak, dan melihat pembacaan puisi, serta pementasan drama, para peserta didik diharapkan bisa menghayati warisan budaya yang berupa sastra, dapat mengembangkan kemampuan apresiasinya, dapat menggali ajaran moral yang terkandung di dalamnya, dan dapat memahami dan menghayati visi budaya yang tersembunyi dalam karya sastra. Kelima, bila dikaitkan dengan landasan pengajaran sastra, seperti yang dikemukakan Rusyana (1989: 11-15), yaitu teori sastra, hasil sastra, dan ilmu pendidikan, maka pendekan keterampilan proses pun dapat dijadikan "senjata pemungkas".
Bahan pengajaran sastra harus berlandaskan pada telaah ilmu sastra. Setelah peserta didik mempelajari bahan pengajaran sastra itu, mereka diharapkan dapat mengolah perolehannya sehingga bermanfaat, baik bagi kepentingan praktis maupun teoretis. Untuk kepentingan praktis, misalnya, peserta didik akan dapat meningkatkan kemampuan apresiasinya, sedangkan untuk kepentingan teoretis,  peserta didik akan dapat menambah wawasan keilmuan sastranya.
Kontak langsung dengan karya sastra merupakan prasyarat terjadinya kegiatan apresiasi. Wujud kontak langsung dengan karya sastra dapat dilakukan dengan metode M5, yaitu mendengar/ menonton, membaca, mengekspresikan/ mengoralkan, menafsirkan, dan menuliskan hasil tafsiran (Santosa 1991: 8). Untuk melakukan kegiatan seperti ini tentu diperlukan kreativitas peserta didik sendiri, baik secara fisik maupun mental. Kadar kreativitas yang seperti ini akan dapat dioptimalkan dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses melalui CBSA. Menurut kaca mata ilmu pendidikan, kreativitas dan keaktifan peserta didik dalam PBM apresiasi sastra diperlukan guru yang percaya pada sastra dan anak, untuk mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan PBM apresiasi sastra. Dengan tipe guru yang seperti ini, pemahamanan peserta didik terhadap karya sastra akan lebih mantap dan tahan lama, karena mereka terlibat secara langsung dengan
mendalami sendiri setiap karya sastra yang diapresiasikan.
Itulah beberapa argumentasi mengapa pendekatan keterampilan proses perlu dimasyarakatkan dalam PBM termasuk PBM apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Permasalahannya bagi kita sekarang tentu berkaitan dengan cara mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam kegiatan belajar-mengajar. Uraian berikut akan menyajikan tentang cara menerapkan pendekatan tersebut dalam pengajaran sastra, seperti dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam evaluasi dan tindak lanjut.

KIAT PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DALAM PENGAJARAN APRESIASI SASTRA
Pelaksanaan pengajaran sastra merupakan aktualisasi rencana pengajaran sastra yang telah disusun, di dalam atau di luar kelas. Dalam pelaksanaan pengajaran sastra inilah komponen­komponen pengajaran akan terlibat dan berinteraksi secara nyata. Keterlibatan dan interaksi antarkomponen ini baru dapat terlaksana dengan menggunakan pendekatan yang sesuai, dalam hal ini adalah pendekatan keterampilan proses.
Untuk mewujudkan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran sastra diperlukan strategi, metode, dan teknik pengajaran yang tepat. Salah satu strategi yang tepat untuk mewujudkan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran sastra (tidak tertutup kemungkinan untuk pengajaran bidang studi lainnya) adalah strategi CBSA. Dengan menggunakan strategi CBSA peserta didik akan lebih leluasa berperan serta dan terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dengan bimbingan guru melalui aktivitas-aktivitas membaca, mengamati atau mengobservasi, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan segala sesuatu yang telah digali dan diperolehnya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Maksudnya, peserta didik dapat mewujudkannya melalui kegiatan seperti pementasan drama, pembacaan puisi, pembacaan cerita pendek, diskusi sastra, dialog sastra, dan lain-lain (Setiawan, 1985: 9-13). Iklim belajar-mengajar seperti itu akan terwujud mana kala komponen-komponen pengajaran yang terlibat menjalankan peran dan fungsinya secara profesional.
Guru dalam pelaksanaan pengajaran sastra yang diwarnai pendekatan keterampilan proses akan menjalankan peran dan fungsinya sebagai fasilitator, dinamisator, organisator dan menjaga iklim mengajar yang hidup dengan menggunakan metode atau teknik mengajar yang relevan, misalnya dengan teknik diskusi, tanga jawab, penugasan dan latihan. Campur tangan guru dalam proses belajar mengajar yang demikian itu semata­mata hanya membantu dan menunjukkan jalan serta "mengendapkan" proses agar lebih terasa sejalan dengan rencana yang telah digariskan. Pada sisi lain, peserta didiklah yang berperan aktif dalam proses belajar mengajar dengan memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia. Keaktifan peserta didik tidak terbatas di dalam kelas semata melainkan juga di luar kelas. Dalam kaitan ini peserta didik dapat memanfaatkan lingkungan sekitarnya secara maksimal sebagai sumber belajar.
Komunikasi yang diharapkan dalam melaksanakan pengajaran sastra yang diwarnai oleh pendekatan keterampilan proses adalah komunikasi yang optimal, baik antara guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik secara timbal balik. Lebih jauh komunikasi itu bukan hanya antara guru-peserta didikdan peserta didik­peserta didik tetapi meliputi guru-teks atau sumber belajar lain. Dengan komunikasi yang demikian ini, kemungkinan peserta didik untuk berproses secara aktif untuk menemukan sesuatu dan mengolahnya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Dalam pelaksanaan pengajaran apresiasi sastra hubungan antara pembaca dengan wacana sastra sangat penting. Ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt (Gani, 1989: 11-17) yang ditegaskan dalam menggali makna hubungan antara pembaca dengan wacana sangat penting. Padangan Rosenblatt ini akan melahirkan empat prinsip yang sesuai dengan pendekatan keterampilan proses. Empat prinsip itu adalah: (i) peserta didik harus di beri kesempatan untuk melahirkan kreasinya sendiri; (ii) peserta didik harus diberi kebebasan untuk membentuk kristalisasi rasa personalnya terhadap wacana sastra yang dihadapinya; (iii) guru harus berusaha menemukan butir-butir persamaan diantara pendapat-pendapat peserta didiknya; dan (iv) pengaruh guru haruslah berupa elaborasi dari pengaruh-pengaruh utama yang inheren di dalam sastra itu sendiri. Implikasi lebih lanjut dalam pengajaran apresiasi sastra adalah bahwa makna sastra harus di tentukan oleh peserta didik,
sedangkan guru, kritikus, atau peserta didik yang lain dapat saja membantunya, tetapi tidak membuat makna sastra untuk peserta didikkutan (Gani, 1978: 11). Dengan demikian, kelas sastra akan menjadi ajang bagi peserta didik untuk beradu pendapat, bersambung rasa dengan nilai-nilai dalam wacana sastra yang dibacanya. peserta didik akan menyerap dan mengendapkan temuan dan hasil diskusinya menurut pandangan personalnya masing-masing. Hal yang seperti ini bermanfaat dan menarik bagi peserta didik dalam mepelajari sastra.
Pada sisi lain, bila kita kaitkan dengan kriteria interprestasi sastra, kehadiran pendekatan keterampilan proses dalam pelaksanaan pengajaran sastra sangat menunjang. Adanya kebebasan bagi peserta didik untuk memaknai sastra yang dibacanya akan memungkinkan akan terpenuhinya interprestasi (Gani, 1978: 118-159). Dalam hubungan ini kehadiran teknik diskusi dan tanga jawab akan memperkuat atau melengkapi temuan­temuan, sehingga pemahaman mereka akan semakin lengakp dan komprehensif. Di samping itu dalam kesempatan ini peserta didik diminta untuk mengemukakan pengalaman-pengalamnya selama bercengkrama dengan karya sastra, misalnya bagaimana cara menemukan suatu tema, penokohan, atau unsur-unsur keindahan lainnya yang telah ditemukan dalam suatu cerpen atau novel atau karya sastra yang lain. Mereka dapat berbagi pengalaman sehubungan dengan proses penemuannya itu. Juga diharapkan peserta didik dengan dibantu guru ala kadarnya dapat mengolah segala sesuatu yang telah diperolehnya itu (atau telah diperoleh sebelumnya) pada situasi lain yang mirip atau dalam kehidupan seharti-hari. Hal-hal yang seperti ini tidak kalah pentingnya dengan basil temuan itu sendiri. Dengan perkataan lain, cara menemukan, temuan, pengolahan hasil temuan yang telah digali dari karya sastra sama-sama penting sehingga perlu mendapat perhatian baik oleh guru maupun oleh peserta didik itu sendiri.
Agar pelaksanaan pengajaran sastra lebih terarah perlu dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS). LKS dimaksudkan untuk membimbing peserta didik melakukan aktivitas apresiasi sastra berdasarkan rencana yang telah ditentukan. Artinya, lembar kerja itu berisi kegiatan atau aktivitas yang harus dilakukan peserta didik selama pengajaran sastra berlangsung. Dengan adanya LKS ini, guru dapat mengamati dan sekaligus menilai keseriusan dan tingkat apresiasi peserta didik dijadikan sarana pendidikan homaniora atau mental spritual. Jika ditilik secara kultural, jika peserta didik yang kreatif clan dinamis akan dapat mentransmasikan nilai kebudayaan dari satu generasi berikutnya, berdasarkan kesinambungan clan penyimpangan yang ada. Ini tidak akan terwujud manakala peserta didik tidak mengenal clan bergaul dengan karya sastra yang nota benenya berisi visi kultual itu. Untuk itu diperlukan kiat PBM yang kondusif sehingga peserta didik dapat mengenal clan memahami pantulan nilai-nilai yang diungkapkan karya sastra tersebut.
Pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat dimanfaatkan guru untuk menciptakan iklim belajar sastra kondusif, yaitu iklim belajar yang terbebas dari virus-virus yang membelenggu peserta didik untuk berapresiasi clan berekspresi terhadap nilai-nilai karya sastra. Mudah-muclahan dengan kiat ini, pengajaran sastra akan lebih hidup clan semarak. Peserta didik akan dapat menghindarkan diri dari khotbah-khotbah guru tentang sastra clan pengajaran sastra tidak akan menjadi pengajaran tentang dunia antah barantah. Kemudian dengan kiat ini siswa akan terlibat secara aktif clan kreatif dalam memberi makna wacana sastra yang dipelajarinya, sehingga temuan nilai­nilai yang diperoleh melalui pergaulan secara akrab dengan karya sastra akan menjadi bekal yang bermanfaat baginya dalam meniti kehidupan ini.

DAFTAR RUJUKAN
Moody, H.L.B. 1971 The Theaching of Literature in Developing Countris. London: Longman Group Ltd.
Nadeak, Wilson. 1975. Pengajaran Apresiasi Puisi untuk Sekolah Lanjutan Atas. Bandung: Sinar Baru.
Olsen, Stein Hougon. 1978. The Structur of Literaru Understanding. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahmanto, B 1982. :Mencari Model Pengembangan Masyarakat Sastra di SMA dalam Sudiroatmadja, M.H. & Rahmanto, M.H. Bakti Gatra. Yogyakarta: FKSS IKIP Sanata Dharma.
---------- 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rusyana, Yus. 1989. "Pengajaran Sastra Indonesia di SMA". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.
Santoso, Puji. 1991. "Berbagai Isu Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah". Makalah PILNAS HISKI V. Bandung: HISKI clan Unpad.
Semiawan, dkk. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia.
Suyitno. 1985. Teknik-teknik Pengajaran Sastra clan Keterampilan Berbahasa. Yogyakarta: Hanindita.
Depdikbud. 1982. Konsep CBSA clan Berbagai Strategi B-M. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
Widdowson, H.G. 1979. Stylistics and The Theaching of Literature. London: Longman Group Ltd
Gani, Rizanur. 1989. "Wawasan Pengajaran Sastra Indonesia". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.


Artikel diterbitkan pada Jurnal Bahasa dan Seni Vol.6, No.2, tahun 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar