2. Pendekatan Pragmatik
a) Hakikat Pendektan Pragmatik
Muncul
pendekatan pragmatik yang bertolak dari teori resepsi sastra dalam khasanah
pemahaman karya sastra merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang
terdapat pada pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak
mampu berbuat banyak dalam upaya membantu seseorang da-lam
menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural hanya dapat menjelaskan
lapis permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang struktur atau
interalasi unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan
untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi
lain itu para pakar mengemuka-kan sebuah
pendekatan baru, yaitu pendekatan prag-matik.
Pendekatan
pragmatik sebagai salah satu ba-gian dari ilmu
sastra merupakan kajian sastra yang
menitikberatkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna karya
sastra (Teew, 1984:50). Dengan kajian ini, otonomi karya sastra tidak relevan;
karya sastra memang mempunyai struktur, tetapi struktur saja tidak dapat
berbuat banyak. Dengan munculnya pendekatan pragmatik, maka bermula pula
kawasan kajian sastra ke arah peranan pembaca seba-gai
subjek yang selalu berubah-ubah sesuai dengan keberadaannya.
Sebagai
suatu pendekatan untuk mencari kebenaran dalam teks sastra, pendekatan
pragmatik memiliki relevansi dengan sistem kefilsafatan prag-matik.
Heraclitus dalam Graff et.al. (1966:167) me-ngembangkan
teori kefilsafatan yang mirip dengan pragmatik modern. Konsep Heraklitus yang
terkenal adalah ”Tidak ada realitas yang bersifat absolut, demi-kian
juga halnya dengan kebenaran nilai-nilai. Rea-litas,
kebenaran, dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang selalu berubah, sehingga
perubahan itu sendirilah yang bersifat permanen”. Dengan kata lain, hanya
dengan indra penyerapan (the sense of
perception) itulah yang memiliki pengetahuan dan yang meng-adari
karakter perubahan pengetahuan.
Menurut
J. Donald Butler dalam bukunya Four Philosophies Their Practice in
Education and Religion (1957:417) menyebutkan bahwa pragmatik berkembang
pada akhir abad ke-20 yang dipelopori oleh Charles Sander Peirce, William
James, dan Jonh Dewey. Menurut Graff et.al. (1966:169), Pierce men-curigai
kemampuan manusia yang mengatakan dirinya mampu mengetahui tanpa menempuh
beberapa jalan dengan mencek pengetahuannya untuk memperoleh validitas. Salah
satu kesulitan dalam pengetahuan ada-lah apa
yang dinamakan dengan kesulitan semantik. Kata adalah simbol, dan simbol tidak
mampu menya-jikan secara akurat dan lansung serta
cenderung men-jadikan makna ambiguitas. Untuk itu
Pierce berupaya untuk mengoperasionalkan ide dan makna-makna yang abstrak dari
bentuk Rational Cognation (Know-ing)
menjadi rational purpose atau doing
(power 1982:123). Dengan demikian Pierce menaruh perha-tian
yang besar terhadap prinsip-prinsip logika dan epistemologi.
Kemudian
William James memperluas ruang lingkup pragmatik yang diungkapkan Pierce. Ia tidak
lagi menganggap pragmatik sebagai metode labora-torium,
tetapi telah menerapkannya ke bidang-bidang
kehidupan manusia yang lebih luas. Ia sangat mene-kankan
peranan pengalaman sebagai lokus pemberi makna. Hal dilakukan karena menurutnya
pengalaman pengalaman merupakan sesuatu yang di dalamnya su-dah
tercakup pemikiran atau ide yang selalu diakait-kan
denga substansi tertentu. Pengalaman selalu ber-sifat
aktif. Dengan demikian, konsep kebenaran adalah kesuaian antara ide dengan
realitas; ada hubungan sifat objektif (realitas) dengan sifat subjektif (penga-laman)
dan kebenaran terletak dalam kedua hubungan tersebut.
Pengalaman
subjektif hendaknya diverifikasi-kan
melalui pengalaman objektif untuk
mencapai ke-benaran (Power 1982:126—127). Kebenaran
ide dapat diketahui jika dikaitkan dengan sesuatu yang ditun-jukan
oleh ide tersebut melalui tindakan-tindakan yang membawa hasil tertentu. Dengan
kata lain, ide yang bersifat subjektif hendaknya dapat diobjektifkan dan proses
itu merupakan suatu yang ditangkap dari realitas.
John
Dewey mengemukakan bahwa penca-paian kebenaran akhirnya merupakan mitos.
Manusia tidak akan pernah mencapai
kebenaran akhir karena keterbatasan yang dimilikinya. Karena itu apa yang
dianggap benar oleh seseorang belum tentu benar oleh orang lain. Ini menunjukan
bahwa bermakna tidaknya sesuatu terletak pada persepsi individual terhadap
objek yang menjadi perhatiannya atau tergantung pada siklus perubahan waktudan
konteks tertentu.
Berdasarkan
pikiran-pikiran di atas, dapat diambil pengertian bahwa pragmatik adalah cara
me-mkitang sesuatu yang sesuai
dengan kegunaannya (Echolsden Shadily 1975:442). Sedangkan
Morris da-lam Tarigan (1986:33)
mendefinisikan pragmatik se-bagai telaah hubungan tkita-tkita dengan
interpre-tator atau penafsir.
Keterkaitan
antara tkita dengan penafsiran menurut Van Dijk (1976:87—112) harus disikapi
se-cara pragmatis dan kontekstual. Sebab tkita-tkita tersebut bersifat arbitrer
dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kearbitrerannya itulah yang
me-nyebabkan ia perlu disikapi secara
kontekstual. Di da-lam sastra ada tiga tkita saling signifikan, yaitu tkita
bahasa, budaya, dan tkita sastra sendiri atau oleh Teew di istilahkannya
denggan kode bahasa, budaya, dan kode sastra. Ketiga kode ini tidak seluruhnya
dapat diamati secara empirik. Kode bahasa misalnya, secara realitas memang dapat diamati oleh indra, teta-pi
untuk memahaminya diperlukan sejumlah lokus makna lainya yang terdapat pada
kesadaran subjektif. Demikian juga dengan kode budaya dan kode sastra tidak terlepas dari lokus pemaknaan lainnya.
Levinson
yang dirujuk Nababan (1987:2) mengartikan pragmatik sebagai
kajian hubungan an-tarbahasa dengan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa. Di dalam
pengertian ini terlihat bahwa pemahaman bahasa merujuk pada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan bahasa
diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya,
yaitu hubungan dengan konteksnya.
Dalam
literatur yang berkaitan dengan pragmatik, ada pula yang menekankan kepada
struktur bahasa, aspek makna tertentu,
dan hakikat ketergan-tungan dengan konteks, seperti yang dipaparkan beri-kut
ini.
a.
Pragmatik adalah studi tentang
hubungan-hubung-an antar bahasa dengan konteks yang digramatikali-sasikan atau
dikodekan dalam struktur suatu baha-sa;
b.
Pragmatik adalah studi tentang semua
aspek makna yang tidak terliput dalam teori semantik;
c.
Pragmatik adalah studi tentang hubungan
antara ba-hasa dengan konteks yang merupakan dasar untuk uraian pemahaman
bahasa;
d.
Pragmatik adalah studi tentang kemampuan pema-kaian bahasa untuk memadankan
kalimat dengan konteks yang tepat; dan
e.
Pragmatik adalah studi tentang dieksis,
implikasi, prasuposisi, tindak ujar, dan aspek struktur wacana.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang di-maksudkan dengan pendekatan pragmatik dalam tulisan ini
adalah cara memkitang hubungan tkita-tkita bahasa sebagai media ekspresif karya
sastra den-gan interpretator atau penafsir sebagaimana penger-tian pragmatik
yang dirumuskan oleh Morris dalam Tarigan dan Van Dijk terdahulu. Tkita-tkita yang dimaksud
adalah tkita-tkita bahasa yang dipergu-nakan dalam banguanan karya puisi.
Sedangkan pe-nafsiran yang dimaksud adalah begaimana penafsiran atau
interpretasi pembaca terhadap makna tkita tersebut. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa pendekatan pragmatik adalah suatu pendekatan yang dipergunakan
dalam menelaah karya sastra (puisi) berdasarkan resepsi personal pembaca
(interpretator) terhadap tkita atau unsur-unsur bangun puisi.
Relevansi pendekatan pragmatik dalam mengap-resiasi
menelaah karya sastra tersebut
dimungkinkan, karena sastra tidak mutlak otonom, tetapi selalu terkait dengan
konteks sosial, seperti yang dikaitkan Northrop Frye berikut:
”The convertions, gendres and archetypes of
literature do not simple appear: They must develop historycally from origins,
or perhaps from a common origin…. The social context of literature can onlybe
understoodafter conception of literature itself has been grasphed. Literture
has its own froms of statement, its own convention its own history. Society
does not simply produce plays and poems and novel, but develops a literature,
and writers drew their themes and gendres and technical skill from that
literature”.
(Frye 1973:153)
Seperti dikatahui dalam seni
bukanlah hasil yang dipentingkan, tetapi preses pemberian makna. Sementara
karya seni seperti puisi baru mempunyai makna setelah berinteraksi dengan
penikmatnya (pem-baca). Demikian nilai estetik sebuah puisi terletak antara
struktur puisi sebagai kode sastra dan sebjek-tivitas pembaca yang
diliputi oleh berbagai kode budaya.
Ide dari Mukarovsky di atas,
dilanjutkan oleh Vodicka. Yang menari dari kajian tokoh ini adalah tentang
konkretisasi yang dibserikannya kepada akti-vitas pembaca. Menurut Vodicka, karya sastra tak ubahnya seperti
benda mati (artefak) yang tidak mem-punyai jiwa. Pembacalah yang memberi jiwa
dan menghidupkannya melalui proses konkretisasi. Seba-gai artefak karya sastra
termasuk puisi tidak jelas maknanya; ia baru jelas atau konkret setelah berin-teraksi
dengan pembaca.
Istilah konkretisasi sebenarnya
berasal dari Roman Ingarden. Menurut Ingarden , karya sastra mempunyai
struktur yang objektif, yang memberi
pe-luang kepada pembaca untuk memberi arti terha-dapnya. Tetapi struktur karya
sastra semata belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca, sehingga diper-lukan
suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemung-kinan makna yang disediakan oleh
struktur yang objektif. Kegiatan konkretisasi makna karya sastra dibatasi oleh
struktur itu sendiri, karena struktur ob-jektif itu hanya satu, maka
konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat.
Te-tapi bagi Vodicka pembaca mempunyai kemungkinan konkretisasi yang lebih dari
satu. Artefak yang dihadapi pembaca menyediakan kode-kode makna, sementara
pembaca memberi makna sesuai dengn kode yang ada padannya. Dengan demikian
makna atau konkretisasi makna karya sastra dapat saja ber-beda-beda antara
pembaca yangb satu dengan pem-baca yang lain, sesuai dengan skematik simbolik
yang dimilikinya. Jausz (dalam Teew 1984:193—195) me-ngatakan bahwa
interpretasi seorang pembaca ter-hadap sebuah karya sastra ditentukan oleh
horison penerimaan. Horison penerimaan itu mempengaruhi dan mengarah kesan,
tanggapan, dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Setiap pembaca
mem-punyai horison penerimaan yang mungkin saja ber-beda antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lainnya.
Horison penerimaan (pembaca) ada
dua ma-cam, yaitu horison penerimaan
estetik dan horison penerimaan non-estetik. Horison penerimaan yang pertama
(horison penerimaan estetik) terdapat di
da-lam anatomi karya sastra yang dibaca., sedangkan horison penerimaan
non-estetik terdapat dan melekat pada diri pembaca (Junus 1985:138).
Teori resepsi sastra dalam
kajiannya melihat bagaimana hubungan antara pembaca dengn karya sastra, yaitu
bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya,
sehingga dapat memberikan reaksi dan
tanggapan.
b)
Prinsip-prinsip Dasar Pendekatan Pragmatik
Karena
pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra, maka prinsip dasarnya
pun dalam mengkaji karya sama dengan tempat ia berpijak terse-but. Sebagai
suatu pendekatan dalam memahami karya sastra, pragmatisme mempunyai prinsip
bahwa: (1) otonomi karya sastra dianggap tidak relevan dalam kajian karya
sastra, karena terlalu menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom.
Padahal karya sastra tersebut tidak
mempunyai kewujudannya sendiri sampai dibaca. Karena itu untuk dapat memahami
sebuah karya sastra, pendekatan pragmatik tidak terlalu terikat pada struktur
sastra semata, melainkan juga kepada faktor yang ada pada diri pembaca secara
kontekstual. Oleh karena itu, bentuk telaahnya kompleks daripada pendekatan
struktural yang hanya tertuju pada bangun struktur saja. (2) pendekatan
prag-matik memkitang karya sastra sebagai artefak, pem-bacalah yang
menghidupkannya melalui proses konk-retisasi. Karya sastra hanya menyediakan tkita
atau kode makna, sedangkan makna itu sendiri diberikan oleh pembaca. Karya
sastra tidak mengikat pembaca, tetapi menyediakan tempat yang kosong untuk
diisi oleh pembaca. Maksudnya adalah bahwa teks sastra seperti puisi tidak pernah mempunyai makna yang terumus
dengan sendirinya, sehingga diperlukan tin-dakan pembaca untuk merumuskannya.
(3) pembaca bukanlah pribadi yang tetap dan sama, melainkan sela-lu berubah dan
berbeda. Oleh karena pembaca dalam melakukan proses pemahaman dipengaruhi oleh
horison penerimaannya, maka subjektivitas pembaca mungkin berbeda antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya
teknik telaahnya pragmatis dan dialektik. (4) Teks sastra selalu menyajikan
ketidakpastiaan makna, sehingga memungkinkan pembaca untuk memaknai dan
memahaminya secara terbuka lebar (Teeuw 1984; Junus 1985; Salden 1986; dan Jefferson
& Robey 1988). Ketidakpastiaan iitulah mengapa pangkal tolak telaah
pendekatan pragmatik ini dalam mengapresiasi karya sastra pada persepsi
pembaca.
c) Karakteristik
Pendekatan Pragmatik dalam Menelaah Karya Sastra
Bertolak dari hakikat dan prinsip dasar pen-dekatan
pragmatik di atas, dapat dirumuskan bahwa pendekatan pragmatik dalam menelaah
karya sastra adalah sebagai berikut:
(1) Asumsi
dasar pendekatan pragmatik memkitang bahwa karya sastra sesuatu yang bersifat
artefak. Ia merupakan suatu benda yang belum mempu-nyai jiwa, dan baru
mempunyai jiwa bila dinik-mati atau
dipahami.
(2) Bentuk
telaah kompleks, karena dalam menen-tukan makna atau unsur intrinsik, melainkan
juga unsur ekstrinsik seperti pengarang, pembaca dan genetik karya sastra.
(3) Dalam
menelaah, unsur yang menjadi objek te-laah mencakup seluruh unsur, baik fisik maupun unsur batin dan
unsur-unsur lain yang dapat dija-dikan acuan untuk mengkongkretisasikan makna yang abstrak.
(4) Proses
telaah dimulai dari resepsi personal pem-baca ke keseluruhan bagian dan mencari
hubung-an struktur bagian kemudian menempatkan struk-tur keseluruhan menjadi
struktur bagian dalam struktur yang lebih besar untuk dapat dikonkreti-sasikan
melalui proses re-deskripsi.
(5) Teknik
telaah pragmatis dan dialektik, yaitu de-ngan melibatkan pengalaman pembaca, penga-rang, di samping unsur intrinsik yang menjadi acuan telaah.
(6) Dasar
pertimbangan dalam penentuan makna ada-lah perpaduan unsur intrinsik dengan
unsur eks-trinsik serta faktor genetik dan pengalaman yang dipunyai pembaca.
(7) Pangkal
tolak telaah dari resepsi pembaca terha-dap unsur bangun karya sastra.
(8) Esensi
karya sastra adalah makna setiap unsur, hubungan antara unsur dan
keterpaduannya dihu-bungkan dengan konteks kesemestaan dan sistem kognisi
pembaca
(9) Unsur
pengarang dan pembaca dipertimbangakan dalam menelaah sebagai bagian dari
genetik un-tuk kesempurnaan makna.
a)
Pola Pembelajaran Apresiasi Sastra Berdasarkan
Pendekatan Pragmatik
Oleh karena pendekatan pragmatik dalam
karak-teristik kajiannya bertumpu pada persepsi pembaca terhadap karya sastra,
maka teori belajar yang melan-dasinya adalah teori psikologi kaum humanistik
yang ditokohi oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers. Teori ini memberikan
perhatian terhadap manusia (pembelajar) secara maksimal.
Prinsip-prinsip psikologi humanistik yang me-lkitasi
pola pengajaran analisis puisi berdasarkan pendekatan pragmatik ini adalah:
pertama, membantu orang ”diam” untuk dapat berbicara ke arah terealisa-sinya
potensinya secara individu menjadi orang
yang berfungsi; kedua, fokus pendidikannya pada proses belajar, bukan
pada proses mengajar; ketiga, hanya
pembelajarlah yang dapat menilai apakah pengajaran yang diberikan
benar-benar bermakna bagi mereka; dan keempat, tugas pengajar hanyalah sebagai
fasili-tator, bukan sebagai pembuat keputusan apa yang ha-rus dipelajari.
Prinsip-prinsip psikologi humanistik di atas,
memperlihatkan bahwa peserta didik atau pembelajar adalah unsur sentral dalam
pendidikan; pembelajar harus diberi kebebasan untuk mengembangkan kreati-vitasnya
selama PBM berlangsung. Dengan demikian prinsip psikologi humanistik itu
sejalan prinsip yang dianut pendekatan pragmatik, yaitu memberikan per-hatian
terhadap peserta didik sebagai pelaku pelajar (belajar dalam hal ini adalah
belajar menganalisis atau mengapresiasi karya sastra).
Berdasarkan prinsip-prinsip teori psikologi
hu-manistik di atas, masalah utama yang
perlu diper-hatikan dalam pengajaran analisis puisi adalah
”bagai-mana mengembangkan kemampuan
peserta didik agar mereka dapat berkomunikasi dengan karya sastra. Hal utama
yang lebih layak mendapat perhatian adalah kerangka pengalaman dan pengetahuan
apa yang seha-rusnya dimiliki oleh peserta didik, dan bagaimana proses
komunikasi itu sebaiknya berlangsung.
Pendekatan pragmatik dalam kajiannya adalah menelaah
hubungan tkita-tkita dengan penafsir, ka-rena itu kerangka pengalaman dan
pengetahuan yang diperlukan adalah skemata
simbolik, karena selain berisi pengalaman tentang masalah kehidupan dan
esensi keberadaan manusia, juga berkaitan dengan pemahaman tentang konvensi
dalam komunikasi sastra. Kelengkapan serta keluasan skemata simbolik seseorang
tentu berbeda-beda sesuai dengan horison penerimaan yang dipunyainya. Tugas
pengajar dalam hal ini adalah mengembangkan skemata simbolik peserta didik sehingga
secara kreatif mereka mampu memanfaatkannya dalam kegiatan apresiasi sastra.
Tugas pendidik atau guru berikutnya adalah
memberikan bim-bingan tentang bagaimana cara berpikir yang benar sewaktu
peserta didik mengapresiasi karya sastra. Cara berpikir yang dimaksud antara
lain (a) mema-hami karya sastra
harus diawali eksplorasi, ataupun
pencarian secara induktif, (b) uapaya memahami karya sastra dimulai di
penggambaran isi secara umum menuju kepada totalitas, melalui resepsi
individual dan observasi menuju ke analisis sintesis, dan (c) pe-mahaman karya
sastra bertolak dari apa yang tersurat ke yang tersirat atau dari konkret ke abstrak sehingga dunia simbolik atau dunia
tkita dalam karya sastra tidak cukup bila hanya dipersepikan, melainkan harus
diabsraksikan.
Cara berpikir seperti di atas, bisa jadi merupakan
cara berpikir yang amat layak apabila digunakan pula dalam mengahadapi dan
mengolah kehidupan. Sebab dunia kehidupan bagaimanapun juga merupakan dunia
yang tidak dapat bercerita tentangnya. Demikian juga halnya karya sastra, ia
tidak dapat bercerita tentang-nya, pembacalah yang secara sadar harus berusaha
mencari pemahaman tentangnya secara terus-menerus, sejalan dengan sistem
kognisi yang dimiliki. Karena itu, manusia selain harus menyadari bahw dirinya
telah menentukan sesuatu, mereka juga harus menya-dari statusnya sebagai
pencari.
Pengamatan dan kesadaran apresiator terhadap dunia
kehidupan yang digambarkan dalam karya
sas-tra, walaupun selalu berlangsung per bagian, harus di-lkitasi kesadaran
akan adanya kemenyeluruhan atau suprasitem. Dengan demikian, kalaupun kesdaran ter-hadap bagian
itu akhirnya membuahkan pemahaman, tetapi
hasil itu tidak bersifat fragmentaris atau pin-canng, melainkan
kemungkinan hubungannya dengan bagian lain dalam totalitasnya telah
diperhitungkan. Karena itulah pendidikan memiliki tugas mengem-bangkan
kemampuan peserta didik dalam merekons-truksi dunia kehidupan secara simbolik
yang antara lain ditkitai oleh adanya upaya mengembangkan ke-mampuan peserta
didik dalam berpikir secara konpre-hensif.
Pembiasaan dan pengasahan pola pikir yang de-mikian,
jelas dapat ditempuh melalui kegiatan apre-siasi sastra. Masalahnya sekarang
bagaimana cara pengapresiasi sastra yang benar
agar mampu mem-buahkan manfaat. Disadari atau tidak, karya sastra selalu
terkait dengan masalah manusia, hidup, dan ke-hidupan. Sewaktu berhadapan
dengan karya sastra, pembaca dengan
mudah mengambil jarak: apresiator sebagai subjek dan karya sastra sebagai
objek. Pembaca dalam hal ini berkedudukan sebagai pemberi makna. Gejala yang
tampak adalah paparan bahasa yang sudah
barang tentu tidak menimbulkan apa-apa sebelum dimaknai.
Apabila pemahaman makna literasi sudah bukan merupakan masalah, tugas pembaca berikutnya
adalah menggambarkan atau mengkonkretisasikan dunia yang ditampilkan pengarang secara imajinatif. Pada
tataran ini pembaca pada dasarnya melakukan pro-yeksi melalui konkretisasasi
dunia acuan yang secara simbolik terkandung dalam paparan bahasa. Sewaktu
melamunkan sesuatu yang tergambar dalam karya sastra pembaca sebagai apresiator
harus dapat pula menjawab pertanyaan
seperti: (a) konsep apa yang dapat dikembangkan dari hasil penggambaran itu,
(b) pengertian dan nilai apa yang teremban di dalamnya, dan (c) bagaimana
hubungan antara unsur pengertian dengan unit-unit pengertian lainya.
Dalam proses penggambaran sesuatu serta upaya
mencari jawaban dari ketiga butir pertanyaan di atas, peserta didik sebagai
pembaca sekaligus apresiator pa-da dasarnya sedang mengadakan re-kreasi. Dalam
hal ini, tidak berbeda dengan apa yang telah dilakukan penulis atau penutur,
peserta didik juga melakukan proses kreatif. Bertolak dari pemahaman perbagian melalui analisis,
peserta didik mengadakan kompre-hensi melalui sisteisis. Dari pemahaman
terhadap pengertian dan nilai yang terakandung yang telah dire-kognisi itulah
peserta didik melakukan re-deskripsi, yakni menggambarkan kembali atau
mengkomuni-kasikan isi yang terkandung dalam suatu karya sastra sesuai denggan
bahas sendiri, sesuai dengan persep-sinya tehadap objek yang dihadapi, yaitu
karya puisi.
Secara
singkat proses mengapresiasi karya puisi
dengan pendekatan pragmatik dimulai dari kegiatan membacaseadanya—membaca
dengan estetis—meng-integrasikan hasil bacaan secara personal (sesuai dengan
pengalaman)—membaca dengan rujukan intrinsik sastra—mengintegrasikan hasil
bacaan dengan unsur ekstrinsik—dan terakhir menggambar-kan hasil bacaan yang
berwujud dari hasil interpretasi terhadap bacaan (bacaan di sini adalah karya
puisi (baca Yus Rusyana 1991:8)).
Jadi,
pembelajaran apresiasi sastra yang berda-sarkan kepada pendekatan pragmatik
tersebut adalah analisis, respons dan
kreativitas. Setiap bahan ajar (karya puisi) dibaca, dianalisis, direspons,
dan diko-munikasikan secara kreatif oleh peserta didik.
Sejalan
dengan prinsip bahwa dalam meng-apresiasi sastra pola pikir yang digunakan
adalah pola pikir kreatif, maka pola PBM yang ditempuh melalui pendekatan
pragmatik tersebut adalah seperti yang digambarkan beriokut ini.
Tahap 1
|
Tahap 2
|
Tahap 3
|
Tahap 4
|
Tahap 5
|
Persepsi personal & orasi
|
Iventarisasi untuk konkretisasi
|
Klasifikasi dan kom-prehensi
|
Orasi, yaitu mendiskusi-
kan hasil
tahap 3
|
Re-deskripsi & penggam-baran ulang
|
Melalaui tahap 1, yaitu untuk, mendapatkan persepsi
personal peserta didik terhadap karya sastra
yang diajarkan, maka pengajar menganjurkan peserta didiknya untuk
membacanya, baik secara perorangan maupun kelompok, dan setelah itu diminta
respons mereka masing-masing terhadap cipta sastra yang dibacanya tersebut.
Setelah itu (tahap 2) peserta didik disuruh menganalisis atau mengapresiasi
bsendiri melalui kegiatan inventaris
unsur-unsur (intrinsik dan ekstrinsik) cipta sastra yang dibacanya tadi untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan faktual yang telah dipersiapkan pengajar untuk
bahan itu. Kemudian pada tahap ketiga, mengklasifikasikan unsur-unsur yang
diinventaris tadi untuk dianalisisnya secara kese-luruhan. Kegiatan berikutnya,
yaitu pada pada tahap empat, peserta didik mediskusikan hasil analisis yang
dibuatnya, dan pada tahap terakhir peserta didik menggambarkan kembali hasil
responsnya tersebut untuk mendapat
gambaran umum tentang puisi yang sdianalisis tersebut.
Berdasarkan tahap-tahap kegiatan di atas, jelas
bahwa pola atau bentuk pembelajaran dalam pende-katan pragmatik terbagi ke
dalam lima tahap, yaitu tahap orientasi melalui kegiatan membaca dan meres-pons
berdasarkan persepsi personal peserta didik, tahap konkretisasi melalui
kegiatan inventarisasi bangun struktur puisi, tahap komprehensif melalui
ke-giatan analisis, tahap orasi melalui kegiatan diskusi kelas, dan tahap
antisipasi atau umpan balik melalui kegiatan re-deskripsi.
Dengan bentuk kegiatan yang seperti itu, peserta
didik merupakan pribadi pembelajar dan pemberi makna puisi yang diapresiasinya.
Pendidik dalam kegiatan itu hanya berperan sebagai (a) penghadir rangsangan,
(b) penyampai pedoman dan petunjuk bersifat lentur, (c) memberi dukungan dan
pantauan (tut wuri hkitayani), (d)
pendiagnosis kesulitan yang dialami peserta didik, dan (e) pada saat yang tepat
harus mampu mengendalikan PBM sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang
diharapkan.
Dengan mendudukkan peserta didik sebagai subjek
pemberi makna, diharapkan mereka juga me-miliki kemapuan dalam merekonstruksi
dunia sim-bolik dalam kesadaran batinnya
secara benar-benar dan mandiri. Sebab
menurut Gadmer (dalam Eagleton 1983:71), bahwa ”…. All interpretation pf past work consist in a dialoque between pastand
present”.
Berdasarkan pendapat itu jelas bahwa karya sas-tra
tidak selalu harus disikapi sebagai realitas fisikal semata, melainkan juga
mengandung aspek metafi-sikal. Karena itu wajar pabila pemahaman terhadapnya
bukan hanya berasal dari proyeksi tentang
dirinya se-mata, melainkan juga dibuahkan dari abstraksi sesuai dengan
tanggapan yang dimiliki pembaca seperti yang dianjurkan Deeley (1986:270) yang
mengatakan bah-wa ”The dialectic of
sciectic and humanistic modes of understanding is grasp of physical reality”
Sebagai contoh berikut ini ditampilkan bagaimana
penerapan pola pengajaran mengapresiasi puisi berdasarkan pendekatan pragmatik
tersebut, sehingga dapat dibandingkan dengan pola pembelajaran apresiasi sastra
berdasarkan pendekatan struktural.
Senja Di Pelabuhan Kecil
Buat: Sri Aryati
Ini kali, tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada
berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya maut
berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga
kelopak elang
Menyinggung muram, deir hari lari
berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak
bergerak
Dan kini, tanah, air, tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menusur
semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba diujung dn sekalian selamat
jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan
bisa terdekap
Chairil Anwar, 1946
Kegiatan Pembelajaran:
1)
Tahap
Orientasi
(a) Pendidik
membacakan puisi tersebut dengan suara keras dan estetis, sehingga peserta
didik dapat memahami suasana kejiwaan puisi terse-but.
(b) Peserta
didik model disuruh membaca dengan penjiwaan puisi tersebut (bisa dimanfaatkan
re-kaman kaset jika dalam kelas tersebut tidak ada pembaca puisi yang baik)
(c) Pendidik
meminta respons peserta didik secara global tentang masalah yang terungkap dari
puisi yang dibacakan tersebut. Peserta didik merespon bahwa masalah yang
terungkap dari puisi yang baru dibacakan
itu adalah masalah kesedihan Chairil Anwar, Sri Aryati. Masalah yang
dikemukakan peserta didik ini dijadikan lkitasan pikir untuk tahap selanjutnya.
2)
Tahap
Iventarisasi
Pada tahap ini
pengajar menyuruh peserta didik untuk mengiventaris dari bangun struktur puisi
tersebut yang dapat mendukung permasalahan yang telah disepakati terdahulu,
seperti daris unsur bunyi, diksi, pelambangan, pengiasan, dan dari segi bait
puisi, sehingga diperoleh data-data yang konkret untuk mendukung masalah utama.
3)
Tahap
Komprehensi atau Analisis
Pada tahap ini
peserta didik mengapresiasi atau menganalisis semua unsur yang telah
diiventaris-nya tersebut dalam bentuk berikut:
(a) Ditinjau
dari unsur Rima Puisi
Ditinjau
dari unsur ini, Chairil Anwar telah memanfaatkan bunyi secara kuat untuk
meng-ungkapkan suasana kedukaan kesedihan kedu-kaan itu. Perpaduan bunyi vokal
/a/ dan /u/ dalam puisi tersebut secara nyata telah memper-kuat warna kedukaan.
Demikian juga peduan konsonan. Dipilihnya
kata / senja/ buka / sore/ karena kombinasi vokal / a / dengan konsonan
/ j / lebih kuat efek dukanya daripada /
re / yang bernada riang. Demikian juga kata / kapal / le-bih mengandung
kesenduan daripada / sampan /. Ungkapan / terdampar kelepak elang / juga ikut
memperkuat suasana kedukaan itu, dengan dominasi konsonan / k/ dan / l / serta
vokal / a /.
(b) Ditinjau
dari segi Ritma
Dilihat
dari sudut ini, puisi ini dibangun dengan ritma yang bebas, dengan pemotongan
kalimat menjadi dua klausa. Misalnya:
Ini
kali / tidak ada yang mencari cinta.
Di
antara gudang / rumah tua pada cerita
Pemotongan
yang demikian menimbulkan alur yang
teratur dan memperkuat suasana kesepian dan duka yang dalam bila dibaca pelan
dan syahdu.
(c) Ditinjau
dari Diksi/Gaya bahasa
Pemilihan
kata dan gaya bahasa yang diguna-kan dalam puisi ini, merupakan pemilihan kata
dan gaya bahasa cukup mendukung masalah
kesepian dan duka. Kemahiran Chairil meramu dan merangkai kata-kata dan gaya
bahasa, telah membuat nada duka secara wajar. Kata-kata seperti: kapal, perahu
tiada berlaut, senja, gerimis, kelam merupakan kata-kata yang cu-kup mendukung
permasalahan itu, yakni masa-lah duka dan rasa sepi yang mencekam.
(d) Ditinjau
dari Pelambangan
Sebagai
seorang penganut paham ekspresi-nis-me, Chairil melambangkan perasaan, visi dan
pikiranya dengan lambang-lambang yang ber-sifat visual. Perahu dijadikanya
sebagai lam-bang kehidupan manusia. Bila perahu itu ber-laut jelas hal ini
melambangkan kehidupan ma-nusia yang duka dan tidak punya kegembiraan lagi.
Pantai, merupakan lambang tujuan hidup-nya dalam mencapai cintanya pada Sri
Aryati. Jadi, kekecewaan cintanya itulah yang menye-babkan Chairil melambangkan
duka hatinya dengan ”dari keempat sedu penghabisan bisa terdekap”, seolah-olah
hidupnya tak punya arti lagi seperti yang dilambangkan dengan ”Tanah dan air
hilang ombak”.
(e) Ditin
jau dari Segi Pengiasan
Penngiasan
dalam puisi ini, juga mendukung keduakaan puisi. Cinta lama yang tak mungkin kembali lagi
padanya, dikiaskannya dengan ”Ini kali
tidak ada yang mencari cinta, di antara gudang, rumah tua pada cerita”.
(f) Ditinjau
dari Bait Puisi
Puisi tersebut
terdiri atas tiga bait. Pada bait pertama, Chairil mengemukakan gambaran
perasa-annya dengan benda-benda di
sekitarnya, seperti de-ngan pemilihan kata gudang, rumah tua, tiang temali,
kapal, perahu, dan laut. Hal ini menunjukan bahwa penyair memang dihimpit
perasaan kacau. Kemudian pada bait kedua, gambaran perasaan itu
dilambang-kannya dengan suasana yang semakin menyempit, yakni dengan ”Pelabuhan
yang lengang”. Pada baik ketiga, kelihatanlah bahwa Chairil tak kuasa lagi
menahan duka atau perasaan sepi tersebut.
/aku sendiri/ berjalan / menyusur
semenanjung / masih pengap harap / sekali tiba di ujung, dan sekalian selamat
jalan …..
4)
Tahap
Orasi
Pada tahap ini
peserta didik mendiskusikan hasil analisisnya tersebut di dalam kelas dengan
menunjuk peserta didik yang akan ditampilkan hasil analisisnya. Dari kegiatan
orasi ini peoerta didik akan memperoleh umpan balik, baik dari temannya sendiri
maupun dari arahan-arahan pengajar selama diskusi berlangsung.
5)
Tahap
Re-Deskripsi
Setelah
menganalisis puisi tersebut secara mendalam, maka tahap re-deskripsi ini
peserta didik dapat menggambarkan permasalahan dan nilai-nilai yang terkandung
dalam puisi yang diapresiasikannya tersebut.
Mengacu pada
tahap-tahap pelaksanaan pem-belajaran apresiasi
Puisi berdasarkan pendekatan pragmatik di atas, jelas bahwa makna
teks sastra (dlam hal ini teks puisi)
ada dalam potensialitas dan bersifat terbuka, seperti yang dikemukakan Isser
bahwa ”The openness of fictional texts
can be climinated only in the act of
reading. Only in the act of reading can in-insdeterminancy be replaced by
meaning” (Isser dalam Fokkema dan Kunne—Ibsch, 1977:97). Itulah sebabnya
pemahaman sebuah teks harus melibatkan interpretasii pembacanya secara
personal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar