Cerminan
Realitas Sosial Masyarakat Minangkabau
dalam
Cerpen “Si Padang” Karya Harris
Effendi Thahar
Yasnur
Asri
Abstrak
Artikel
ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosial masyatrakat Minangkabau
dalam Cerpen “Si Padang” karya Harris Effendi Thahar. Pendektan yang digunakan
dalam kajian ini adalah pendekatan mimesis. Pendekatan mimesis beranggapan
bahwa untuk menyelidiki karya sastra tidak cukup hanya dengan menyelidiki karya
secara otonom, melainkan perlu dikaitkan dengan konteks sosialnya, realitas
objektif yang menjadi sumber penciptaan
oleh sastrawan. Teknik analisis dimulai dari teks sastra dan mengungkapkan
faktor-faktor sosial yang ada di dalamnya, kemudian menguji kepada faktor
sosial masyarakat yang menjadi topik penceritaan. Hasil analisis menunjukkan
cerpen ”Si Padang” merupakan cerpen yang berhasil mengungkapkan realitas sosial
masyarakat Minangkabau saat ini, yaitu masalah ketidakharmonisan hubungan mamak
kemenakan. Sebagai pencerminan realitas sosial budaya masyarakat Minangkabau,
cerpen ini merupakan pembenaran dari pendapat hoggart yang mengatakan bahwa
karya sastra pada semua tingkat disinari oleh nilai-nilai yang ditetapkan dan
nilai-nilai yang diterapkan. Oleh sebab itu yang dilakukan Harris adalah
meyakinkan dan menunjukkan bahwa karyanya ini betul-betul berintegrasi dengan
kehidupan individu dan masyarakat dalam struktur masyarakatnya.
Kata
Kunci: Pencerminan,
Realitas sosial, cerpen, masrakat Minangkabau
A. Pendahuluan
Pendekatan mimesis merupakan salah satu
pendekatan kritik sastra di samping pendekatan lainnya, seperti pendekatan
objektif, ekspresif, dan pragmatis. Pendekatan mimesis beranggapan bahwa untuk
menyelidiki karya sastra tidak cukup hanya dengan menyelidiki karya secara
otonom, melainkan perlu dikaitkan dengan konteks sosialnya, realitas objektif
yang menjadi sumber penciptaan oleh sastrawan. Motto “Seni untuk masyarakat”
merupakan letupan pemikiran pelaku sastra, yang bertolak dari pendekatan
mimesis. Jadi dalam penyelidikan, penilaian, dan kritik selalu mengaitkan karya
sastra dengan masyarakat pendukungnya, masyarakat sumbernya, masyarakat
tujuannya, dan masyarakat pengarangnya. Oleh karena itu, pemahaman karya sastra
tidak bisa melepaskan diri dari konteks kultural dan masyarakatnya.
Menghubungkan karya sastra dengan
masyarakat, bukan berarti harus mengabaikan data-data struktur karya sastra
tersebut. Penyelidikan awal tetap bermula dari pengamatan data-data struktur
karya tersebut, namun tidak berhenti setelah penyelidikan struktur berakhir.
Data-data struktur yang ditemukan itu harus diuji, dinilai, dan diproyeksikan
kepada masyarakatnya. Semakin tinggi kerelevanan realitas sosio-budaya dalam
karya sastra dengan realitas sosio-budaya masyarakat, maka semamin bermutu
karya sastra tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kerelevanannya dengan
realitas sosio-budaya masyarakat, semamin rendah mutu karya sastra tersebut.
Harris Effendi Thahar sebagai penulis
cerpen “Si Padang” tentulah menulis
berlatarbelakangkan budaya Minangkabau. Sebab, Harris yang lahir, hidup dan
menetap di kawasan budaya Minangkabau, tentulah menjadikan permasalahan budaya
itu sebagai objek permasalahan cerpennya. Cerpen bagi Harris Effendi Thahar
adalah untuk memaparkan dilema budaya
Minangkabau, dan alat untuk mengemukakan visi, reaksi dan opininya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hoggart (1975 : 162) yang mengatakan bahwa karya sastra
membantu untuk menceritakan kembali apa yang dicenderungi sastrawan tentang
nilai-nilai suatu masyarakat. Karya
sastra pada semua tingkat selalu disinari oleh nilai-nilai yang ditetapkan.
Oleh sebab itu yang dilakukan pengarang adalah meyakinkan dan menunjukkan bahwa
sastra betul-betul berintegrasi dengan kehidupan individu-individu dalam
struktur masyarakat.
Pengarang adalah produk zamannya, dan
demikian menghormatinya, sehingga kita harus menyelidiki ke dalam hakikat dari
pengaruhnya mana yang telah membentuk pikirannya, melenyapkan seleranya dan
membantu melukiskan watak pada karyanya (Hudson, 1955:4). Karya sastra
berperanan bagaimana merasakan hidup di dalam ataupun di luar nilai-nilai ini,
dan teristimewa apa tekanan dan ketegangan yang timbul dengan hidup di luar
ini. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Goenawan Mohammad (1972: 26) yang
mengatakan bahwa pada akhirnya dengan
materi sastra itu berfungsi untuk mempertajam dan membikin lebih intens
penghayatan kita para pembaca kepada hal-hal dalam kehidupan dan akhirnya
kepada kehidupan itu sendiri (Mohammad, 1972: 26).
Kajian sosiologi selalu mengaitkan
antara karya sastra dengan masyarakat pendukungnya, masyarakat sumbernya,
masyarakat tujuannya, dan masyarakat pengarangnya. Untuk menganalisis cerpen
”Si Padang” karya Harris Effendi Thahar ini haruslah disertai dengan
penyelidikan sistem sosial budaya masyarakat Minangkabau dan prilaku anggota
masyarakatnya. Bobot cerpen ”Si Padang”
akan ditentukan oleh tingkat kerelevanannya dengan konteks sosialnya,
masyarakat Minangkabau. Permasalahannya sekarang adalah ”Seberapa jauhkah
cerpen ini menggambarkan prilaku anggota masyarakat Minangkabau?”; dan
”Bagaimanakah tingkat kerelevanan cerpen ini dengan sistem sosial budaya
Minangkabau?”
B. Pendekatn yang Digunakan
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah
pendekatan sosiologis, karena sejak semula anggapan dasar tulisan ini bertolak
dari keyakinan bahwa sastra itu merupakan pengucapan pengalaman realitas budaya
dan dan sebagi ekspresi budaya. Objek kajian pendekatan sosiologis adalah
keterkaitan atau kerelevanan antara realitas imajinatif (realitas sosial dalam
karya sastra) dengan realitas objektif (realitas sosial masyarakat). Untuk
sampai kepada kesimpulan bahwa realitas sosial yang diceritakan dalam karya
sastra itu merupakan pencerminan realitas sosial objektif diperlukan teknik
analisis.
Menurut Damono (1978) dan Junus
(1986) ada dua teknik analisis yang dapat kita lakukan dalam menganalisis karya
sastra sebagai pencerminan realitas sosial. Pertama,
analisis dimulai dengan teknik pemahaman latar atau lingkungan sosial untuk
masuk kepada hubungan sastra dengan faktor-faktor di luar sastra seperti
tercermin dalam karya sastra. Teknik ini melihat faktor sosial yang
”menghasilkan” karya sastra pada suatu kurun waktu tertentu. Dengan menggunakan
teknik ini, berarti kita melihat faktor sosial sebagai mayor analisis dan karya
sastra sebagai minornya. Maksudnya adalah teknik ini bergerak dari sosiologi
untuk lebih memahami faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra.
Kedua, teknik
analisis dimulai dari teks sastra dan mengungkapkan faktor-faktor sosial yang
ada di dalamnya, kemudian menguji kepada faktor sosial masyarakat yang menjadi
topik penceritaan. Teknik ini mengutamakan teks sastra sebagai fenomena utama
bahan utama analisis (mayor analisis) dan fenomena sosial masyarakat sebagai
minornya. Teknik yang dipergunakan dalam telaah sosiologi sastra ini adalah
analisis teks sastra untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi
fenomena sosial yang ada di luar teks.
Kajian ini memilih teknik
analisis yang kedua, yaitu yang menjadi
teks (dalam hal ini cerpen Si Padang) sebagai mayor dan realitas
sosio-budaya Minangkabau sebagai
mayornya. Melalui teknik ini, bobot cerpen ”Si Padang” akan ditentukan oleh
tingkat kerelevanannya dengan konteks sosialnya, masyarakat Minangkabau. Di
dalam kajian ini, penerapan teknik analisis tersebut dilakukian dengan
langkah-langkah berikut: (1) penentukan latar cerita untuk mengetahui gambaran
masyarakat yang menjadi topik cerita dalam karya yang dianalisis; (2) penentuan
tokoh berserta perannya; (3) penentuan hubungan antarperan serta tokoh yang
terlibat untuk menentukan permasalahan cerita; (4) perumusan masalah
berdasarkan hubungan antarperan; (5) mengkaji hubungan permasalahan yang
dirumuskan, baik secara normatif, secara fiktif, maupun secara objektif; dan
(6) interpretasi data untuk menentukan tingkat kerelevanan antara realitas
fiksi dengan realitas sosiobudaya masyarakat.
Perolehan hasil analisis dari penerapan langklah-langkah kerja di atas
adalah sebagai berikut.
C. Hasil Kajian dan Pembahasan
1. Penentuan latar
Cerpen
”Si Padang” mengungkapkan kehidupan masyara-kat Minangkabau pada dekade 80-an.
Ada beberapa petunjuk dari data-data struktur cerpen ini tentang hal itu,
seperti kutipan berikur:
”Apalagi sudah lama rokok merupakan barang
mewah
Sejak aku turun kapal Kerinci dari Padang seminggu
yang lalu”.
”Kemenakan
Datuk ini sudah tiga kali ikut tes
Sipenmaru. Dan nasibnya menentukan lain”.
Kata-kata yang menunjukkan indikasi dekade 80-an itu
adalah Kapal Kerinci dan tes Sipenmaru, sebab pada dekade 70-an ke bawah belum dikenal
istilah Kapal Kerinci dan tes Sipenmaru. Kapal laut yang melayani trayek pada
dekade 70-an adalah Kapal Batang Hari, kemudian Kapal Tampomas. Sedangkan tes
masuk perguruan tinggi sebelumnya disebut dengan tes Skalu dan tes Proyek
Perintis. Dengan penyebutan tes Sipenmaru dalam cerpen ini, terlihatlah
pengarang ingin mengungkapkan suatu permasalahan masyarakat Minangkabau dekade
80-an.
Permasalahan
masyarakat Minangkabau dekade 80-an ini, juga dibatasi pengarang terhadap
masyarakat Minangkabau perantauan. Indikasi itu terlihat dengan pengambilan
latar kota Jakarta sebagai tempat berlangsungnya peristiwa. Namun demikian,
bukan berarti tidak mempunyai kaitannya dengan masyarakat Minangkabau yang
menetap di daerah asalnya. Dalam hal ini kota Jakarta dilihat sebagai simbol
perubahan sosial. Oleh sebab itu, permasalahan cerpen ini dapat saja
berhubungan dengan pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat Minangkabau
yang diamati atau dialami pengarang.
Dengan
melalui latar tempat dan waktu dalam cerpen ini dapat disimpulkan untuk
sementara bahwa cerpen ”Si Padang” berbicara tentang perubahan sistem sosial
budaya Minangkabau. Prilaku tokoh cerpen dan kaitannya dengan data-data
realitas objektif harus diselidiki untuk mendapatkan data-data sebagai bukti
selanjutnya.
2. Penentuan Peran dan Hubungan Antarperan
Sosok
pribadi dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya memerankan satu peran dalam
kehidupannya. Sosok pribadi itu selalu memerankan peran ganda, misalnya di
samping peran sebagai pemimpin bisa
juga berperan sebagai bawahan, kepala
keluarga, tokoh masyarakat, suami atau istri, kemenakan dan lain-lain.
Karya sastra sebagai pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan
mengetengahkan berbagai peran yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam
karya fiksi seorang tokoh cerita hanya memerankan satu peran saja. Penga-rang
akan memberikan berbagai peran terhadap tokoh-tokoh ceritanya.
Dalam
cerpen ”Si Padang” seorang tokoh minimal meme-rankan dua peran. Iventarisasi
peran tokoh-tokoh cerpen ”Si Padang” itu adalah sebagai berikut.
1. Tokoh Lidia memerankan peran: siswa, kekasih,
majikan, tu-an rumah, anak, dan gadis kota.
2. Tokoh Mansur memerankan peran: penganggur,
anak, keme-nakan, tamu, pekerja/bawahan, pemuda kampung, dan peno-long.
3. Tokoh Haji Kiram memerankan peran: mamak,
ninik mamak (penghulu), suami, ayah, kekasih, majikan, tuan rumah, dan orang
kaya (orang berduit).
4. Tokoh Basril memerankan peran: kemenakan,
pekerja, teman.
5. Tokoh Mamak Basril memerankan peran: mamak,
tuan ru-mah, dan majikan.
6. Tokoh Ginah dan Parmin memerankan peran: pembantu, tuan rumah, dan tukang kebun.
7. Tokoh Tante memerankan peran: tamu, tuan
rumah, dan majikan.
Dengan
demikian, sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus.
Dalam hal penyelidikan perma-salahan haruslah dilihat dari sudut peran dan
bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat, jika peran yang satu
dihu-bungkan dengan peran yang lain. Beberapa peran yang diperan-kan
tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau dikelom-pokkan menjadi:
a)
mamak dan kemenakan
b)
anak dan orang tua (ayah dan ibu)
c)
majikan dan pekerja; atau majikan dan
pembantu
d)
tuan rumah dan tamu
e)
suami dan istri
f)
penganggur dan pekerja
g)
pemuda/gadis kampung dan pemuda/gadis
kota
h)
penolong dan petolong
i)
si kaya dan si miskin
j)
teman dengan teman (lelaki atau
perempuan)
k)
kekasih (laki-laki) dan kekasih
(perempuan)
Pengelompokan hubungan
peran-peran tersebut, sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik yang
dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti untuk
mene-lusuri lebih jauh permasalahan-permasalahan yang terdapat da-lam karya
sastra. Berdasarkan data-data hubungan peran di atas, setidak-tidaknya sudah
ada sebelas kandidat permasalahan yang disinggung pengarang dalam karyanya.
Kesebelas kandidat per-masalahan itu dapat dirumuskan melalui konflik-konflik
tokoh yang memerankannya. Jika terdapat peran yang tidak didukung oleh konflik,
maka hubungan peran itu tidak dapat dilanjutkan sebagai penanda adanya
permasalahan.
Sebagai contoh adalah topik (k)
kekasih dengan kekasih yang tidak terdapat konflik antara kedua peran itu.
Tidak ada konflik antara Lidia dengan pacarnya, begitu juga dengan tokoh Haji
Kiram yang tidak mempunyai konflik dengan gundiknya. Konflik batin hanya muncul
pada tokoh Mansur yang menyak-sikan hubungan kekasih Lidia dengan pacarnya dan
Haji Kiram dengan gundiknya. Konflik batin Mansur itu dapat dipandang dalam
posisinya memerankan sebagai pemuda
kampung yang baru datang di kota besar (Jakarta). Maka dalam hal ini
perma-salahan percintaan (topik k) tidak bisa dilanjutkan sebagai per-masalahan
yang harus dikonfirmasikan dengan konteks sosial. Permasalahan tersebut harus
ditempatkan sebagai permasalahan yang mengetengahkan perbedaan prilaku pemuda
kampung de-ngan pemuda kota (topik g).
Mengikuti
pola uji seperti disebutkan, maka tinggalah topik: mamak dan kemenakan (topik
a); anak dan orang (topik b); majikan dan pembantu (topik c); tuan rumah dan
tamu (d); dan pemuda kampung (desa) dan pemuda kota (topik g), sebagai
penyumbang permasalahan cerpen. Sedangkan
topik suami dan istri (topik e), penganggur dan pekerja (topik f); penolong dan
petolong (topik h); si kaya dan si miskin (topik i); teman dan teman (topik j);
dan kekasih dengan kekasihnya ( topik k), tidak dapat dilanjutkan sebagai
penyumbang permasalahan, sebab topik-topik tersebut tidak didukung oleh konflik
tokoh yang mendukung peran. Namun demikian, topik-topik itu masih ber-guna
dalam menunjang penyelidikan. Topik-topik tersebut dapat dipandang sebagai
latar tokoh atau pendukung peran.
Topik
mamak dan kemenakan (topik a) didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Haji
Kiram Datuk Nan Kuniang Timbago Cahayo Nago sebagai mamak di kampung dan di
kota, serta sebagai ninik mamak di desa; tokoh mamak Basril sebagai mamak di
kota, baik sebagai mamak dekat maupun mamak jauh; tokoh Mansur bin Maliki
sebagai kemenakan dekat di desa dan di kota, juga sebagai kemenakan jauh di
kota; tokoh Basril sebagai kemenakan dekat di kota; serta tokoh masyarakat desa
sebagai kemenakan jauh dari Haji Kiram.
Topik
anak dan orang tua (topik b) hanya didukung oleh dua orang tokoh, yaitu tokoh
Haji kiram sebagai orang tua; dan tokoh Lidia sebagai anak. Sedangkan tokoh
Mansur tidak dapat dianggap mendukung topik ini, sebab Mansur sebagai anak
tidak mempunyai konflik dengan ibunya. Begitu juga tokoh Tante wa-laupun ia ibu
tiri dari Lidia, tetapi tidak mempunyai konflik dengan Lidia, maka tokoh Tante
pun tidak dapat dipandang un-tuk mendukung topik ini.
Topik
majikan dan pembantu (topik c) hanya didukung oleh tiga tokoh, yaitu: tokoh
Lidia sebagai majikan; tokoh Haji Kiram sebagai majikan di rumah, tetapi Haji
Kiram di tokonya tidaklah dapat dianggap mendukung topik ini; dan tokoh Parmin
dan Ginah sebagai pembantu. Hubungan majikan dan pembantu/ pekerja ini
seolah-olah muncul juga pada tokoh mamak Basril. Mamak Basril dan Mansur, namun
hubungan peran ini juga tidak memunculkan konflik.
Topik
tuan rumah dan tamu (topik d) didukung oleh to-koh-tokoh: Tante sebagai tuan
rumah; tokoh Lidia sebagai tuan rumah; tokoh mamak Basril sebagai tuan rumah;
dan tokoh Mansur sebagai tamu. Sedangkan topik pemuda desa dan pemu-da kota
(topik g) hanya didukung oleh tokoh Lidia sebagai pemuda kota, dan Mansur
sebagai pemuda desa. Jikapun ada tokoh lain seperti Pacar Lidia dan Basril,
ternyata juga tidak mendukung topik ini.
Dari
lima topik yang di atas, ternyata topik mamak dan kemenakan (topik a) yang
didukung banyak tokoh. Dengan demikian pada topik hubungan mamak dan kemenakan
inilah terletak permasalahan utama cerpen “Si Padang”. Sedangkan topik-topik
lain merupakan permasalahan penunjang, persen-tuhan tokoh-tokoh cerpen ini
harus di tempatkan sebagai pendu-kung permasalahan hubungan mamak dan
kemenakan.
3. Permasalahan Mamak dan Kemanakan
a) Secara Normatif
Dalam
sistem sosial budaya Minangkabau, mamak adalah saudara laki-laki dari ibu.
Dalam arti luas mamak adalah semua kaum lelaki. Kemenakan adalah anak dari
saudara perempuan, dalam arti luas kemenakan adalah semua anak dari saudara
perempuan yang sepersukuan. Penataan kehidupan dalam sepersukuan, mamak adalah
pemimpin terhadap kemenakan yang sepersukuan dengannya. Penunggalan
kepemimpinan dalam satu persukuan dipilih salah seorang mamak yang diangkat
menjadi penghulu dengan gelar Datuk. Hirarki hubungan mamak dengan kemenakan
diatur sebagai tertuang dalam pepatah berikut ini.
Kemenakan beraja kepada mamak
Mamak beraja kepada penghulu
Penghulu beraja kepada musyawarah
Musyawarah beraja kepada alur dan patut
Dari
ketentuan itu jelaslah bahwa kemenakan dipimpin oleh mamak. Buruk baiknya
seseorang kemenakan sangat ditentukan oleh kepemimpinan mamaknya, dalam bentuk
yang lebih luas oleh kepemimpinan penghulunya. Kemenakan harus menyandarkan
nasibnya kepada mamaknya, dan mamak berke-wajiban untuk mengikhtiarkan kemajuan
atau perbaikan nasib kemenakannya. Namun ada pula kemungkinan mamak tidak
ha-rus ditaati kemenakannya, bila mamak tersebut memimpin secara tidak
bijaksana dan hanya mementingkan diri sendiri. Seorang mamak dapat didaulat
ataupun disanggah, seperti pepatah berikut ini.
Raja adil, raja disembah
Raja lalim, raja disanggah
Antara
mamak dan kemenakan terdapat hubungan yang harmonis, saling memberi dan saling
menerima, ada pembagian tugas dan tanggung jawab. Hal ini dengan jelas
terungkap pada pepatah-petitih adat Minangkabau berikut.
Kemenakan manyambah laia
Mamak manyambah batin
Kemenakan bapisau tajam
Mamak
badagiang taba
(Kemenakan menyembah secara lahir
Mamak menyembah secara batin
Kemenakan mempunyai pisau tajam
Mamak mempunyai daging yang
tebal)
Berdasarkan
hal tersebut, mamak mempunyai tugas untuk memberikan arahan secara pemikiran
kepada kemenakan, dan kemenakan harus melaksanakan semua arahan mamaknya.
Pe-kerjaan yang berat-berat yang memerlukan kekuatan fisik harus dilakukan oleh
kemenakan, sedangkan pekerjaan yang memer-lukan ketajaman psikis harus dikelola
oleh mamak. Mamak ber-kewajiban membantu kemenakannya, sebab mamak itulah yang
mempunyai daging tebal (menguasai atau memiliki kekayaan). Sudah lazim jika
kemenakan meminta bantuan mamaknya, wa-jarlah daging tebal mamak itu
dipotong-potong oleh pisau tajam kemenakan.
Seorang
lelaki Minangkabau merupakan sosok pribadi dwifungsi, yaitu di satu sisi ia
adalah mamak dari kemenakan-nya, sedangkan di pihak lain ia adalah ayah dari
anak-anaknya. Seorang lelaki Minangkabau harus memperhatikan dan membimbing
anak dan kemenakannya, tanpa harus memihak pada anak saja atau kemenakan saja.
Anak dan kemenakan bagi seorang lelaki Minangkabau ditempatkan dalam posisi:
Anak
dipangku, kemenakan dibimbing
Dapat saja seorang lelaki tersebut mengutamakan
anaknya, tetapi tidak boleh meninggalkan kemenakannya.
Demikianlah
pengaturan hubungan mamak dan kemena-kan menurut sistem sosial budaya
Minangkabau. Antara mamak dan kemenakan terdapat hubungan yang harmonis, tanpa
harus merusak hubungan anak dan ayahnya.
b) Secara Fiktif
Dalam
cerpen ”Si Padang” tokoh lelaki Minangkabau yang berperan sebagai mamak
sekaligus ayah adalah Haji Kiram Datuak Nan Kuniang Timbago Cahayo Nago. Ia
berperan sebagai mamak dalam hubungannya dengan tokoh Mansur bin Maliki. Ia
seorang ayah dalam hubungannya dengan tokoh Lidia. Pertemuan Haji Kiram dengan
Mansur menghadirkan dilema hubungan mamak dan kemenakan.
Haji
Kiram merupakan profil tokoh perantau Minang yang sukses di Jakarta. Sementara
Mansur merupakan sosok pemuda Minang yang putus pendidikan, penganggur di
kampungnya. Ketika Haji Kiram pulang kampung, ibu Mansur mengantarkan Mansur
menemui Haji Kiram untuk meminta pertolongan, mencarikan pekerjaan untuk Mansur
di Jakarta. Sebagai seorang mamak, Haji Kiram menyanggupi untuk membantu
Mansur, seperti tertera dalam kutipan berikut.
”’Iya Datuk. Tapi kalau boleh bagaimana
si Mansur
ini cari kerja di Jakarta saja Datuk. Maksud saya
atas pertolongan Datuk’, kata ibu terbata-bata dan
tak berani menatap mata Datuk yang gagah itu.
‘Baik. Kalau mau kerja, di Jakarta memang banyak
Pekerjaan. Asal jangan suka pilih-pilih dulu. Kalian
Tahu sejarahku dulu di Jakarta bukan?
‘Tahu Datuk’, jawabku serentak dengan ibu”.
Maka datanglah Mansur ke Jakarta dan tinggal bersama
mamak-nya itu.
Sesampai
di Jakarta, Mansur tidak mendapatkan pelayan-an sebagaimana yang dijanjikan
mamaknya di kampung. Jangan-kan Mansur dicarikan pekerjaan oleh mamaknya,
berkomunikasi dengan Haji Kiram saja pun tidak ada. Meskipun Mansur tinggal di
rumah mamaknya itu. Perhatikanlah pengakuan Mansur dalam cerpen itu:
”Sejak seminggu yang lalu aku
menginjakkan kaki
di
kota Jakarta ini, baru dua kali bertemu puncak
hidung mamakku itu. Pertama ketika turun
dari kapal,
dan kedua, ketika aku datang ke tokonya
melihat-
lihat tanpa dapat bicara banyak ....”
Sambutan
istri Haji Kiram terhadap Mansur tidak ada bedanya dengan Haji Kiram sendiri.
Pertemuan anggota keluarga Haji Kiram (istri dan anak-anaknya) tidak ada dengan
Mansur, sebab semua mereka pergi pagi-pagi dan pulang malam-malam. Suasana
rumah Haji Kiram membuat Mansur tekagum-kagum akan kemewahannya, tetapi
menimbulkan kejutan psikis bagi Mansur tentang hubungan-hubungan individu
penghuninya. Beginilah gambarannya:
”Di rumahnya yang bertingkat seperti istana
dan berpagar tembok dan besi yang
tinggi ini, suasana begitu lain. Mamakku mempunyai mobil dan sopir, berangkat
pagi-pagi. Tanteku juga begitu. Mereka pulang malam-malam. Anak-anaknya yang
besar-besar (entah berapa anaknya, aku tidak tahu persis) begitu juga. Karena,
selain Lidia, tak seorangppun yang diperkenalkan kepadaku. Mana yang sudah
kawin atau yang masih pacaran, juga aku tidak tahu persis. Rumah itu mirip
hotel mewah. Tiap-tiap orang punya kemedekaan di kamarnya. Di depan, di
samping, atau di belakang ada taman yang ditata rapi.”
Sungguhpun begitu kemewahan rumah Haji Kiram, namun
tamunya yang juga merupakan kemenakan kandung Haji Kiram, hanya ditempatkan di
kamar pembantu bersama-sama dengan pembantu Si Parmin. Semua keperluan Mansur
di rumah mamaknya itu hanya dilayani oleh pembantu, Parmin dan Ginah. Mansur
tidak puas atas perlakuan mamaknya dan keluarga mamaknya. Ketidakpuasan Mansur
itu terlihat pada sumpah serapahnya terhadap Lidia, anak mamaknya yang masih
siswa SMA.
”Sial. Lancang keterlaluan!
Diancuk!” Sumpahku tak kedengaran. Habis, aku benar-benar merasa terhina. Tak
biasanya di kampungku orang yang lebih tua disuruh-suruh begitu. Disuruh beli
rokok lagi. Untuk pacarnya pula lagi. Gila!
”Suruh Parmin aja Lid. Aku aku
capek seharian menapaki Jakarta cari kerja.”
”Parmin lagi ngggak ada. Hayo
cepet doong. Ntar dapat persennya. Mending bali rokok, kan, dari pada
tidur-tiduran gratis dan makan gratis di rumah gue,” ujarnya seperti tidak
punya beban perasaan sedikitpun ....”
Dari gambaran beberapa kutipan
cerpen di atas, maka terlihatlah betapa tidak harmonisnya hubungan mamak dan
kemenakan dalam cerpen ”Si Padang”. Ketidakharmonisan itu tidak hanya
berlangsung di daerah perantauan, tetapi hubungan mamak dan kemenakan melalui
tokoh Haji Kiram dan Mansur sudah tidak harmonis sejak dari kampung halaman.
Ketidakharmonisan itu disebabkan karena hubungan mamak dan kemenakan terputus,
Mansur meninggalkan mamaknya. Bahkan Mansur tidak mau memperkenalkan dirinya
kepada mamaknya, ketika satu saat Haji Kiram menumpang taksi yang dikemudikan
Mansur. Jika pun Mansur datang juga ke rumah mamaknya itu, bukan karena terpaut
dengan Haji Kiram selaku mamaknya, tetapi terpaut dengan Lidia selaku gadis
remaja. Mansur jatuh cinta kepada Lidia.
Namun
dalam cerpen ”Si Padang” ini, terlihat pula hubungan mamak dan kemenakan yang
harmonis, yakni antara tokoh Basril dan mamaknya. Mamak Basril dan keluarganya
merupakan kebalikan dari Haji Kiram dan keluarganya. Basril dapat bimbingan
dari mamaknya dan dapat pelayanan yang memuaskan dari keluarga mamaknya. Bahkan
kehadiran Mansur pun di tengah-tengah keluarga mamak Basril mendapat perlakuan
yang sama dengan Basril. Perhatikanlah kutipan berikut ini:
”Mamak Basril memang lain dengan mamakku.
Kedatanganku disambut dengan meriah oleh keluarganya. Dan merasa semakin senang
ketika kukatakan bahwa aku ingin ikut jadi sopir taksi atau bekerja di bengkel,
karena aku lulusan STM bagian mesin ....”
Dengan demikian ada dua tipe hubungan mamak dan
kemenakan dalam cerpen ”Si Padang”, yakni hubungan yang harmonis dan hubungan
yang tidak harmonis. Tetapi, dapat pula ditegaskan bahwa hubungan yang tidak
harmonis mendapat tempat yang dominan dalam cerpen ini.
c) Secara Objektif
Untuk
mendapatkan data-data objektif perlu dilakukan observasi lapangan terhadap
prilaku sosial anggota masyarakat Minangkabau tersebut. Untuk kepentingan ini
telah dilakukan suatu penyebaran angket untuk menjaring data sosial tentang
hubungan mamak dan kemenakan yang berlangsung atau sedang berlangsung, sesuai
dengan masalah yang dirumuskan pada realitas fiktif . Sumber datanya diambil
secara acak dari 60 orang masyarakat Minangkabau yang memerankan mamak dan
kemenakan, baik yang berdomisi di daerah tiga luhak, rantau maupun daerah
pesisir. Mungkin sumber data ini belum
representatif untuk keterwakilan prilaku sosial anggota masyarakat Minangkabau
secara keseluruhan, tetapi dianggap cukup memberikan gambaran tentang hubungan
mamak dan kemenakan dewasa ini.
Situasi
umum hubungan antara mamak dan kemenakan dewasa ini menurut responden adalah
sebagai berikut: yang menyatakan harmonis sekali hanya 3,2%; harmonis 16,2%,
biasa-biasa saja 29%; kurang harmonis 48,4%; dan tidak harmonis 3,2%. Jika
situasi hubungan mamak dan kemenakan itu dibatasi di kampung atau di desa-desa
dengan menekankan sikap dan perlakuan mamak terhadap kemenakan, jawaban
responden menunjukkan: baik sekali 6,5%; baik 38,7%; biasa-biasa 35,5%; kurang
baik 19,3%; dan tidak 0%. Sebaliknya perilaku dan sikap kemenakan terhadap
mamak di kampung atau di desa-desa adalah: baik sekali 3,6%; baik 51,7%;
biasa-biasa 27,5%; kurang baik 17,2%; dan tidak baik 0%. Sedangkan sikap dan
prilaku mamak terhadap kemenakan di perantauan adalah: baik sekali 3,2%; baik
38,7%; biasa-biasa 41,9%; kurang baik 16,2%; dan tidak baik 0%. Sebaliknya
sikap dan prilaku kemenakan terhadap mamak di perantauan adalah: baik sekali
6,9%; baik 58,6%; biasa-biasa 24,2%; kurang baik 6,9%; dan tidak baik 3,4%.
Data-data
itu menunjukkan bahwa keadaan hubungan mamak dan kemenakan dewasa ini
berlangsung kurang harmonis. Walaupun kenyataan menunjukkan demikian, namun
dalam sanubari setiap pribadi anggota masyarakat Minangkabau masih tersimpan
suatu ide keharmonisan, baik ditinjau dari sudut kemenakan maupun mamak, baik
di kampung maupun di peran-tauan. Hubungan batin yang terputus antara mamak dan
kemenakan jumlahnya masih sangat sedikit hanya sekitar 20%, walaupun hubungan
lahir yang terputus itu mencapai 51,6%.
Tentang
penyebab terputusnya hubungan mamak dan kemenakan itu ada tiga bentuk, yakni:
(1) mamak tidak pernah lagi memperhatikan kebutuhan material kemenakan (38,1%);
(2) mamak tidak lagi memperhatikan kebutuhan spritual kemenakan (33,3%); dan
(3) menyangkut kebejatan moral mamak (28,6%). Dan penyebab masih utuhnya
hubungan mamak dan kemenakan adalah: mamak masih memperhatikan kebutuhan
spritual kemenakannya (66,7%), dan kepribadian mamak masih patut dan pantas
ditauladani (33,3%).
Jika
hubungan kemenakan dan mamak selalu terputus, oleh responden diberikan
alternatif dampak negatifnya sebagai berikut: mamak seakan-akan tidak
dibutuhkan lagi (65%); hilangnya rasa hormat kemenakan terhadap mamak (16%);
dan hilangnya rasa takut kemenakan terhadap mamak mamak (15%); dan mamak akan dimusuhi
kemenakan (5%). Sedangkan dampak positifnya jika hubungan mamak dan kemenakan
harmonis atau terjaga adalah: mamak akan selalu dihormati kemenakan (58,4%);
kemenakan akan menjaga martabat dan nama baik mamaknya (33,3%); dan kemenakan
akan selalu patuh kepada mamaknya (8,3%).
d) Interpretasi Data
Sebuah
karya sastra dapat dipandang sebagai jembatan dunia normatif dengan dunia
objektif. Karya sastra harus meng-gambarkan idealisme masyarakatnya, sekaligus
mengungkapkan gambaran realitas sosial masyarakatnya. Cerpen ”Si Padang”
ditinjau dari kacamata ini, memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat
Minangkabau tentang hubungan mamak dan kemenakan harus berlangsung secara
harmonis, ada keseim-bangan tugas dan tanggung jawab, keseimbangan antara hak
dan kewajiban antara mamak dan kemenakan. Pencerminan ideal-isme masyarakat
Minangkabau ini dapat ditemukan dalam cerpen ”Si Padang” melalui hubungan mamak
dan kemenakan, yaitu hubungan tokoh Haji Kiram dengan Mansur serta Ibu Mansur
di kampung; dan pada tokoh Mamak Basril dengan Basril serta Mansur di Jakarta.
Namun, keharmonisan antara mamak dan kemenakan dalam cerpen ini, tidaklah
mendominasi penceritaan. Dominasi penceritaan menyangkut ketidakharmo-nisan
hubungan mamak dan kemenakan melalui tokoh Haji Kiram dan Mansur di Jakarta.
Sungguhpun begitu, ternyata keti-dakharmonisan hubungan mamak dan kemenakan ini
berkaitan dengan realitas objektif. Ketidakharmonisan hubungan mamak dan
kemenakan itu didukung oleh 51,6% respponden (48,4% kurang harmonis dan 3,2%
tidak harmonis). Hanya sekitar 19,4% realitas objektif masyarakat Minangkabau
yang menun-jukkan keharmonisan hubungan antara mamak dan kemenakan.
Permohonan
Mansur dan ibunya kepada Haji Kiram untuk membantu Mansur dalam mengatasi
problemnya, berhubungan erat dengan dunia idealisme masyarakat minangkabau
(kamakan bapisau tajam, mamak badagiang taba). Hal ini pulalah yang menyebabkan
orang tua Mansur sangat senang mendengar berita bahwa Mansur tinggal bersama
mamaknya Haji Kiram di Jakarta. Prilaku tokoh Haji Kiram yang tidak memenuhi
harapan Mansur di Jakarta, merupakan penyimpangan dari dunia idealisme
masyarakat Minangkabau. Akan tetapi, hal ini berkaitan erat dengan realitas
objektif masyarakat Minangkabau dewasa ini. Oleh sebab itu, cerpen ”Si Padang”
dapat disimpulkan sebagai karya sastra yang menggam-barkan realitassosial
masyarakat Minangkabau. Cerpen ”Si Padang” tidak lagi sekedar penanda perubahan
sosial budaya Minangkabau.
Banyak
data-data konkret lainnya dalam cerpen ”Si Padang” untuk memperkuat kesimpulan
itu, seperti: (a) Usaha Mansur bertahan di rumah mamaknya Haji Kiram selama 15
hari dan berusaha ”berbaik-baik” dengan keluarga mamaknya, berhubungan erat
dengan data realitas objektif sikap dan prilaku kemenakan terhadap mamak di
perantauan yang berbuat baik sebanyak 65,5% (baik sekali 6,9% dan baik 58,6%);
(b) Tidak adanya perhatian Haji Kiram terhadap Mansur yang lebih mendominasi
penceritaan, dibandingkan sedikitnya penceritaan hubungan baik mamak Basril
terhadap Basril atau Mansur, berkaitan erat dengan rendahnya sikap dan prilaku
mamak terhadap kemenakan yang baik di perantauan, yakni 41,9% (baik sekali
3,2%, dan baik 38,7%); (c) Tindakan Mansur yang meninggalkan rumah mamaknya
dengan hanya berpamitan dengan Lidia. Tidak maunya Mansur mengenalkan dirinya
kepada mamaknya yang menumpangi taksi Mansur. Keterikatan Mansur kembali ke
rumah mamaknya bukan karena mamaknya, tetapi hanya karena Lidia. Semuanya ini
berkaitan dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau dewasa ini, bahwa
hubungan mamak dan kemenakan itu akan terputus bila: mamak tidak pernah lagi
memperhatikan kebutuhan material kemenakan; mamak tidak lagi memenuhi kebutuhan
spiritual kemenakan; dan disebabkan kebijakan mamak yang cenderung merugikan
kemenakan.
Ketiga
alasan yang diberikan responden dapat dilihat suasananya pada sikap dan prilaku
tokoh Haji Kiram Datuk Nan Kuniang. Masih eratnya hubungan mamak Basril dengan
Basril, serta diterimanya Mansur oleh keluarga mamak Basril dengan suka cita,
juga berhubungan dengan data-data realitas objektif. Keakraban dan keharmonisan
hubungan mamak dan kemenakan akan tetap terjalin mana kala: mamak memperhatikan
kebutuhan spritual kemenakannya; dan kepribadian mamak masih dapat diteladani.
Pemberian material mamak kepada kemenakan bukanlah jaminan untuk terjadinya
keharmonisan hubungan mamak dan kemanakan. Itu pulalah sebabnya mansur tidak
mendapat tekanan psikologis di rumah mamak Basril yang lebih miskin daripada
Haji Kiram. Di rumah mamak Basril, Mansur mendapat perhatian spritual, dukungan
moral, sedangkan di rumah Haji Kiram tidak. Sebenarnya, kebejatan moral mamak
dan keluarganyalah yang menyebabkan ia pergi meninggalkan rumah. Juga karena
tidak adanya perhatian spritual dari Haji Kiram. Selama lima belas hari Mansur
menumpang di rumah Haji Kiram hanya hanya dua kali sempat berjumpa denganya.
Bukankah tanpa kebutuhan material, Mansur rela pergi menapaki kota Jakarta
untuk mencari kerja sendiri?
Cerpen
”Si Padang” ini berhubungan juga dengan dunia idealisme masyarakat Minangkabau.
Mamak dijadikan pemimpin bagi kemenakan-kemenakannya, mamak tempat
menggantungkan nasib, mamak harus dituruti kata-katanya. Ukuran normatif ini
terlihat di kampung. Tetapi, setelah sampai di Jakarta ternyata mamaknya tidak
pantas untuk dijadikan panutan, maka Mansur meninggalkannya. Bahkan Mansur
tanpa ucapan sepatah kata pun membawa lari Lidia yang sedang dimarahi Haji
Kiram. Perbuatan Mansur ini secara implisit merupakan penentangan terhadap
mamaknya. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai normatif masyarakat
Minangkabau bahwa ‘raja lalim, raja disanggah’. Sedangkan tindakan Mansur yang
patuh terhadap mamak Basril merupakan pencerminan dari ‘raja adil, raja
disembah’.
D. Kesimpulan
Berdasarkan
data-data yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kerelevanan antara
cerpen ”Si Padang” dengan realitas
sosial budaya Miangkabau amat tinggi, baik secara idealisme maupun secara
realitas objektif. Kesimpulan ini, mengarahkan rekomendasi penilaian bahwa
cerpen ”Si Padang” merupakan cerpen
yang berhasil mengungkapkan realitas sosial masyarakat Minangkabau saat ini.
Sebagai pencerminan realitas sosial budaya masyarakat Minangkabau, cerpen ini
merupakan pembenaran dari pendapat hoggart yang mengatakan bahwa karya sastra
pada semua tingkat disinari oleh nilai-nilai yang ditetapkan dan nilai-nilai
yang diterapkan. Oleh sebab itu yang dilakukan Harris adalah meyakinkan dan
menunjukkan bahwa karyanya ini betul-betul berintegrasi dengan kehidupan
individu dan masyarakat dalam struktur masyarakatnya (Hoggart, 1975:170). Dalam
hal ini Harris Effendi Thahar sebagai pengarang yang lahir, dibesarkan dan
hidupan dalam masyarakat Minangkabau, telah mengemukakan realitas objektif yang
menjadi bagian dari dilema masyarakat Minangkabau.
Sebagai
pencatat fenomena masyarakat yang telah, sedang atau akan terjadi cerpen “Si Padang” merupakan pembenaran dari
konsepsi Hoggart tentang keharusan sastra untuk mengemukakan nilai-nilai yang
diinginkan. Dalam hal ini Harris mengungkapkan dalam bentuk realitas, yaitu ia
mengemukakan kejadian yang sedang menimpa kultur budaya Minangkabau.
Baik
atau buruknya sebuah karya sastra ditentukan langsung dalam hubungannya
terhadap kondisi sosial masyarakat, baik dilihat secara individu maupun secra
bermasyarakat (Hoggart, 1975: 159). Kalau hanya ini yang dijadikan indikator
tolok ukur untuk penilaian karya sastra, maka
hasil kajian ini membuktikan bahwa Harris Effendi Thahar berhasil
mengetengahkan sebuah karya sastra yang bermutu. Alasannya jelas karena cerpen
ini berkaitan erat dengan kondisi realitas masyarakat Minangkabau.
Daftar Bacaan
Damono,
Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra:
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Faruk H.T. 1987. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta: Lukman
Offset.
Goldmann, Lucien. 1970.
"The Sociology of Literature: Status
and Problems of Method", dalam Milton C. Al-brecht (dkk., ed.). The Sociology
of Art and Literature: a Reader. New York dan Wasington: Praeger Publications, h. 582-609.
Hoggart,
Richard. 1975. “Contemporary Cultural Studies: An Approach to the Study of
Literature and Socoety. In Malcolm Bradbury and David Palmer (ed.) Contemporary Criticsm. London: Edward
Arnold.
Hudson,
W.H. 1955. An Outline English Literature.
London: G.Boll and Sons Ltd.
Junus,
Umar. 1986. Sosiologi
Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia: Kuala
Lumpur.
Kleden, Ignas. 1981. Kesusasteraan Indonesia tidak Harus Menjadi
Cermin Keadaan Masyarakat, dalam Tifa Budaya. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan
Nasional.
Mohammad, Gonawan. 1972.
Potret Seorang Penyair Muda sebagai si
Malin Kundang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Scholes, Robert. 1976. Structuralism in Literature: An Intruduction.
New Haven and London: Yale University Press.
Thahar. Harris Effendi. 2003. Si Padang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar