Senin, 07 Mei 2012
Senin, 30 April 2012
Selasa, 21 Februari 2012
Penerapan High-Tech
dalam Meningkatkan Kreativitas Berbahasa Indonesia Anak Usia Dini (Studi Kasus
pada Taman Kanak-Kanak Dharmawanita UNP)
Yasnur Asri
Abstract: This research aims at describing the implementation of
high-tech in increasing the creativity of using Bahasa Indonesia by pre-school
students of TK Dharmawanita
UNP. The data of this case study is the interaction between teachers and students. First, to train the
mastery of the children vocabularies, interaction model used by the teachers are imitating, mentioning names, telling stories, reading
poems and going picnic. Second, to train the students listening skill,
interaction model used by the teachers are irritating, telling story, answering
questions, doing command and chain whispering. Third, to train the children to
be able to answer and give questions, the interaction model used by the teachers are answering and asking question as well as playing a
role. Fourth, to train the children to be able to tell stories fluently, the
interaction model used by teachers are imitating, mentioning names, assigning,
telling stories, playing a role using teaching materials like real story,
fiction, experience and so on using realia and real objects as the media.
Fifth, to train the children to be able to give information to other people,
the interaction model used by the teachers are imitating task by using
information in sentences, discourse, and real and unreal information based on
the children environtment. Sixth, to train the children to mention as many nouns
having certain characteristics, the interaction model used by the teachers are
showing the objects using teaching materials and their characteristics regarded
important fi)r the children,
Key
words: high-tech, creativity, bahasa Indonesia, kindergarten school
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran adalah proses
artifisial yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan belajar. Pada sisi lain,
belajar dapat dimaknai sebagai suatu aktivitas yang diarahkan pada perubahan
tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan
tingkah laku bukan hanya diterjemahkan sebagai perubahan psikomotor, tetapi
juga kognitif dan afektif termasuk di dalamnya iman dan tagwa dalam rangka
pemuliaan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Lebih dari itu, perubahan
tingkah laku hendaknya terjadi karena usaha individu yang bersangkutan.
Individu (dalam hat ini peserta didik), pendidik menempatkan diri dan berperan
sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan konselor. Dengan demikian, faktor
penentu dalam pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri,
meskipun proses pembelajaran berlangsung dalam konteks
sosial. Oleh sebab itu, inti proses pembelajaran adalah adanya interaksi antarindividu,
antara peserta didik dengan peserta didik lainnya, antara peserta didik dengan
pendidik, dan antara peserta didik serta pendidik dengan lingkungannya.
Pola interaksi pelaku proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh empat hal, yaitu: (1) pendekatan, (2)
strategi, (3) metode, dan (4) teknik pembelajaran (Alschuller, 1994:8-10).
Pendekatan adalah usaha untuk mendekati atau memahami sesuatu sehingga akhirnya
melahirkan (serangkaian) aksioma. Dengan kata lain, pendekatan bersifat
aksiomatis. Strategi adalah pemikiran alternatif serta implikasi atas
alternatif itu untuk menindaklanjuti hasil pendekatan. Strategi bersifat
implikatif. Metode berisi serangkaian langkah atau tindakan yang harus ditempuh
untuk merancang tindakan sesuai dengan perumusan strategi yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, metode itu bersifat prosedural. Teknik
pembelajaran adalah segala sesuatu tindakan pembelajaran yang dilaksanakan
bersama-sama antara peserta didik dan pendidik dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Penerapan teknik pembelajaran bersifat observable atau dapat
dilihat, atau bersifat implementasional. Secara teoretis, ada tiga jenis
strategi pembelajaran. Ketiga jenis strategi itu adalah (a) strategi penyajian
atau penyampaian (presenting strategy), (b) strategi penyanggupan (enabling
strategy), dan (c) strategi penemuan (discovery strategy). Pendayagunaan
pendekatan, strategi, metode, dan teknik dalam proses pembelajaran pada
dasarnya diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran melalui pengembangan
interaksi. Pengembangan interaksi ini akan mengakibatkan adanya pengalaman
belajar (learning arperience).
Zais (1976: 350, Tyler, 1950)
menyebutkan bahwa pembelajaran sebagai pengembangan pengalaman pembelajaran
(learning experience) pada diri peserta didik. Pakar tersebut membedakan antara materi ajar (content),
aktivitas pembelajaran (learning activity), dan pengalaman pembelajaran
(learning experience). Materi ajar merupakan pendorong adanya aktivitas
pembelajaran. Aktivitas pembelajaran, misalnya peserta didik melakukan
aktivitas menyimak, membaca, atau merespons pertanyaan pendidik merupakan
pendorong diperolehnya pengalaman belajar (learning experience) pada diri
peserta didik sehingga pengetahuan, dan pengertiannya berkembang dan tujuan
pembelajaran dapat dicapai. Hal itu dikemukakan Zais (1976: 350) yang mengutip
pendapat Taba (1962), "Learning experiences, and nor the content as such,
are the means for achieving all objectives besides those of knowledge and
understanding.
Lebih lanjut, Zais (1976: 364)
menyatakan bahwa pengalaman pembelajaran itu mencakup tiga jenis.
Pengalaman-pengalaman tersebut adalah: (1) pengalaman sebagai suatu kemampuan,
(2) pengalaman sebagai suatu kebudayaan, dan (3) pengalaman sebagai suatu
minat. Peserta didik dapat dikategorikan memiliki pengalaman sebagai suatu
kemampuan jika peserta didik itu dapat menampilkan suatu kemampuan tertentu.
Dengan kata lain, peserta didik yang mampu mengunjukkan suatu kemampuan berarti
memiliki pengalaman
sesuai dengan apa yang ditunjukkannya. Peserta didik
dikatakan memiliki pengalaman sebagai kebudayaan jika peserta didik tersebut
mampu memahami budaya, kebiasaan, diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Peserta didik dapat keluar dari enkapsulasi atau keterperangkapan pada
kepicikan. Peserta didik dikatakan memiliki pengalaman sebagai suatu minat jika
peserta didik tersebut dapat mengembangkan, menekuni, dan menikmati suatu minat
yang bersifat positif.
Pakar lain, Dewey (2001) menyatakan
bahwa, tugas sekolah adalah memberi pengalaman belajar yang tepat bagi peserta
didik. Selanjutnya, ditegaskan bahwa tugas pendidik adalah membantu peserta
didik menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang
baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang
lama akan melekat pada struktur kognitif peserta didik dan akan menjadi
pengetahuan baru bagi peserta didik tersebut. Pola hubungan antara peserta
didik dengan pendidik dalam konteks itu dinamakan hubungan pendidikan. Dan jika
hubungan pendidikan tersebut terjadi dalam hubungan sosial di antara dua orang
(yaitu peserta didik dan pendidik) dalam upaya mencapai tujuan pendidikan
melalui teraplikasikannya kewibawaan pendidik dan terselenggarakannya kegiatan
kewiyataan, maka hal tersebut dinamakan situasi pendidikan. Kewibawaan
merupakan "alat pendidikan" yang diaplikasikan oleh pendidik untuk menjangkau
(to touch) kedirian peserta didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini
mengarah kepada kondisi high touch, dalam arti perlakuan pendidik menyentuh
secara positif, konstruktif, dan komprehensif aspek kedirian/ kemanusiaan.
Aspek ini meliputi pengakuan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan,
penghrgaan, dan tindakan tegas yang mendidik. kewiyataan merupakan "alat
pembelajaran" yang diselenggarakan pendidik untuk merealisasikan proses
pencapaian tujuan pendidikan oleh peserta didik. Proses pencapaian tujuan ini
mengarah kepada kondisi high technology. Termasuk dalam aspek ini adalah materi
pembelajaran, metode pembelajaran, alat bantu pembelajaran, lingkungan
pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Keterpaduan antara kewibawaan
dan kewiyataan membentuk proses pembelajaran yang menjadi isi situasi
pendidikan yang terjadi antara peserta didik dan pendidik dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan, dengan mengacu pada hakikat manusia ditopang dengan
perangkat keilmuan pendukung yang meliputi filsafat, psikologi, sosiologi,
ekonomi, politik, budaya, teknologi, manajemen, riset dan publikasi. sebagai
sesuatu yang cukup bermakna dalam proses pembelajaran keterpaduan antara
kewibawaan dan kewiyataan perlu dilihat secara langsung bagaimana kedua unsur
tersebut diimplementasikan. Namun karena keterbatasan waktu, makalah ini hanya
memfokuskan kajian aspek implikasi kewiyataan (high-tech) dalam meningkatkan
kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini di TK Dharmawanita Universitas
Negeri Padang.
Ada beberapa alasan mengapa fokus
kajian ini pada aspek implikasi penerapan High-tech. Pertama, Taman Kanak-Kanak
merupakan lembaga pendidikan bagi anak usia dini dan merupakan basis untuk
mengasah, mengasih, dan mengasuh kreativitas berbahasa anak sejak usia dini.
Kreativitas berbahasa Indonesia merupakan salah satu potensi yang perlu
dikembangkan sejak usia dini, sehingga dengan berkembangnya potensi itu kelak
mereka akan dapat mengembangkan potensi-potensi lainnya. Kedua, pelaksanaan
Higt-tech merupakan salah satu yang perlu diperhatikan pendidik pada interaksi
edukatif, di samping materi pembelajaran dan media pembelajaran. Sebab analisis
interaksi edukatif yang menekankan pada aktivitas guru dan murid sangat
berperan dalam menciptakan kreativitas berbahasa Indonesia. Ketiga, interaksi
edukatif atau situasi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan memiliki peranan penting dalam mengembangkan potensi murid, sebab
TK (Taman Kanak-Kanak) sebagai lembaga pendidikan bagi anak usia dini atau pra-sekolah
berlangsung dalam ikatan tujuan kependidikan. Dalam kaitan dengan pengembangan
kemampuan berbahasa sebagai salah satu program kegiatan belajar, TK memiliki
tujuan agar anak mampu bekomunikasi secara lisan. Dengan demikian, yang
dipentingkan dalam tujuan ini adalah kemampuan anak dalam berbicara dan
mendengarkan. Untuk mencapai tujuan itu, hal-hal yang perlu dikembangkan sesuai
dengan PP. No. 27 tahun 1990 adalah (1) memperkaya kosakata murid, (2) melatih
pendengaran murid, (3) melatih murid agar dapat menjawab dan mengajukan
pertanyaan, (4) melatih murid dapat berbicara, (5) melatih murid agar dapat
memberikan informasi kepada orang lain, dan (6) melatih murid untuk dapat menyebutkan
sebanyak-banyaknya suatu benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu (Depdiknas,
1994).
Agar tujuan pembelajaran tersebut
dapat dicapai secara optimal, pendidik sebagai motivator, fasilitator,
mediator, dan kreator dalam pendidikan mempunyai peranan dan andil yang sangat
besar, terutama dalam memilih model interaksi pembelajaran, menyeleksi materi
ajar, dan memilih media pembelajaran yang efektif.
METODE
Penelitian
yang berupa studi kasus ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Dikatakan
desain penelitian kualitatif karena studi ini memiliki ciri-ciri (1) data penelitian
berupa data deskriptif, (2) data penelitian bersifat alami, (3) lebih
mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data dilakukan secara
induktif, dan (5) makna merupakan hal yang mendasar. Ciri-ciri yang ditampilkan
di atas jelas sesuai dengan ciri-ciri desain penelitian kualitatif sebagaimana
yang dianjurkan Bogdan dan Biklen (1982).
Berdasarkan
rancangan tersebut, data penelitian yang diperoleh sebelum dideskripsikan
secara kualitatif terlebih dahulu dihitung persentasenya. Hasil persentase ini
dipakai sebagai dasar pengklasifikasian data. Data penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif memiliki latar yang bersifat alami karena data tersebut
diperoleh dalam interaksi yang wajar, bukan manipulasi. Selain itu, studi kasus
ini menitikberatkan pada proses interaksi guru-murid, bukan semata-mata pada
hasil interaksi dan analisisnya dilakukan secara induktif, dimulai dari
identifikasi setiap proses interaksi sampai pada penyimpulan pola model
interaksi yang digunakan. Hal lain yang juga menjadi ciri penelitian ini adalah
mementingkan makna daripada proses interaksi.
Oleh karena studi ini merupakan studi
kasus, sumber data penelitian ini hanya dilakukan pada setting yang terbatas,
yakni di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang. Data yang diperoleh
dianalisis melalui prosedur: (1) pengecekan keabsahan data, (2)
pengidentifkasian dan pengklasifikasian data, (3) analisis data dengan tahapan:
menghitung frekuensi dan persentase, memasukkan hasil penghitungan frekuensi
dan persentase ke dalam tabel, dan menentukan hasil dan pembahasannya. Hasil
penelitian ditentukan dengan cara mendeskripsikan model interaksi, bahan pembelajaran, media
pembelajaran yang digunakan berdasarkan hasil pentabelan data.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Seperti dijelaskan bahwa penerapan
hightech dalam meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini
hanya dilihat pada tiga aspek, yakni dari aspek interaksi guru-murid, wujud da
jenis bahan pembelajaran, dan dari segi variasi media atau alat bantu
pembelajaran. Hasil dari penerapan high-tech itu adalah sebagai berikut.
Penerapan High-Tech Ditinjau dari Aspek Model Interaksi
Edukatif
Ditinjau dari aspek model interaksi
edukatif yang digunakan guru untuk memacu kreativitas berbahasa Indonesia anak
usia dini di TK Dharmawanita Universitas Ncgeri Padang adalah sebagai berikut.
Pertama, model interaksi yang paling
banyak digunakan guru untuk melatih dan memperkaya perbendaharaan kosakata
adalah dengan cara guru bersama murid bernyanyi, kemudian guru menjelaskan isi
nyanyian dan kata-kata yang digunakan dalam nyanyian tersebut (75%).
Berikutnya, model interaksi yang digunakan adalah murid menirukan guru
menyebutkan nama objek yang diragakan (67%); murid menyebutkan nama objek yang
ditunjuk guru (64%); murid menirukan syair yang digunakan guru dengan kata-kata
yang tepat ucapannya (60,4%); murid bercerita dengan kata-kata yang diingat dan
diperdengarkan dari cerita guru (54,2%); murid diajak berwisata di lingkungan
pekarangan sekolah dan sekitar kampus UNP untuk mengenali nama objek tertentu
dengan cara menyebutkan nama atau menirukan nama objek yang ditunjuk guru
(52,6°%); murid disuruh menceritakan pengalaman dan kegemaran mereka di depan
kelas dengan bahasa sendiri (49,4%); murid disuruh menyusun kartu abjad menjadi
kata seperti yang disebutkan guru (40%); murid disuruh bermain peran dengan
kata-kata sederhana setelah mereka diberi contoh (36,8%); murid disuruh
menunjukkan kartu kata sesuai dengan nama objek yang disebutkan guru (32%);
murid diajak bermain kuis dengan cara menyuruh murid memberi contoh kata-kata
atau nama-nama objek dalam kelompok tertentu (29,4%); dan model interaksi yang
paling jarang digunakan guru dalam memacu kreativitas berbahasa Indonesia anak
adalah murid disuruh menyusun kartu suku kata menjadi kata yang disebutkan guru
(21,4%).
Kedua, model interaksi yang paling
banyak digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalarn melatih keterampilan menyimak
(mendengarkan) murid adalah murid disuruh menjawab isi cerita yang
diperdengarkan dari guru melalui tape recorder (78,6%); permainan bisik
berantai dengan kata atau kalimat sederhana kepada murid tertentu dan kemudian
murid tersebut disuruh membisikkannya kepada murid lainnya secara berantai
(70,6%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah murid disuruh mengingat
dan menceritakan kembali cerita yang didengarnya dari guru (63,3%); guru
menyuruh murid melakukan tindakan tertentu (61%); murid menirukan kata-kata
atau kalimat yang didengarkannya dari guru atau murid lain yang dijadikan model
(57,1%); murid disuruh menirukan bunyi-bunyi tertentu dan disuruh menebak jenis
suara apa yang didengarnya (28,3%); dan model interaksi yang paling rendah
frekuensi penggunaannya adalah guru menceritakan sesuatu kepada salah seorang
murid dan murid tersebut disuruh tnenceritakannya kepada murid lainnya (cerita
berangkai) (14%); dan guru menceritakan isi gambar dan murid mengamati isi
gambar, kemudian menceritakan isi gambar tersebut seperti yang telah
didengarnya dari guru (12%); serta murid disuruh menirukan urutan kata yang
sesuai dengan apa yang didengarnya dari guru (10%).
Ketiga, model interaksi yang paling
tinggi frekuensinya digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalarn melatih murid
untuk dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan (melatih murid untuk terampil
berbicara) adalah guru memberi kesempatan kepada murid untukmenjawab pertanyaan
isi cerita dari guru (79%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah
guru menyuruh murid menjawab pertanyaaan yang berhubungan dengan identitas,
pengalaman, kegemaran dan hal-hal yang berhubungan dengan diri murid (70,2%);
murid diberi kesempatan mengajukan pertanyaan tentang sesuatu dan guru
menjawabnya (50,9%); guru mengajukan pertanyaan tentang nama alat peraga yang
ditunjuk (tiruan/asli) dan murid disuruh menjawabnya (32%); guru menyuruh murid
mewarnai gambar, kemudian guru menanyakan jenis warna setiap gambar dan murid
menjawabnya (28%); dan interaksi yang paling kecil frekuensi pengunaannya
adalah guru menyuruh murid mendramatisasikan cerita yang banyak berisi tanya
jawab (24%%).
Keempat, model interaksi yang paling
sering digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalam rangka melatih murid memberikan
informasi kepada orang lain adalah murid menirukan contoh dari guru tentang
cara memberikan informasi kepada orang lain (60,8%). Selain itu, model
interaksi yang digunakan adalah murid disuruh mengamati objek tertentu,
kemudian murid disuruh menginformasikan kepada teman-temannva di depan kelas
(60,4%); murid ditugasi untuk mencari informasi temannya yang sakit, tidak suka
masuk sekolah, dan sebagainya, kemudian disuruh menyampaikan informasi kepada
teman lain di depan kelas (57%): murid disuruh memberikan informasi kepada
teman lain tentang pengalamannya, kesukaannya, dan sebagainya secara bergilir
(41,8%); dan model interaksi yang paling kecil interaksinya adalah guru
menugasi murid menyampaikan pesan kepada orang tua secara lisan dan hasilnya
akan dicek guru di depan kelas (19,5%).
Kelima, model interaksi yang banyak
digunakan oleh guru TK untuk melatih murid agar dapat menyebutkan benda sebanyak-banyaknya
beserta sifatnya (80,4%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah
guru membangkitkan ingatan murid untuk menyebutkan benda tertentu berdasarkan
klasifikasinya dan menyebutkan sifatnya (71,2%); murid menyebutkan nama benda
yang ditunjuk guru beserta sifatnya (63,4%): murid menunjukkan benda tertentu
dalam kotak berdasarkan sifat-sifat tertentu yang telah ditunjukkan guru
(60,4%), dan model interaksi yang paling kecil persentasenya adalah guru
menugasi murid untuk membawa benda tertentu dan menyebutkan nama beserta
sifatnya (47,2%).
Penerapan High-Tech Ditinjau dari
segi Wujud dan Jenis Bahan Pembelajaran
Untuk menciptakan kreativitas berbahasa Indonesia yang
digunakan di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang juga terklasifikasi atas
enam kategori sesui dengan tujuan pembelajaran dalam kurikulum TK. Wujud dan
jenis bahan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, untuk melatih murid
menguasai perbendaharaan kata bahasa Indonesia, bahan pembelajaran yang
digunakan adalah (1) nama
nama objek di lingkungan murid yang sesuai dengan kurikulum
TK, (2) nama-nama objek di lingkungan murid yang dianggap penting bagi murid
walaupun tidak dianjurkan atau tidak sesuai dengan kurikulum TK, (3) lagu, (4)
cerita, dan (5) syair. Dari beberapa bahan tersebut, yang persentase
pemakaiannya yang paling besar adalah nama-nama objek di lingkungan murid yang
sesuai dengan kurikulum ditambah dengan nama-nama objek yang dianggap penting
walaupun tidak sesuai dengan kurikulum TK sedangkan persentase yang kecil adalah cerita.
Kedua, untuk melatih pendengaran
murid, bahan pembelajaran yang digunakan adalah (1) kata-kata di lingkungan
murid, (2) kalimat, (3)
cerita, (4) syair, (5) lagu, dan (6) percakapan. Bahan
pembelajaran yang persentase pemakaiannya paling besar adalah syair dan paling
kecil persentase pemakaiannya adalah percakapan.
Ketiga, untuk melatih murid agar
dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan, bahan pembelajaran yang digunakan
guru adalah (1) cerita disertai beberapa pertanyaan, (2) kata-kata sebagai
objek pertanyaan, dan (3) berbagai jenis kalimat tanya. Cerita yang disertai
dengan pertanyaan merupakan bahan ajar yang persentase pemakaian tinggi, namun
banyak guru-guru yang kurang memperhatikan jenis pertanyaan yang digunakan.
Keempat, untuk melatih murid agar
dapat bercerita secara lancar dan kreatif, bahan pembejaran yang digunakan
adalah (1) cerita nyata, (2) cerita fiksi, dan (3) pengalaman, kesenangan,
cita-cita, dan sebagainya. Cerita nyata, pengalaman, kesenangan, dan cita-cita
murid merupakan bahan pembelajaran yang persentase pemakaiannya lebih tinggi
dari pada cerita fiksi.
Kelima, untuk melatih murid agar
dapat memberikan informasi kepada orang lain, bahan pembelajaran yan
dimanfaatkan guru adalah (1) informasi dalam dalam bentuk kalimat, (2)
informasi dalam bentuk wacana utuh, (3) informasi nyata, dan (4) informasi
tidak nyata. Informasi dalam kalimat yang bersifat nyata persentase pemakaian
paling besar daripada dalam bentuk wacana yang bersifat tidak nyata.
Keenam, untuk melatih murid agar dapat menyebutkan
sebanyak-banyaknya benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu, bahan
pembelajaran yang dimanfaatkan adalah (1) nama-nama benda beserta
sifat-sifatnya yang sesuai dengan kurikulum TK, (2) nama-nama benda beserta
sifat-sifatnya sesui dengan kurikulum TK ditambah nama-nama benda yang dianggap
penting bagi siswa walaupun tidak ada dalam kurikulum. Jenis bahan pembelajaran
yang kedua persentase pemakaiannya lebih besar daripada jenis pertama.
Penerapan High-Tech
Ditinjau dari segi Variasi Alat Bantu Pembelajaran
Untuk menciptakan kreativitas
berbahasa Indonesia di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang, ada enam
variasi berikut ini.
Pertama, alat bantu yang digunakan
untuk melatih murid agar dapat menguasai perbendaharaan kata bahasa Indonesia
cukup bervariasi, seperti (1) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, (2)
objek nyata, (3) buku cerita dan majalah, (4) kartu abjad, (5) kartu suku kata,
(6) kartu kata, (7) lagu, dan (8) syair. Dari beberapa alat bantu tersebut di
atas, yang paling banyak persentase pemakaiannya adalah alat bantu tiruan
seperti gambar, boneka, dan sebagainya; dan yang paling kecil persentase
pemakaiannya adalah kartu suku kata.
Kedua, untuk melatih pendengaran
murid, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) tape recorder, (2)
objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, (3) buku catatan tentang lagu,
syair, dan cerita, (4) malajalah yang berisi lagu, syair dan cerita, serta (5)
radio dan TV. Dari beberapa alat bantu tersebut di atas, yang paling besar
persentase pemakaiannya adalall tape recorder dan yang paling kecil persentase
pemakaiannya adalah TV dan radio.
Ketiga, untuk melatih murid agar dapat menjawab dan
mengajukan pertanyaan, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) objek
tiruan: boneka, gambar berseri, gambar dinding, (2) objek nyata di lingkungan
siswa, dan (3) buku dan majalah yang berisi objek tertentu, cerita, lagu, dan
syair. Dari beberapa alat bantu itu yang paling besar persentase pemakaiannya
adalah objek nyata dan yang paling kecil persentase pemakaiannya adalah buku
dan majalah.
Keempat, untuk melatih murid agar
dapat bercerita secara lancar dan kreatif, alat bantu pembelajaran yang
digunakan adalah (1) objek nyata, (2) objek tiruan: gambar, boneka, dan
sebagainya, dan (3) buku cerita, majalah, dan catatan. Objek tiruan persentase
pemakaiannya lebih besar dibandingkan dengan objek nyata serta buku, majalah,
dan catatan.
Kelima, untuk melatih murid agar dapat memberikan informasi
kepada orang lain, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) objek
nyata di lingkungan siswa, (2) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya,
dan (3) surat, buku tugas, dan buku penghubung. Dari beberapa alat bantu
tersebut persentase pemakaian yang paling besar adalah objek nyata dan persentase
pemakaian yang paling kecil adalah surat, buku tugas, dan buku penghubung.
Keenam, untuk melatih murid agar dapat menyebutkan
sebanyak-banyaknya benda yang mempunyai sifat-sifat tetentu, alat bantu
pembelajaran yang digunakan adalah (1) benda-benda nyata di lingkungan murid,
(2) benda-benda nyata pemakaiannya lebih besar dibandingkan dengan pemakaian
benda-benda tiruan seperti gambar. Benda-benda nyata pemakaiannya lebih besar
daripada benda-benda tiruan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan temuan di atas dapat
disimpulkan bahwa penerapan high-tech oleh guru Taman Kanak-Kanak Dharmawanita
Universitas Negeri Padang dalam meningkatkan kreativitas bebahasa Indonesia
anak usia dini adalah sebagai berikut. Pertama, untuk melatih penguasaan
perbendaharaan kata, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan,
menyebutkan nama, bercerita, bersyair, dan berwisata. Bahan pelajaran untuk
mencapai tujuan tersebut adalah nama-nama objek di lingkungan murid, lagu
cerita dan syair sesuai dengan kurikulum TK. Media yang digunakan adalah objek
tiruan berupa gambar, boneka, kartu abjad, kartu suku kata, kartu kata, lagu,
syair, buku, dan majalah anak. Kedua, untuk melatih pendengaran (keterampilan
menyimak) anak, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan,
bercerita, menjawab pertanyaan, perintah tindakan, bisik berantai. Materi yang
digunakan untuk mewujudkan tujuan itu adalah kata-kata di lingkungan anak
(ruangan kelas) kalimat, cerita, percakapan, dan lagu. Medianya adalah tape
recorder dan suara guru. Ketiga, untuk melatih anak agar dapat menjawab dan
mengajukan pertanyaan, model interaksi yang digunakan guru adalah menjawab dan
mengajukan pertanyaan serta dramatisasi. Materi pembelajaran yang digunakan untuk
mewujudkan tujuan tersebut adalah cerita yang disertai beberapa pertanyaan,
kata sebagai objek pertanyaan dan berbagai kalimat tanya. Selanjutnya medianya
adalah tiruan seperti boneka, gambar berseri, gambar dinding dan pembelajaran
objek nyata lingkungan alam sekitar. Keempat, untuk melatih anak agar bercerita
dengan lancar dan kreatif, model interaksi yang digunakan guru adalah
menirukan, menyebut nama, penugasan, bercerita, dan dramatisasi dengan materi
ajar berupa cerita nyata, cerita fiksi, pengalaman, kesenangan cita-cita, dan
sebagainya dengan alat bantu objek nyata dan objek tiruan. Kelima, untuk
melatih anak agar dapat memberikan informasi pada orang lain, model interaksi
yang digunakan guru adalah menirukan penugasan dengan memanfaatkan materi ajar
berupa informasi dalam bentuk kalimat, wacana, informasi dalam bentuk nyata dan
tidak nyata dengan di lingkungan anak. Keenam, untuk melatih anak menyebutkan
sebanyak-banyaknya suatu benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu, model
interaksi yang digunakan guru adalah menunjukkan objek dengan materi ajar
berupa nama-nama benda beserta sifatnya yang dianggap penting bagi murid. Media
yang digunakan adalah benda-benda nyata di lingkungan murid dan bendabenda
tiruan berupa gambar.
Saran
Kesimpulan di atas membuktikan bahwa
penerapan high-tech dalam meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak
usia dini di TK Dharmawanita UNP sudah diwujudkan meskipun masih diperlukan
lagi usaha-usaha perbaikan-perbaikan untuk mengoptimalkannya. Untuk itu dalam
hal ini perlu direkomendasikan hal-hal berikut seperti bagi guru TK disarankan
untuk mempertimbangkan dan memilih model interaksi edukatif, materi ajar, dan
media pembelajaran yang dapat mengoptimalkan potensi kreatif anak. Selanjutnya
bagi lembaga-lembaga pengelola pendidikan anak usia dini perlu diberdayakan
kewiyataan pendidikan (high-tech) untuk meningkatkan kreativitas berbahasa
Indonesia anak usia dini, sehingga mereka punya bekal yang cukup untuk
kelanjutan pendidikan mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, Lorin W.
1989. The Effective Teacher.' Study Guide and Readings. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Bogdan, R.C. dan
S.K., Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to
Theory and Methods. London: Allyn and Bacon, Inc.
Burns, R.B. 1978.
Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. (Terjemahaman).
Jakarta: Gunung Agung.
Dahler, Franz dan
Julius Chandra. 1976. Asal dan Tujuan
Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Depdiknas. 1994.
Program Kegiatan Belajar TK. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2002.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gede Prama. 2002.
Percaya Cinta Percaya Keajaiban: Serangkaian Renungan Penuh lnspirasi Bersama.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Fuad Hassan. 1973.
Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Huijbers, Th. 1978.
"Sesama Manusia" (dalam Sekitar Manusia). Jakarta: Gramedia.
Kutnick, Patrick
& Jules Valerina. 1993. Effective Teaching in School. Oxford: Basil
Blackwell.
Marsudi Fitro Wibowo.
2006. "Kasih Sayang dalam Islam". www.pikiran-rakyat.com/Akses 20 September 2006
McInerney, Denis M.
& Valentina McInerney. 1998. Educational Psychology: Constructing Learning.
(Second Edition). Sydney: Prentice Hall Australia Pty. Ltd.
McInerney, Denis M.
& Valentina McInerney. 1998. Educational Psychology: Constructing Learning.
(Second Edition). Sydney: Prentice Hall Australia Pty. Ltd.
Muhardi. 1986.
"Homo Humanus". Padang: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FPBS IKIP Padang.
Artikel ini
telah diterbitkan pada Jurnal Bahasa dan
Seni Vol 9 No.1 Tahun 2009
Mengefektifkan
Pembelajaran Membaca Interpretatif Melalui Pendekatan Cooperative Learning di
Sekolah Dasar
Yasnur Asri
Abstract: This study focus on the
effectiveness of using cooperative learning approach in interpretative
reading in elementary school. The results of the study reveal that
interpretative reading by using coopperative learning approach in
elementary school is more effective. This study recomends that he teachers
use coopretative learning approach in teaching interpretative reading in
higher grades of elementary schools.
Key works :
effective, teaching, reading interpretative, coopretative learning
approach,
|
PENDAHULUAN
Ada beberapa dasar
pemikiran yang menjadi alasan untuk melihat efektivitas pendekatan cooperative learning dalam
pembelajaran membaca interpreatif di sekolah dasar (SD). Pertama, membaca merupakan salah satu kemampuan yang sangat
penting dimiliki peserta didik termasuk peserta didik di sekolah dasar (SD).
Betapa tidak, karena peserta didik yang sedang belajar di SD harus dapat
menggali dan mengembangkan ilmu yang dituntutnya dengan jalan membaca. Setiap
peserta didik harus selalu membaca buku-buku, jurnal atau sumber-sumber yang
ada kaitannya dengan materi pembelajaran yang sedang diikuti atau
dipelajarinya. Bush dan Huebner malah menyatakan bahwa kira-kira 90% kegiatan
peserta didik di sekolah melibatkan kegiatan membaca. Di samping itu, kemampuan
membaca juga sangat banyak manfaatnya dalam segala aspek kehidupan lainnya di
lingkungan masyarakat, seperti organisasi sosial, administrasi pemerintahan,
keagamaan, kemasyarakatan, kesenian, perdagangan, dan lainlain. Di SD,
pembelajaran membaca permulaan lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan
dasar, yaitu menuntut peserta didik "menyuarakan" kalimat-kalimat
yang disajikan dalam bentuk tulisan, sedangkan pembelajaran membaca lanjut
diberikan setelah peserta didik memiliki kemampuan dasar membaca yang diperoleh
di kelas 1, 2, dan 3 dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
memahami, dan menginterpretasi
wacana yang dibaca.
Kedua, pembelajaran membaca interpretatif di SD terutama
di kelas tinggi (kelas IV, V, VI) sudah merupakan tuntutan karena pada kelas
tinggi ini peserta didik telah dituntut melakukan kegiatankegiatan, seperti
menginterpretasi, menganalisis, dan menyimpulkan bacaan. Oleh karena itu,
aktivitas peserta didik sudah diarahkan untuk menginterpretasi isi bacaan
dengan cara mencari hubungan sebab-akibat yang dinyatakan secara tidak langsung
dari teks, mengemukakan alasan dan tujuan pengarang, serta menyimpulkan isi bacaan
berdasarkan skemata yang dimiliki pembaca. Dalam menginterpretasi teks bacaan,
pembaca (peserta didik) melibatkan pengetahuan yang dimiliki dengan informasi
yang ada dalam bacaan agar bacaan dapat dipahami. Pembaca men gaitkan skemata
yang dimiliki dengan teks bacaan. Dengan demikian , skemata dapat dikatakan
berupa struktur pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dan digunakan oleh
pembaca ketika memahami bacaan. Konsep-konsep yang dipelajari pembaca (peserta
didik) melalui kegiatan membaca interpretatif lebih bermakna apabila peserta
didik mendapatkan masukan dan balikan dari orang lain seperti guru dan teman
sekelas daripada dipelajari sendiri oleh peserta didik. Untuk mewujudkan
suasana pembelajaran yang demikian, diasumsi pendekatan cooperative learning lebih
efektif digunakan karena memberi kesempatan kepada peserta didik berinteraksi
den-an peserta didik lainnya untuk memahami kebermaknaan isi pelajaran dan
bekerjasama secara aktif dalam menyelesaikan tugas (Stone, 1990). Di samping
itu, dengan pendekatan cooperative
learning peserta didik
dalam
pembelajaran akan leluasa berinteraksi dengan teman sebaya dalam
menginterpretasi, menganalisis, dan menyimpulkan bacaan dalam kelompok kecil.
Ketiga,
jika kita teliti lebih lanjut, realitas pembelajaran membaca pemahaman di SD
(terutama di SD Negeri Percobaan Padang yang dijadikan objek kajian ini) saat
ini umumnya menggunakan sistem klasikal yang menempatkan kecepatan memahami isi
bacaan berdasarkan kecepatan rata-rata peserta didik. Ada peserta didik yang merasa
bahwa pembelajaran membaca pemahaman yang dilakukan oleh guru terlalu cepat,
yakni bagi peserta didik yang lambat memahami isi bacaan, sementara ada pula
peserta didik yang merasa pembelajaran membaca pemahaman yang dilakukan guru
terlalu lambat, yakni bagi peserta didik yang cepat memhami isi bacaan. Peserta
didik yang lambat memahami isi bacaan merasa bingung begitu juga peserta didik
yang cepat merasa bosan dengan sistem belajar yang mengabaikan keberbedaan
setiap peserta didik. Kedua kelompok peserta didik tersebut, yakni peserta
didik yang cepat dan lambat dalam memahami isi bacaan perlu mendapat perhatian.
Peserta didik yang cepat memahami isi bacaan memerlukan kegiatan yang lebili
mengltargai kecepatan membaca, sedangkan peserta didik yang lambat memerlukan
teman sebaya yang lebih pintar untuk membantu memahami isi bacaan yang
diberikan oleh guru. Dengan demikian, pembelajaran membaca pemahaman di SD
Negeri Percobaan Padang perlu dibenahi.
Pemahaman isi bacaan yang berfokus pada penemuan
pikiran pokok setiap paragraf, tujuan dan alasan pengarang, dan penyimpulan isi
bacaan terabaikan oleh guru di SD (terutama di SD Negeri Percobaan Padang yang
menjadi objek kajian ini). Penemuan pikiran pokok setiap paragraf, tujuan dan
alasan pengarang,dan penyimpulan isi bacaan bagian dari pemahaman membaca
interpretatif. Pemahaman isi bacaan terfokus pada pertanyaan yang tersedia di
buku bacaan yang lebili menekankan pada jawaban yang mengeksplorasi pemahaman
literal, sedangkan pemahaman interpretative
diabaikan.
Berdasarkan ketiga dasar
pemkiran di atas, pembelajaran membaca pemahaman di SD Negeri Percobaan Padang
yang dikemukakan di atas perlu diadakan pembenahan atau penyelesaian masalah.
Penulis dan praktisi bersepakat untuk membenahi atau menyelesaikan pembelajaran
membaca pemahaman di SD Negeri Percobaan Padang dengan mengimplementasikan
pendekatan cooperative learning
agar pembelajaran membaca interpretatif lebih
efektif. Penelitian ini berfokus pada bagaimana mengefektifkan pembelajaran
membaca interpretatif
dengan pendekatan cooperative
learning di SD Negeri
Percobaan Padang?
METODE
Metode yang digunakan adalah metode
penelitian tindakan kelas kolaboratif (Suyanto. 1996/1997). Penelitian ini
melibatkan guru kelas
V dan kepala sekolah SD Negeri Percobaan Padang sebagai praktisi dalam
perencanaan maupun pelaksanaan
tindakan. Maksudnya hubungan antara peneliti dan praktisi bersifat
kemitraan. Peneliti dan praktisi berkolaborasi mendiskusikan rencana dan
pelaksanaan tindakan pembelajaran membaca interpretatif, serta merefleksi
tindakan yang dilakukan. Tujuan utama dari penelitian ini untuk melihat
efektivitas pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di
SD Neaeri Percobaan Padang. Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus yang ditetapkan
berdasarkan fokus penelitian, yaitu bagaimana mengefektifan pembelajaran
membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD
Negeri Percobaan Padang. Setiap siklus terdiri atas beberapa kali pertemuan.
Permasalahan
yang belum dapat dipecahkan pada siklus pertama direfleksikan
oleh peneliti bersama dengan praktisi untuk meninjau kembali tindakan yang
telah dilakukan. Peneliti dan praktisi mendiskusikan kelebihan dan kekurangan
tindakan yang dilakukan. Selanjutnya peneliti dan praktisi merencanakan
berbagai
langkah
perbaikan untuk diterapkan pada siklus kedua. Pada siklus kedua dan ketiga
peneliti melakukan hal
yang sama dengan siklus pertama hingga masalah yang dihadapi dapat dipecahkan
secara tuntas.
Data
penelitian ini berupa hasil pengamatan, hasil wawancara, dan kumpulan catatan
setiap siklus, serta hasil kerja kelompok atas tugas membaca yang diberikan
praktisi. Sumber data penelitian ini adalah peristiwa pembelajaran membaca
interpretatif dengan pendekatan cooperative
learning yang berlangsung di kelas V SD Negeri Percoban.
Dari peristiwa pembelajaran tersebut dikumpulkan data proses dan hasil tindakan
pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning yang
berlangsung selama tiga
siklus tindakan.
Subjek penelitian ini adalah peserta
didik kelas V SD Negeri Percobaan Padang tahun ajaran
2005/2006
berjumlah 40 orang peserta didik, yang terdiri atas 17 laki-laki dan 23
perempuan. Peserta didik
kelas V SD tindakan dibagi dalam 8 kelompok. Setiap kelompok terdiri
atas 5 peserta didik,
laki-laki, dan perempuan yang memiliki kemampuan akademik yang berbeda dan
latar belakang sosial ekonomi orang tua peserta didik yang
beragam.
Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan model analisis data mengalir yang ditawarkan oleh Miles dan
Huberman (1992) yang diawali dari produksi data, penyajian data, verifikasi,
dan penyimpulan data. Analisis data dilakukan sejak penelitian tindakan
dilakukan melalui refleksi tindakan pembelajaran pada setiap siklus, yakni
siklus satu, dua, dan tiga. Untuk menguji kebabsahan data dilakukan ketekunan
observasi, triangulasi, dan diskusi dengan sejawat.
HASIL
Dari hasil tindakan yang
dilakukan, yakni pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD Negeri Percobaan
Padang diperoleh informasi sebagai berikut. Seperti dijelaskan terdahulu bahwa penelitian
dilakukan melalui 3 siklus dengan fokus bagaimana mengefektifkan pembelajaran
membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative
leaning di SD Negeri Percobaan Padang. Pada setiap siklus penelitan
bersubfokus pada bagaimana (1) menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana
yang dibaca; (2) mengemukakan tujuan dan alasan pengarang; (3) menyimpulkan isi
bacaan. Pembelajaran dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap prabaca, saat
baca, dan pasca baca.
Pada siklus pertama,
praktisi melakukan tindakan selama 2 kali pertemuan ( 2 x 80 menit ) dengan tema hiburan dan subtema mengikuti
lomba paduan suara. Pembelajaran pada prabaca dilakukan kegiatan (1)
mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 5
peserta didik; dan (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan
pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan alasan dan tujuan
pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Pada saat baca dilakukan kegiatan (1)
membaca dalam hati; (2) mengerjakan tugas-tugas membaca dalam kelompok; dan (3)
melaporkan hasil bacaan di depan kelas. Pada pascabaca dilakukan kegiatan: (1)
merevisi hasil pekerjaan kelompok; dan (2) menanggapi pembelajaran yang telah
dilakukan.
Hasil penelitian siklus
pertama menunjukkan bahwa pembelajaran lebih terpusat pada pembentukan kelompok
dan penjelasan tugas-tugas membaca. Para peserta didik belum terbiasa mendapat
tugas membaca, yaitu menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca,
mengemukakan tujuan dan alasan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Tugas
menyimpulkan isi bacaan tidak bisa dilaksanakan, karena para peserta didik
belum memahami tugas yang diberikan kepada mereka. Penyelesaian tugas membaca tidak
mencerminkan cooperative leaning, para
peserta didik bekerja secara individual. Pelaporan hasil pekerjaan kelompok
hanya ditanggapi oleh beberapa peserta didik saja, sebagian besar peserta didik
bersikap pasif. Kekurangberhasilan pembelajaran pada siklus pertama ini
diperbaiki sebagai masukan pada perencanaan dan pelaksanaan pada pembelajaran
siklus kedua.
Pada siklus kedua, praktisi melakukan tindakan selama
3 kali pertemuan (3 x 80 menit) dengan tema hiburan
dan subtema mengikuti lomba paduan suara. Pembelajaran pada prabaca, saat baca,
dan pasca baca dilakukan sama seperti pada siklus pertama. Pada siklus ini
lebih banyak menekankan pada pemahaman tugas membaca, yaitu menentukan pikiran
pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan tujuan dan alasan
pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan dengan pemanfaatan cooperative learning.
Hasil penelitian siklus kedua menunjukkan bahwa para
peserta didik memahami bacaan dengan memanfaatkan teman sekelompok. Diskusi
kelompok berjalan cukup baik. Ketua kelompok berupaya memotivasi anggotanya
untuk mengemukakan pendapat masing masing. Bagi peserta didik yang kurang
memahami tugas, ketua meminta teman yang lebih pintar untuk membantu temannya
yang kurang memahami tugas yang diberikan praktisi. Sharing hasil berjalan cukup baik. Setiap kelompok melaporkan tugas
kelompok dan ditanggapi oleh kelompok lainnya. Tugas kelompok yang kurang tepat
dibantu dan dilengkapi oleh kelompok lainnya.
Kekurangberhasilan pada siklus kedua terletak pada
pemahaman tugas mengemukakan tujuan dan alasan pengarang yang terdapat dalam
sebuah paragraf Antara tujuan dan alasan yang dikemukakan oleh kelompok Baling
tumpang tindih. Praktisi berupaya membantu membedakan antara tujuan dan alasan
dengan memberi kata kunci agar atau supaya untuk mengemukakan tujuan dan
kata karena untuk
mengemukakan alasan. Kekurangberhasilan pada siklus
kedua ini menjadi pertimbangan untuk membuat rencana dan pelaksanaan pada
siklus ketiga.
Pada siklus ketiga,
praktisi melakukan tindakan selama 3 kali pertemuan (3 X 80 menit) dengan tema keamanan dan keselamatan dengan subtema ronda
malam. Pembelajaran dan tugas membaca sama seperti pada siklus pertama dan
kedua. Pembelajaran dilaksanakan melalui prabaca, saat baca, dan pasca baca.
Tugas yang diberikan adalah menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang
dibaca, mengemukakan tujuan dan alasan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan
dengan pemanfaatan cooperative learning.
Hasil
penelitian siklus ketiga menunjukkan bahwa praktisi membangkitkan skemata
peserta didik dengan merekonstruksi pengalaman peserta didik, menyampaikan
tujuan pembelajaran dan tugas membaca pada tahap prabaca. Peserta didik
memahami bacaan dengan memanfaatkan teman sekelompok, sharing hasil
bacaan dalam kelompok dan antarkelompok yang dilakukan pada saat baca. Pada pasca
baca, para peserta didik merevisi dan merespon pembelajaran yang telah
dilakukan. Para peserta didik merasa senang melakukan kegiatan membaca dengan cooperative learning karena
mereka dapat bertukar pikiran dengan teman sekelompok dan dapat melatih
kekompakkan
anggota kelompok.
PEMBAHASAN
Fokus penelitian ini adalah
bagaimana mengefektifan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative leaning di
SD Negeri Percobaan Padang. Untuk mengefektifkan
pembelajaran membaca interpretatif, praktisi membangkitkan skemata peserta
didik, mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, memanfaatkan teman
sekelompok dalam memahami isi bacaan, melakukan sharing hasil bacaan, merevisi tugas, dan merespon
pembelajaran yang telah dilakukan.
Pembangkitkan skemata
peserta didik dilakukan praktisi dengan cara mengaitkan pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik dengan terra pembelajaran, seperti
tema keamanan dan keselamatan dan tema hiburan. Praktisi menyampaikan
tujuan pembelajaran dan penjelasan tugas-tugas membaca dimaksudkan agar para
peserta didik memusatkan perhatian mereka pada apa yang harus dipelajari
dan dikerjakan
selama pembelajaran berlangsung. Penjelasan tujuan pembelajaran yang dilakukan
praktisi sesuai dengan
pendapat Vygotsky (dalam Berk dan Adam. 1995 yang menyarankan guru(praktisi) hendaknya
memperkaya komunikasi peserta didik dengan cara menjelaskan tujuan dan kegiatan
pembelajaran di
kelas dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menjelaskan dan
menentukan pendapat mereka. Tugas yang jelas dan spesifik memperjelas peserta
didik dalam belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson dan Johnson (1984) yang
menyatakan bahwa tugas yang jelas dan spesifik sangat penting bagi peserta
didik dan menhindari frustrasi peserta didik dalam belajar.
Pengelompokan peserta didik
kelas V
SD terteliti terdiri atas 8 kelompok. Setiap
kelompok berjumlah 5 peserta didik terdiri atas peserta didik laki-laki dan
perempuan dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, seperti PNS,
TNI/POLRl. pedagang, petani dan nelayan. Pengelompokan peserta didik seperti
itu sesuai dengan pendapat Slavin (dalam Ajisuksomo, 1996)
yang menyatakan
bahwa cooperative
learning didefinisikan sebagai strategi pengajaran yang
terstruktur dan dinamis dimana guru membagi peserta didiknya ke dalam kelompok
yang terdiri dari 5 peserta didik, terdiri atas tingkat prestasi, jenis
kelamin, dan etnik berbeda.
Pemanfaatan tutor teman
sebaya dalam pembelajaran membaca interpretatif diperlukan agar peserta didik
yang lebih pintar dapat membantu teman lainnya dalam memahami bacaan yang
diberikan praktisi. Tidak semua anggota kelompok dapat memahami tugas yang
diberikan praktisi melalui tugas membaca yang diberikan praktisi dengan baik.
Anggota kelompok yang mengalami kesulitan memahami tugas dan memahami bacaan
dapat dibantu oleh teman sekelompok yang lebih memahami bacaan dan mengerti
tugas yang diberikan.
Melalui
kegiatan berbagi informasi atau sharing
hasil, para peserta didik dapat berinteraksi baik
dalam kelompok maupun antarkelompok. Setiap kelompok melaporkan hasil pekerjaan
mereka di depan kelas dan para peserta didik atau kelompok lainnya memberi
masukan atau pertanyaan. Praktisi sebagai fasilitator dan motivator memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik dalam berbagai informasi. Para
peserta didik berani mengemukakan pendapat, bersedia mendengarkan pendapat
orang lain, dan menerima perbedaan pendapat antara kelompok yang satu
dengan kelompok
yang lain. Keterampilan mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang
lain, dan menghargai pendapat orang lain perlu dilatih sedini mungkin agar
peserta didik terlatih dengan suasana dan perilaku saling menghargai
dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan peserta didik
berdasarkan bimbingan praktisi pada pascabaca adalah merevisi lembar
kegiatan kelompok dan
merespon pembelajaran selama pembelajaran membaca interpretatif berlangsung.
Kegiatan merevisi tugas dilakukan oleh kelompok berdasarkan masukan dari guru
dan teman sekelas. Hal itu dilakukan oleh setiap kelompok agar mereka memahami
bahwa tugas yang belum tepat diperbaiki oleh setiap kelompok secara
bersama-sama.
Merespon pembelajaran membaca interpretatif
dilakukan oleh praktisi dan peserta didik pada pasca baca. Praktisi
mengungkapkan rasa senang dan berterima kasih
kepada seluruh anggota kelompok dan kelompok selama pembelajaran berlangsung.
Ungkapan rasa senang dan terima kasih yang tulus dari praktisi
merepresentasikan bentuk penguatan berupa kata-kata dan kalimat yang
diberikan oleh praktisi kepada para peserta didik. Pemberian penguatan dapat
memotivasi peserta didik agar lebih giat mengemukakan pendapat dan bekerja sama
dalam kelompok. Di samping praktisi merespon pembelajaran, peserta didik juga
diberi kesempatan merespon pembelajaran membaca interpretatif dengan cooperative learning yang telah
dilaksanakan. Para peserta didik mengungkapkan kepuasan dan rasa senang mereka
dalam belajar kelompok. Mereka menyatakan bahwa pembelajaran kelompok memberi
kesempatan kepada mereka untuk mengemukakan pendapat dan berbagi informasi
dalam kelompok dan antarkelompok. Hal itu sesuai dengan pendapat Spodek (1994)
yang menyatakan bahwa
belajar bahasa yang baik memungkinkan terjadinya situasi diskusi dan tukar
pendapat selama pembelajaran berlangsung.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian tindakan kelas ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan cooperatif
learning dalam pembelajaran membaca interpretatif di SD
Negeri Percobaan Padang lebih efektif bila dibandingkan
dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Untuk mengefektifkan pembelajaran
membaca interpretatif, praktisi membangkitkan skemata peserta didik,
mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, memanfaatkan teman sekelompok
atau rekan sejawat dalam memahami isi bacaan, melakukan sharing hasil bacaan, merevisi tugas, dan merespon pembelajaran
yang telah dilakukan.
Efektivitas pembelajaran membaca interpretatif
dengan pendekatan cooperative learning di
kelas V SD Negeri Percobaan dilakukan melalui kegiatan prabaca, saat baca, dan
pasca baca. Pada prabaca praktisi mengupayakan kesiapan belajar para peserta
didik untuk mengikuti pembelajaran dan mengarahkan para peserta didik melakukan
tugas individu dan kelompok selama pembelajaran membaca interpretatif Pada saat
baca, para peserta didik dalam bimbingan praktisi bekerja dalam kelompok kecil
untuk menemukan pikiran pokok dan penjelas dalam setiap paragraf, menemukan
alasan dan tujuan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Pada pasca baca,
praktisi, dan para peserta didik merespons pembelajaran membaca interpretatif
melalui pendekatan cooperative learning dapat
telah dilakukan.
SARAN
Kepada para guru SD terutama yang mengajar pada kelas
tinggi (kelas IV, V, dan VI) disarankan agar dapat memanfaatkan hasil
penelitian tindakan ini untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
pembelajaran membaca pemalhaman termasuk pembelajaran membaca interpretatif
dengan pendekatan cooperative learning di
SD. Guru hendaknya memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk bekerja
sama secara kooperatif dan memanfaatkan teman sekelompok untuk memahami tugas
dan bacaan yang diberikan.
Hasil tindakan dengan memanfaatkan pendekatan cooperative learning ini tidak terbatas
pada pembelajaran membaca interpretatif saja melainkan juga dapat dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa
Indonesia maupun pembelajaran lainnya. Pembentukan kelompok tidak terbatas pada
jumlah peserta didik yang sedikit saja, tetapi peserta didik yang berjumlah
besar pun selayaknya mendapat kesempatan untuk belajar secara kelompok. Guru
hendaknya merancang pembelajaran dengan memanfaatkan pendekatan cooperative learning secara profesional.
DAFTAR RUJUKAN
Ajisuksomo,C.R.P.1996.
Self-Regulated Learning in Indonesian
Higher Education. Jakarta: Atmajaya Research Centre.
Berk,
L.E & Winsler,A. 1995. Scaffolding
Children's Learning: Vygotsky Early Childhood Education. United States of
America: National Assosiation for Education of Young Children.
Burns,
P.C. Roe B.D., & Ross, E.P.1996. Teaching
Reading in Today's Elementary School. Boston: Houghton Mifflin Company.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar: Garis-garis
Besar Program Pengajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud.
Johnson D.W. & Johnson, R.T.1984. Circle of Learning: Cooperative in the Classroom.
Minneapolis: The Association for Supervision and Curriculum Development.
Miles, M.B. & Huberman,
M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan
oleh Tjetjep Rohendi.
Jakarta: Ul
Press
Spodek,
B.& Saracho, O.N. 1994. Rightfrorn
The Start: Teaching Children Ages Three to Eight. Boston: Allyn and Bacon.
Stone,
J.M. 1990. Cooperative Learning and
Language Arts. California: Resources for Teachers. San Juan Capistrano.
Sutanto.
1996/1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian
Tindakan Kelas: Pengenalan Penelitian Tindakan Kelas: Pengenalan Penelitian
Tindakan Bagian Kesatu. Jakarta: Depdikbud
Tulisan
ini disadur dari Jurnal Bahasa dan Seni Vol.8,
No.1, Tahun 2007
Langganan:
Postingan (Atom)