Selasa, 21 Februari 2012


Penerapan High-Tech dalam Meningkatkan Kreativitas Berbahasa Indonesia Anak Usia Dini (Studi Kasus pada Taman Kanak-Kanak Dharmawanita UNP)

Yasnur Asri

Abstract: This research aims at describing the implementation of high-tech in increasing the creativity of using Bahasa Indonesia by pre-school students of TK Dharmawanita UNP. The data of this case study is the interaction between teachers and students. First, to train the mastery of the children vocabularies, interaction model used by the teachers are imitating, mentioning names, telling stories, reading poems and going picnic. Second, to train the students listening skill, interaction model used by the teachers are irritating, telling story, answering questions, doing command and chain whispering. Third, to train the children to be able to answer and give questions, the interaction model used by the teachers are answering and asking question as well as playing a role. Fourth, to train the children to be able to tell stories fluently, the interaction model used by teachers are imitating, mentioning names, assigning, telling stories, playing a role using teaching materials like real story, fiction, experience and so on using realia and real objects as the media. Fifth, to train the children to be able to give information to other people, the interaction model used by the teachers are imitating task by using information in sentences, discourse, and real and unreal information based on the children environtment. Sixth, to train the children to mention as many nouns having certain characteristics, the interaction model used by the teachers are showing the objects using teaching materials and their characteristics regarded important fi)r the children,
Key words: high-tech, creativity, bahasa Indonesia, kindergarten school


PENDAHULUAN
Proses pembelajaran adalah proses artifisial yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan belajar. Pada sisi lain, belajar dapat dimaknai sebagai suatu aktivitas yang diarahkan pada perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku bukan hanya diterjemahkan sebagai perubahan psikomotor, tetapi juga kognitif dan afektif termasuk di dalamnya iman dan tagwa dalam rangka pemuliaan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Lebih dari itu, perubahan tingkah laku hendaknya terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Individu (dalam hat ini peserta didik), pendidik menempatkan diri dan berperan sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan konselor. Dengan demikian, faktor penentu dalam pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri,
meskipun proses pembelajaran berlangsung dalam konteks sosial. Oleh sebab itu, inti proses pembelajaran adalah adanya interaksi antarindividu, antara peserta didik dengan peserta didik lainnya, antara peserta didik dengan pendidik, dan antara peserta didik serta pendidik dengan lingkungannya.
Pola interaksi pelaku proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh empat hal, yaitu: (1) pendekatan, (2) strategi, (3) metode, dan (4) teknik pembelajaran (Alschuller, 1994:8-10). Pendekatan adalah usaha untuk mendekati atau memahami sesuatu sehingga akhirnya melahirkan (serangkaian) aksioma. Dengan kata lain, pendekatan bersifat aksiomatis. Strategi adalah pemikiran alternatif serta implikasi atas alternatif itu untuk menindaklanjuti hasil pendekatan. Strategi bersifat implikatif. Metode berisi serangkaian langkah atau tindakan yang harus ditempuh untuk merancang tindakan sesuai dengan perumusan strategi yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, metode itu bersifat prosedural. Teknik pembelajaran adalah segala sesuatu tindakan pembelajaran yang dilaksanakan bersama-­sama antara peserta didik dan pendidik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Penerapan teknik pembelajaran bersifat observable atau dapat dilihat, atau bersifat implementasional. Secara teoretis, ada tiga jenis strategi pembelajaran. Ketiga jenis strategi itu adalah (a) strategi penyajian atau penyampaian (presenting strategy), (b) strategi penyanggupan (enabling strategy), dan (c) strategi penemuan (discovery strategy). Pendayagunaan pendekatan, strategi, metode, dan teknik dalam proses pembelajaran pada dasarnya diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran melalui pengembangan interaksi. Pengembangan interaksi ini akan mengakibatkan adanya pengalaman belajar (learning arperience).
Zais (1976: 350, Tyler, 1950) menyebutkan bahwa pembelajaran sebagai pengembangan pengalaman pembelajaran (learning experience) pada diri peserta didik. Pakar tersebut  membedakan antara materi ajar (content), aktivitas pembelajaran (learning activity), dan pengalaman pembelajaran (learning experience). Materi ajar merupakan pendorong adanya aktivitas pembelajaran. Aktivitas pembelajaran, misalnya peserta didik melakukan aktivitas menyimak, membaca, atau merespons pertanyaan pendidik merupakan pendorong diperolehnya pengalaman belajar (learning experience) pada diri peserta didik sehingga pengetahuan, dan pengertiannya berkembang dan tujuan pembelajaran dapat dicapai. Hal itu dikemukakan Zais (1976: 350) yang mengutip pendapat Taba (1962), "Learning experiences, and nor the content as such, are the means for achieving all objectives besides those of knowledge and understanding.
Lebih lanjut, Zais (1976: 364) menyatakan bahwa pengalaman pembelajaran itu mencakup tiga jenis. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah: (1) pengalaman sebagai suatu kemampuan, (2) pengalaman sebagai suatu kebudayaan, dan (3) pengalaman sebagai suatu minat. Peserta didik dapat dikategorikan memiliki pengalaman sebagai suatu kemampuan jika peserta didik itu dapat menampilkan suatu kemampuan tertentu. Dengan kata lain, peserta didik yang mampu mengunjukkan suatu kemampuan berarti memiliki pengalaman
sesuai dengan apa yang ditunjukkannya. Peserta didik dikatakan memiliki pengalaman sebagai kebudayaan jika peserta didik tersebut mampu memahami budaya, kebiasaan, diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Peserta didik dapat keluar dari enkapsulasi atau keterperangkapan pada kepicikan. Peserta didik dikatakan memiliki pengalaman sebagai suatu minat jika peserta didik tersebut dapat mengembangkan, menekuni, dan menikmati suatu minat yang bersifat positif.
Pakar lain, Dewey (2001) menyatakan bahwa, tugas sekolah adalah memberi pengalaman belajar yang tepat bagi peserta didik. Selanjutnya, ditegaskan bahwa tugas pendidik adalah membantu peserta didik menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama akan melekat pada struktur kognitif peserta didik dan akan menjadi pengetahuan baru bagi peserta didik tersebut. Pola hubungan antara peserta didik dengan pendidik dalam konteks itu dinamakan hubungan pendidikan. Dan jika hubungan pendidikan tersebut terjadi dalam hubungan sosial di antara dua orang (yaitu peserta didik dan pendidik) dalam upaya mencapai tujuan pendidikan melalui teraplikasikannya kewibawaan pendidik dan terselenggarakannya kegiatan kewiyataan, maka hal tersebut dinamakan situasi pendidikan. Kewibawaan merupakan "alat pendidikan" yang diaplikasikan oleh pendidik untuk menjangkau (to touch) kedirian peserta didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi high touch, dalam arti perlakuan pendidik menyentuh secara positif, konstruktif, dan komprehensif aspek kedirian/ kemanusiaan. Aspek ini meliputi pengakuan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penghrgaan, dan tindakan tegas yang mendidik. kewiyataan merupakan "alat pembelajaran" yang diselenggarakan pendidik untuk merealisasikan proses pencapaian tujuan pendidikan oleh peserta didik. Proses pencapaian tujuan ini mengarah kepada kondisi high technology. Termasuk dalam aspek ini adalah materi pembelajaran, metode pembelajaran, alat bantu pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Keterpaduan antara kewibawaan dan kewiyataan membentuk proses pembelajaran yang menjadi isi situasi pendidikan yang terjadi antara peserta didik dan pendidik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, dengan mengacu pada hakikat manusia ditopang dengan perangkat keilmuan pendukung yang meliputi filsafat, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, budaya, teknologi, manajemen, riset dan publikasi. sebagai sesuatu yang cukup bermakna dalam proses pembelajaran keterpaduan antara kewibawaan dan kewiyataan perlu dilihat secara langsung bagaimana kedua unsur tersebut diimplementasikan. Namun karena keterbatasan waktu, makalah ini hanya memfokuskan kajian aspek implikasi kewiyataan (high-tech) dalam meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang.
Ada beberapa alasan mengapa fokus kajian ini pada aspek implikasi penerapan High-tech. Pertama, Taman Kanak-Kanak merupakan lembaga pendidikan bagi anak usia dini dan merupakan basis untuk mengasah, mengasih, dan mengasuh kreativitas berbahasa anak sejak usia dini. Kreativitas berbahasa Indonesia merupakan salah satu potensi yang perlu dikembangkan sejak usia dini, sehingga dengan berkembangnya potensi itu kelak mereka akan dapat mengembangkan potensi-­potensi lainnya. Kedua, pelaksanaan Higt-tech merupakan salah satu yang perlu diperhatikan pendidik pada interaksi edukatif, di samping materi pembelajaran dan media pembelajaran. Sebab analisis interaksi edukatif yang menekankan pada aktivitas guru dan murid sangat berperan dalam menciptakan kreativitas berbahasa Indonesia. Ketiga, interaksi edukatif atau situasi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan memiliki peranan penting dalam mengembangkan potensi murid, sebab TK (Taman Kanak-Kanak) sebagai lembaga pendidikan bagi anak usia dini atau pra-sekolah berlangsung dalam ikatan tujuan kependidikan. Dalam kaitan dengan pengembangan kemampuan berbahasa sebagai salah satu program kegiatan belajar, TK memiliki tujuan agar anak mampu bekomunikasi secara lisan. Dengan demikian, yang dipentingkan dalam tujuan ini adalah kemampuan anak dalam berbicara dan mendengarkan. Untuk mencapai tujuan itu, hal-hal yang perlu dikembangkan sesuai dengan PP. No. 27 tahun 1990 adalah (1) memperkaya kosakata murid, (2) melatih pendengaran murid, (3) melatih murid agar dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan, (4) melatih murid dapat berbicara, (5) melatih murid agar dapat memberikan informasi kepada orang lain, dan (6) melatih murid untuk dapat menyebutkan sebanyak-banyaknya suatu benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu (Depdiknas, 1994).
Agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai secara optimal, pendidik sebagai motivator, fasilitator, mediator, dan kreator dalam pendidikan mempunyai peranan dan andil yang sangat besar, terutama dalam memilih model interaksi pembelajaran, menyeleksi materi ajar, dan memilih media pembelajaran yang efektif.

METODE
            Penelitian yang berupa studi kasus ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Dikatakan desain penelitian kualitatif karena studi ini memiliki ciri-ciri (1) data penelitian berupa data deskriptif, (2) data penelitian bersifat alami, (3) lebih mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data dilakukan secara induktif, dan (5) makna merupakan hal yang mendasar. Ciri-ciri yang ditampilkan di atas jelas sesuai dengan ciri-­ciri desain penelitian kualitatif sebagaimana yang dianjurkan Bogdan dan Biklen (1982).
            Berdasarkan rancangan tersebut, data penelitian yang diperoleh sebelum dideskripsikan secara kualitatif terlebih dahulu dihitung persentasenya. Hasil persentase ini dipakai sebagai dasar pengklasifikasian data. Data penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif memiliki latar yang bersifat alami karena data tersebut diperoleh dalam interaksi yang wajar, bukan manipulasi. Selain itu, studi kasus ini menitikberatkan pada proses interaksi guru-murid, bukan semata-mata pada hasil interaksi dan analisisnya dilakukan secara induktif, dimulai dari identifikasi setiap proses interaksi sampai pada penyimpulan pola model interaksi yang digunakan. Hal lain yang juga menjadi ciri penelitian ini adalah mementingkan makna daripada proses interaksi.
Oleh karena studi ini merupakan studi kasus, sumber data penelitian ini hanya dilakukan pada setting yang terbatas, yakni di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang. Data yang diperoleh dianalisis melalui prosedur: (1) pengecekan keabsahan data, (2) pengidentifkasian dan pengklasifikasian data, (3) analisis data dengan tahapan: menghitung frekuensi dan persentase, memasukkan hasil penghitungan frekuensi dan persentase ke dalam tabel, dan menentukan hasil dan pembahasannya. Hasil penelitian ditentukan dengan cara mendeskripsikan model interaksi, bahan pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan berdasarkan hasil pentabelan data.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Seperti dijelaskan bahwa penerapan high­tech dalam meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini hanya dilihat pada tiga aspek, yakni dari aspek interaksi guru-murid, wujud da jenis bahan pembelajaran, dan dari segi variasi media atau alat bantu pembelajaran. Hasil dari penerapan high-tech itu adalah sebagai berikut.
Penerapan High-Tech Ditinjau dari Aspek Model Interaksi Edukatif
Ditinjau dari aspek model interaksi edukatif yang digunakan guru untuk memacu kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini di TK Dharmawanita Universitas Ncgeri Padang adalah sebagai berikut.
Pertama, model interaksi yang paling banyak digunakan guru untuk melatih dan memperkaya perbendaharaan kosakata adalah dengan cara guru bersama murid bernyanyi, kemudian guru menjelaskan isi nyanyian dan kata-kata yang digunakan dalam nyanyian tersebut (75%). Berikutnya, model interaksi yang digunakan adalah murid menirukan guru menyebutkan nama objek yang diragakan (67%); murid menyebutkan nama objek yang ditunjuk guru (64%); murid menirukan syair yang digunakan guru dengan kata-kata yang tepat ucapannya (60,4%); murid bercerita dengan kata-kata yang diingat dan diperdengarkan dari cerita guru (54,2%); murid diajak berwisata di lingkungan pekarangan sekolah dan sekitar kampus UNP untuk mengenali nama objek tertentu dengan cara menyebutkan nama atau menirukan nama objek yang ditunjuk guru (52,6°%); murid disuruh menceritakan pengalaman dan kegemaran mereka di depan kelas dengan bahasa sendiri (49,4%); murid disuruh menyusun kartu abjad menjadi kata seperti yang disebutkan guru (40%); murid disuruh bermain peran dengan kata-kata sederhana setelah mereka diberi contoh (36,8%); murid disuruh menunjukkan kartu kata sesuai dengan nama objek yang disebutkan guru (32%); murid diajak bermain kuis dengan cara menyuruh murid memberi contoh kata-kata atau nama-nama objek dalam kelompok tertentu (29,4%); dan model interaksi yang paling jarang digunakan guru dalam memacu kreativitas berbahasa Indonesia anak adalah murid disuruh menyusun kartu suku kata menjadi kata yang disebutkan guru (21,4%).
Kedua, model interaksi yang paling banyak digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalarn melatih keterampilan menyimak (mendengarkan) murid adalah murid disuruh menjawab isi cerita yang diperdengarkan dari guru melalui tape recorder (78,6%); permainan bisik berantai dengan kata atau kalimat sederhana kepada murid tertentu dan kemudian murid tersebut disuruh membisikkannya kepada murid lainnya secara berantai (70,6%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah murid disuruh mengingat dan menceritakan kembali cerita yang didengarnya dari guru (63,3%); guru menyuruh murid melakukan tindakan tertentu (61%); murid menirukan kata-kata atau kalimat yang didengarkannya dari guru atau murid lain yang dijadikan model (57,1%); murid disuruh menirukan bunyi-bunyi tertentu dan disuruh menebak jenis suara apa yang didengarnya (28,3%); dan model interaksi yang paling rendah frekuensi penggunaannya adalah guru menceritakan sesuatu kepada salah seorang murid dan murid tersebut disuruh tnenceritakannya kepada murid lainnya (cerita berangkai) (14%); dan guru menceritakan isi gambar dan murid mengamati isi gambar, kemudian menceritakan isi gambar tersebut seperti yang telah didengarnya dari guru (12%); serta murid disuruh menirukan urutan kata yang sesuai dengan apa yang didengarnya dari guru (10%).
Ketiga, model interaksi yang paling tinggi frekuensinya digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalarn melatih murid untuk dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan (melatih murid untuk terampil berbicara) adalah guru memberi kesempatan kepada murid untukmenjawab pertanyaan isi cerita dari guru (79%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah guru menyuruh murid menjawab pertanyaaan yang berhubungan dengan identitas, pengalaman, kegemaran dan hal-hal yang berhubungan dengan diri murid (70,2%); murid diberi kesempatan mengajukan pertanyaan tentang sesuatu dan guru menjawabnya (50,9%); guru mengajukan pertanyaan tentang nama alat peraga yang ditunjuk (tiruan/asli) dan murid disuruh menjawabnya (32%); guru menyuruh murid mewarnai gambar, kemudian guru menanyakan jenis warna setiap gambar dan murid menjawabnya (28%); dan interaksi yang paling kecil frekuensi pengunaannya adalah guru menyuruh murid mendramatisasikan cerita yang banyak berisi tanya jawab (24%%).
Keempat, model interaksi yang paling sering digunakan guru TK Dharmawanita UNP dalam rangka melatih murid memberikan informasi kepada orang lain adalah murid menirukan contoh dari guru tentang cara memberikan informasi kepada orang lain (60,8%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah murid disuruh mengamati objek tertentu, kemudian murid disuruh menginformasikan kepada teman-temannva di depan kelas (60,4%); murid ditugasi untuk mencari informasi temannya yang sakit, tidak suka masuk sekolah, dan sebagainya, kemudian disuruh menyampaikan informasi kepada teman lain di depan kelas (57%): murid disuruh memberikan informasi kepada teman lain tentang pengalamannya, kesukaannya, dan sebagainya secara bergilir (41,8%); dan model interaksi yang paling kecil interaksinya adalah guru menugasi murid menyampaikan pesan kepada orang tua secara lisan dan hasilnya akan dicek guru di depan kelas (19,5%).
Kelima, model interaksi yang banyak digunakan oleh guru TK untuk melatih murid agar dapat menyebutkan benda sebanyak-banyaknya beserta sifatnya (80,4%). Selain itu, model interaksi yang digunakan adalah guru membangkitkan ingatan murid untuk menyebutkan benda tertentu berdasarkan klasifikasinya dan menyebutkan sifatnya (71,2%); murid menyebutkan nama benda yang ditunjuk guru beserta sifatnya (63,4%): murid menunjukkan benda tertentu dalam kotak berdasarkan sifat-sifat tertentu yang telah ditunjukkan guru (60,4%), dan model interaksi yang paling kecil persentasenya adalah guru menugasi murid untuk membawa benda tertentu dan menyebutkan nama beserta sifatnya (47,2%).
Penerapan High-Tech Ditinjau dari segi Wujud dan Jenis Bahan Pembelajaran
Untuk menciptakan kreativitas berbahasa Indonesia yang digunakan di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang juga terklasifikasi atas enam kategori sesui dengan tujuan pembelajaran dalam kurikulum TK. Wujud dan jenis bahan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, untuk melatih murid menguasai perbendaharaan kata bahasa Indonesia, bahan pembelajaran yang digunakan adalah (1) nama­
nama objek di lingkungan murid yang sesuai dengan kurikulum TK, (2) nama-nama objek di lingkungan murid yang dianggap penting bagi murid walaupun tidak dianjurkan atau tidak sesuai dengan kurikulum TK, (3) lagu, (4) cerita, dan (5) syair. Dari beberapa bahan tersebut, yang persentase pemakaiannya yang paling besar adalah nama-nama objek di lingkungan murid yang sesuai dengan kurikulum ditambah dengan nama-nama objek yang dianggap penting walaupun tidak sesuai dengan kurikulum TK sedangkan persentase yang  kecil adalah cerita.
Kedua, untuk melatih pendengaran murid, bahan pembelajaran yang digunakan adalah (1) kata-kata di lingkungan murid, (2) kalimat, (3)
cerita, (4) syair, (5) lagu, dan (6) percakapan. Bahan pembelajaran yang persentase pemakaiannya paling besar adalah syair dan paling kecil persentase pemakaiannya adalah percakapan.
Ketiga, untuk melatih murid agar dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan, bahan pembelajaran yang digunakan guru adalah (1) cerita disertai beberapa pertanyaan, (2) kata-kata sebagai objek pertanyaan, dan (3) berbagai jenis kalimat tanya. Cerita yang disertai dengan pertanyaan merupakan bahan ajar yang persentase pemakaian tinggi, namun banyak guru-guru yang kurang memperhatikan jenis pertanyaan yang digunakan.
Keempat, untuk melatih murid agar dapat bercerita secara lancar dan kreatif, bahan pembejaran yang digunakan adalah (1) cerita nyata, (2) cerita fiksi, dan (3) pengalaman, kesenangan, cita-cita, dan sebagainya. Cerita nyata, pengalaman, kesenangan, dan cita-cita murid merupakan bahan pembelajaran yang persentase pemakaiannya lebih tinggi dari pada cerita fiksi.
Kelima, untuk melatih murid agar dapat memberikan informasi kepada orang lain, bahan pembelajaran yan dimanfaatkan guru adalah (1) informasi dalam dalam bentuk kalimat, (2) informasi dalam bentuk wacana utuh, (3) informasi nyata, dan (4) informasi tidak nyata. Informasi dalam kalimat yang bersifat nyata persentase pemakaian paling besar daripada dalam bentuk wacana yang bersifat tidak nyata.
Keenam, untuk melatih murid agar dapat menyebutkan sebanyak-banyaknya benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu, bahan pembelajaran yang dimanfaatkan adalah (1) nama-nama benda beserta sifat-sifatnya yang sesuai dengan kurikulum TK, (2) nama-nama benda beserta sifat-sifatnya sesui dengan kurikulum TK ditambah nama-nama benda yang dianggap penting bagi siswa walaupun tidak ada dalam kurikulum. Jenis bahan pembelajaran yang kedua persentase pemakaiannya lebih besar daripada jenis pertama.

Penerapan High-Tech Ditinjau dari segi Variasi Alat Bantu Pembelajaran

Untuk menciptakan kreativitas berbahasa Indonesia di TK Dharmawanita Universitas Negeri Padang, ada enam variasi berikut ini.
Pertama, alat bantu yang digunakan untuk melatih murid agar dapat menguasai perbendaharaan kata bahasa Indonesia cukup bervariasi, seperti (1) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, (2) objek nyata, (3) buku cerita dan majalah, (4) kartu abjad, (5) kartu suku kata, (6) kartu kata, (7) lagu, dan (8) syair. Dari beberapa alat bantu tersebut di atas, yang paling banyak persentase pemakaiannya adalah alat bantu tiruan seperti gambar, boneka, dan sebagainya; dan yang paling kecil persentase pemakaiannya adalah kartu suku kata.
Kedua, untuk melatih pendengaran murid, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) tape recorder, (2) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, (3) buku catatan tentang lagu, syair, dan cerita, (4) malajalah yang berisi lagu, syair dan cerita, serta (5) radio dan TV. Dari beberapa alat bantu tersebut di atas, yang paling besar persentase pemakaiannya adalall tape recorder dan yang paling kecil persentase pemakaiannya adalah TV dan radio.
Ketiga, untuk melatih murid agar dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) objek tiruan: boneka, gambar berseri, gambar dinding, (2) objek nyata di lingkungan siswa, dan (3) buku dan majalah yang berisi objek tertentu, cerita, lagu, dan syair. Dari beberapa alat bantu itu yang paling besar persentase pemakaiannya adalah objek nyata dan yang paling kecil persentase pemakaiannya adalah buku dan majalah.
Keempat, untuk melatih murid agar dapat bercerita secara lancar dan kreatif, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) objek nyata, (2) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, dan (3) buku cerita, majalah, dan catatan. Objek tiruan persentase pemakaiannya lebih besar dibandingkan dengan objek nyata serta buku, majalah, dan catatan.
Kelima, untuk melatih murid agar dapat memberikan informasi kepada orang lain, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) objek nyata di lingkungan siswa, (2) objek tiruan: gambar, boneka, dan sebagainya, dan (3) surat, buku tugas, dan buku penghubung. Dari beberapa alat bantu tersebut persentase pemakaian yang paling besar adalah objek nyata dan persentase pemakaian yang paling kecil adalah surat, buku tugas, dan buku penghubung.
Keenam, untuk melatih murid agar dapat menyebutkan sebanyak-banyaknya benda yang mempunyai sifat-sifat tetentu, alat bantu pembelajaran yang digunakan adalah (1) benda-­benda nyata di lingkungan murid, (2) benda-benda nyata pemakaiannya lebih besar dibandingkan dengan pemakaian benda-­benda tiruan seperti gambar. Benda-benda nyata pemakaiannya lebih besar daripada benda-benda tiruan.

PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan high-tech oleh guru Taman Kanak-Kanak Dharmawanita Universitas Negeri Padang dalam meningkatkan kreativitas bebahasa Indonesia anak usia dini adalah sebagai berikut. Pertama, untuk melatih penguasaan perbendaharaan kata, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan, menyebutkan nama, bercerita, bersyair, dan berwisata. Bahan pelajaran untuk mencapai tujuan tersebut adalah nama-nama objek di lingkungan murid, lagu cerita dan syair sesuai dengan kurikulum TK. Media yang digunakan adalah objek tiruan berupa gambar, boneka, kartu abjad, kartu suku kata, kartu kata, lagu, syair, buku, dan majalah anak. Kedua, untuk melatih pendengaran (keterampilan menyimak) anak, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan, bercerita, menjawab pertanyaan, perintah tindakan, bisik berantai. Materi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan itu adalah kata-kata di lingkungan anak (ruangan kelas) kalimat, cerita, percakapan, dan lagu. Medianya adalah tape recorder dan suara guru. Ketiga, untuk melatih anak agar dapat menjawab dan mengajukan pertanyaan, model interaksi yang digunakan guru adalah menjawab dan mengajukan pertanyaan serta dramatisasi. Materi pembelajaran yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah cerita yang disertai beberapa pertanyaan, kata sebagai objek pertanyaan dan berbagai kalimat tanya. Selanjutnya medianya adalah tiruan seperti boneka, gambar berseri, gambar dinding dan pembelajaran objek nyata lingkungan alam sekitar. Keempat, untuk melatih anak agar bercerita dengan lancar dan kreatif, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan, menyebut nama, penugasan, bercerita, dan dramatisasi dengan materi ajar berupa cerita nyata, cerita fiksi, pengalaman, kesenangan cita-cita, dan sebagainya dengan alat bantu objek nyata dan objek tiruan. Kelima, untuk melatih anak agar dapat memberikan informasi pada orang lain, model interaksi yang digunakan guru adalah menirukan penugasan dengan memanfaatkan materi ajar berupa informasi dalam bentuk kalimat, wacana, informasi dalam bentuk nyata dan tidak nyata dengan di lingkungan anak. Keenam, untuk melatih anak menyebutkan sebanyak-banyaknya suatu benda yang mempunyai sifat-sifat tertentu, model interaksi yang digunakan guru adalah menunjukkan objek dengan materi ajar berupa nama-nama benda beserta sifatnya yang dianggap penting bagi murid. Media yang digunakan adalah benda-benda nyata di lingkungan murid dan benda­benda tiruan berupa gambar.
Saran
Kesimpulan di atas membuktikan bahwa penerapan high-tech dalam meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini di TK Dharmawanita UNP sudah diwujudkan meskipun masih diperlukan lagi usaha-usaha perbaikan-perbaikan untuk mengoptimalkannya. Untuk itu dalam hal ini perlu direkomendasikan hal-hal berikut seperti bagi guru TK disarankan untuk mempertimbangkan dan memilih model interaksi edukatif, materi ajar, dan media pembelajaran yang dapat mengoptimalkan potensi kreatif anak. Selanjutnya bagi lembaga-lembaga pengelola pendidikan anak usia dini perlu diberdayakan kewiyataan pendidikan (high-tech) untuk meningkatkan kreativitas berbahasa Indonesia anak usia dini, sehingga mereka punya bekal yang cukup untuk kelanjutan pendidikan mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, Lorin W. 1989. The Effective Teacher.' Study Guide and Readings. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bogdan, R.C. dan S.K., Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. London: Allyn and Bacon, Inc.
Burns, R.B. 1978. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. (Terjemahaman). Jakarta: Gunung Agung.
Dahler, Franz dan Julius Chandra.      1976. Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Depdiknas. 1994. Program Kegiatan Belajar TK. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gede Prama. 2002. Percaya Cinta Percaya Keajaiban: Serangkaian Renungan Penuh lnspirasi Bersama. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Fuad Hassan. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Huijbers, Th. 1978. "Sesama Manusia" (dalam Sekitar Manusia). Jakarta: Gramedia.
Kutnick, Patrick & Jules Valerina. 1993. Effective Teaching in School. Oxford: Basil Blackwell.
Marsudi Fitro Wibowo. 2006. "Kasih Sayang dalam Islam". www.pikiran-rakyat.com/Akses 20 September 2006
McInerney, Denis M. & Valentina McInerney. 1998. Educational Psychology: Constructing Learning. (Second Edition). Sydney: Prentice Hall Australia Pty. Ltd.
McInerney, Denis M. & Valentina McInerney. 1998. Educational Psychology: Constructing Learning. (Second Edition). Sydney: Prentice Hall Australia Pty. Ltd.
Muhardi. 1986. "Homo Humanus". Padang: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Padang.

Artikel ini telah diterbitkan pada Jurnal Bahasa dan Seni Vol 9 No.1 Tahun 2009


Mengefektifkan Pembelajaran Membaca Interpretatif Melalui Pendekatan Cooperative Learning di Sekolah Dasar
Yasnur Asri
Abstract: This study focus on the effectiveness of using cooperative learning approach in interpretative reading in elementary school. The results of the study reveal that interpretative reading by using coopperative learning approach in elementary school is more effective. This study recomends that he teachers use coopretative learning approach in teaching interpretative reading in higher grades of elementary schools.
Key works : effective, teaching, reading interpretative, coopretative learning approach,


PENDAHULUAN
Ada beberapa dasar pemikiran yang men­jadi alasan untuk melihat efektivitas pendekatan cooperative learning dalam pembelajaran membaca interpreatif di sekolah dasar (SD). Pertama, membaca merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting dimiliki peserta didik termasuk peserta didik di sekolah dasar (SD). Betapa tidak, karena peserta didik yang sedang belajar di SD harus dapat menggali dan mengembangkan ilmu yang dituntutnya dengan jalan membaca. Setiap peserta didik harus selalu membaca buku-buku, jurnal atau sumber-sumber yang ada kaitannya dengan materi pembelajaran yang sedang diikuti atau dipelajarinya. Bush dan Huebner malah menyatakan bahwa kira-kira 90% kegiatan peserta didik di sekolah melibatkan kegiatan membaca. Di samping itu, kemampuan membaca juga sangat banyak manfaatnya dalam segala aspek kehidupan lainnya di lingkungan masyarakat, seperti organisasi sosial, administrasi pemerintahan, keagamaan, kemasyarakatan, kesenian, perdagangan, dan lain­lain. Di SD, pembelajaran membaca permulaan lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan dasar, yaitu menuntut peserta didik "menyuarakan" kalimat-kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan, sedangkan pembelajaran membaca lanjut diberikan setelah peserta didik memiliki kemampuan dasar membaca yang diperoleh di kelas 1, 2, dan 3 dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan memahami, dan menginterpretasi wacana yang dibaca.
Kedua, pembelajaran membaca interpretatif di SD terutama di kelas tinggi (kelas IV, V, VI) sudah merupakan tuntutan karena pada kelas tinggi ini peserta didik telah dituntut melakukan kegiatan­kegiatan, seperti menginterpretasi, menganalisis, dan menyimpulkan bacaan. Oleh karena itu, aktivitas peserta didik sudah diarahkan untuk menginterpretasi isi bacaan dengan cara mencari hubungan sebab-akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dari teks, mengemukakan alasan dan tujuan pengarang, serta menyimpulkan isi bacaan berdasarkan skemata yang dimiliki pembaca. Dalam menginterpretasi teks bacaan, pembaca (peserta didik) melibatkan pengetahuan yang dimiliki dengan informasi yang ada dalam bacaan agar bacaan dapat dipahami. Pembaca men gaitkan skemata yang dimiliki dengan teks bacaan. Dengan demikian , skemata dapat dikatakan berupa struktur pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dan digunakan oleh pembaca ketika memahami bacaan. Konsep-konsep yang dipelajari pembaca (peserta didik) melalui kegiatan membaca interpretatif lebih bermakna apabila peserta didik mendapatkan masukan dan balikan dari orang lain seperti guru dan teman sekelas daripada dipelajari sendiri oleh peserta didik. Untuk mewujudkan suasana pembelajaran yang demikian, diasumsi pendekatan cooperative learning lebih efektif digunakan karena memberi kesempatan kepada peserta didik berinteraksi den-an peserta didik lainnya untuk memahami kebermaknaan isi pelajaran dan bekerjasama secara aktif dalam menyelesaikan tugas (Stone, 1990). Di samping itu, dengan pendekatan cooperative learning peserta didik
dalam pembelajaran akan leluasa berinteraksi dengan teman sebaya dalam menginterpretasi, menganalisis, dan menyimpulkan bacaan dalam kelompok kecil.
Ketiga, jika kita teliti lebih lanjut, realitas pembelajaran membaca pemahaman di SD (terutama di SD Negeri Percobaan Padang yang dijadikan objek kajian ini) saat ini umumnya menggunakan sistem klasikal yang menempatkan kecepatan memahami isi bacaan berdasarkan kecepatan rata-rata peserta didik. Ada peserta didik yang merasa bahwa pembelajaran membaca pemahaman yang dilakukan oleh guru terlalu cepat, yakni bagi peserta didik yang lambat memahami isi bacaan, sementara ada pula peserta didik yang merasa pembelajaran membaca pemahaman yang dilakukan guru terlalu lambat, yakni bagi peserta didik yang cepat memhami isi bacaan. Peserta didik yang lambat memahami isi bacaan merasa bingung begitu juga peserta didik yang cepat merasa bosan dengan sistem belajar yang mengabaikan keberbedaan setiap peserta didik. Kedua kelompok peserta didik tersebut, yakni peserta didik yang cepat dan lambat dalam memahami isi bacaan perlu mendapat perhatian. Peserta didik yang cepat memahami isi bacaan memerlukan kegiatan yang lebili mengltargai kecepatan membaca, sedangkan peserta didik yang lambat memerlukan teman sebaya yang lebih pintar untuk membantu memahami isi bacaan yang diberikan oleh guru. Dengan demikian, pembelajaran membaca pemahaman di SD Negeri Percobaan Padang perlu dibenahi.
Pemahaman isi bacaan yang berfokus pada penemuan pikiran pokok setiap paragraf, tujuan dan alasan pengarang, dan penyimpulan isi bacaan terabaikan oleh guru di SD (terutama di SD Negeri Percobaan Padang yang menjadi objek kajian ini). Penemuan pikiran pokok setiap paragraf, tujuan dan alasan pengarang,dan penyimpulan isi bacaan bagian dari pemahaman membaca interpretatif. Pemahaman isi bacaan terfokus pada pertanyaan yang tersedia di buku bacaan yang lebili menekankan pada jawaban yang mengeksplorasi pemahaman literal, sedangkan pemahaman interpretative diabaikan.
Berdasarkan ketiga dasar pemkiran di atas, pembelajaran membaca pemahaman di SD Negeri Percobaan Padang yang dikemukakan di atas perlu diadakan pembenahan atau penyelesaian masalah. Penulis dan praktisi bersepakat untuk membenahi atau menyelesaikan pembelajaran membaca pemahaman di SD Negeri Percobaan Padang dengan mengimplementasikan pendekatan cooperative learning agar pembelajaran membaca interpretatif lebih efektif. Penelitian ini berfokus pada bagaimana mengefektifkan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD Negeri Percobaan Padang?

METODE
Metode yang digunakan adalah metode penelitian tindakan kelas kolaboratif (Suyanto. 1996/1997). Penelitian ini melibatkan guru kelas V dan kepala sekolah SD Negeri Percobaan Padang sebagai praktisi dalam perencanaan maupun pelaksanaan tindakan. Maksudnya hubungan antara peneliti dan praktisi bersifat kemitraan. Peneliti dan praktisi berkolaborasi mendiskusikan rencana dan pelaksanaan tindakan pembelajaran membaca interpretatif, serta merefleksi tindakan yang dilakukan. Tujuan utama dari penelitian ini untuk melihat efektivitas pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD Neaeri Percobaan Padang. Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus yang ditetapkan berdasarkan fokus penelitian, yaitu bagaimana mengefektifan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD Negeri Percobaan Padang. Setiap siklus terdiri atas beberapa kali pertemuan. Permasalahan yang belum dapat dipecahkan pada siklus pertama direfleksikan oleh peneliti bersama dengan praktisi untuk meninjau kembali tindakan yang telah dilakukan. Peneliti dan praktisi mendiskusikan kelebihan dan kekurangan tindakan yang dilakukan. Selanjutnya peneliti dan praktisi merencanakan berbagai langkah perbaikan untuk diterapkan pada siklus kedua. Pada siklus kedua dan ketiga peneliti melakukan hal yang sama dengan siklus pertama hingga masalah yang dihadapi dapat dipecahkan secara tuntas.
Data penelitian ini berupa hasil pengamatan, hasil wawancara, dan kumpulan catatan setiap siklus, serta hasil kerja kelompok atas tugas membaca yang diberikan praktisi. Sumber data penelitian ini adalah peristiwa pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning yang berlangsung di kelas V SD Negeri Percoban. Dari peristiwa pembelajaran tersebut dikumpulkan data proses dan hasil tindakan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning yang berlangsung selama tiga siklus tindakan.
Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas V SD Negeri Percobaan Padang tahun ajaran
2005/2006 berjumlah 40 orang peserta didik, yang terdiri atas 17 laki-laki dan 23 perempuan. Peserta didik kelas V SD tindakan dibagi dalam 8 kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 5 peserta didik, laki-laki, dan perempuan yang memiliki kemampuan akademik yang berbeda dan latar belakang sosial ekonomi orang tua peserta didik yang beragam.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data mengalir yang ditawarkan oleh Miles dan Huberman (1992) yang diawali dari produksi data, penyajian data, verifikasi, dan penyimpulan data. Analisis data dilakukan sejak penelitian tindakan dilakukan melalui refleksi tindakan pembelajaran pada setiap siklus, yakni siklus satu, dua, dan tiga. Untuk menguji kebabsahan data dilakukan ketekunan observasi, triangulasi, dan diskusi dengan sejawat.
HASIL
Dari hasil tindakan yang dilakukan, yakni pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD Negeri Percobaan Padang diperoleh informasi sebagai berikut. Seperti dijelaskan terdahulu bahwa penelitian dilakukan melalui 3 siklus dengan fokus bagaimana mengefektifkan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative leaning di SD Negeri Percobaan Padang. Pada setiap siklus penelitan bersubfokus pada bagaimana (1) menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca; (2) mengemukakan tujuan dan alasan pengarang; (3) menyimpulkan isi bacaan. Pembelajaran dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap prabaca, saat baca, dan pasca baca.
Pada siklus pertama, praktisi melakukan tindakan selama 2 kali pertemuan ( 2 x 80 menit ) dengan tema hiburan dan subtema mengikuti lomba paduan suara. Pembelajaran pada prabaca dilakukan kegiatan (1) mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 5 peserta didik; dan (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan alasan dan tujuan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Pada saat baca dilakukan kegiatan (1) membaca dalam hati; (2) mengerjakan tugas-tugas membaca dalam kelompok; dan (3) melaporkan hasil bacaan di depan kelas. Pada pascabaca dilakukan kegiatan: (1) merevisi hasil pekerjaan kelompok; dan (2) menanggapi pembelajaran yang telah dilakukan.
Hasil penelitian siklus pertama menunjukkan bahwa pembelajaran lebih terpusat pada pembentukan kelompok dan penjelasan tugas-tugas membaca. Para peserta didik belum terbiasa mendapat tugas membaca, yaitu menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan tujuan dan alasan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Tugas menyimpulkan isi bacaan tidak bisa dilaksanakan, karena para peserta didik belum memahami tugas yang diberikan kepada mereka. Penyelesaian tugas membaca tidak mencerminkan cooperative leaning, para peserta didik bekerja secara individual. Pelaporan hasil pekerjaan kelompok hanya ditanggapi oleh beberapa peserta didik saja, sebagian besar peserta didik bersikap pasif. Kekurangberhasilan pembelajaran pada siklus pertama ini diperbaiki sebagai masukan pada perencanaan dan pelaksanaan pada pembelajaran siklus kedua.
Pada siklus kedua, praktisi melakukan tindakan selama 3 kali pertemuan (3 x 80 menit) dengan tema hiburan dan subtema mengikuti lomba paduan suara. Pembelajaran pada prabaca, saat baca, dan pasca baca dilakukan sama seperti pada siklus pertama. Pada siklus ini lebih banyak menekankan pada pemahaman tugas membaca, yaitu menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan tujuan dan alasan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan dengan pemanfaatan cooperative learning.
Hasil penelitian siklus kedua menunjukkan bahwa para peserta didik memahami bacaan dengan memanfaatkan teman sekelompok. Diskusi kelompok berjalan cukup baik. Ketua kelompok berupaya memotivasi anggotanya untuk mengemukakan pendapat masing masing. Bagi peserta didik yang kurang memahami tugas, ketua meminta teman yang lebih pintar untuk membantu temannya yang kurang memahami tugas yang diberikan praktisi. Sharing hasil berjalan cukup baik. Setiap kelompok melaporkan tugas kelompok dan ditanggapi oleh kelompok lainnya. Tugas kelompok yang kurang tepat dibantu dan dilengkapi oleh kelompok lainnya.
Kekurangberhasilan pada siklus kedua terletak pada pemahaman tugas mengemukakan tujuan dan alasan pengarang yang terdapat dalam sebuah paragraf Antara tujuan dan alasan yang dikemukakan oleh kelompok Baling tumpang tindih. Praktisi berupaya membantu membedakan antara tujuan dan alasan dengan memberi kata kunci agar atau supaya untuk mengemukakan tujuan dan kata karena untuk
mengemukakan alasan. Kekurangberhasilan pada siklus kedua ini menjadi pertimbangan untuk membuat rencana dan pelaksanaan pada siklus ketiga.
Pada siklus ketiga, praktisi melakukan tindakan selama 3 kali pertemuan (3 X 80 menit) dengan tema keamanan dan keselamatan dengan subtema ronda malam. Pembelajaran dan tugas membaca sama seperti pada siklus pertama dan kedua. Pembelajaran dilaksanakan melalui prabaca, saat baca, dan pasca baca. Tugas yang diberikan adalah menentukan pikiran pokok dan penjelas wacana yang dibaca, mengemukakan tujuan dan alasan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan dengan pemanfaatan cooperative learning.
Hasil penelitian siklus ketiga menunjukkan bahwa praktisi membangkitkan skemata peserta didik dengan merekonstruksi pengalaman peserta didik, menyampaikan tujuan pembelajaran dan tugas membaca pada tahap prabaca. Peserta didik memahami bacaan dengan memanfaatkan teman sekelompok, sharing hasil bacaan dalam kelompok dan antarkelompok yang dilakukan pada saat baca. Pada pasca baca, para peserta didik merevisi dan merespon pembelajaran yang telah dilakukan. Para peserta didik merasa senang melakukan kegiatan membaca dengan cooperative learning karena mereka dapat bertukar pikiran dengan teman sekelompok dan dapat melatih kekompakkan anggota kelompok.
PEMBAHASAN
Fokus penelitian ini adalah bagaimana mengefektifan pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative leaning di SD Negeri Percobaan Padang. Untuk mengefektifkan pembelajaran membaca interpretatif, praktisi membangkitkan skemata peserta didik, mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, memanfaatkan teman sekelompok dalam memahami isi bacaan, melakukan sharing hasil bacaan, merevisi tugas, dan merespon pembelajaran yang telah dilakukan.
Pembangkitkan skemata peserta didik dilakukan praktisi dengan cara mengaitkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peserta didik dengan terra pembelajaran, seperti tema keamanan dan keselamatan dan tema hiburan. Praktisi menyampaikan tujuan pembelajaran dan penjelasan tugas-tugas membaca dimaksudkan agar para peserta didik memusatkan perhatian mereka pada apa yang harus dipelajari dan dikerjakan selama pembelajaran berlangsung. Penjelasan tujuan pembelajaran yang dilakukan praktisi sesuai dengan pendapat Vygotsky (dalam Berk dan Adam. 1995 yang menyarankan          guru(praktisi) hendaknya memperkaya komunikasi peserta didik dengan cara menjelaskan tujuan dan kegiatan pembelajaran di kelas dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menjelaskan dan menentukan pendapat mereka. Tugas yang jelas dan spesifik memperjelas peserta didik dalam belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson dan Johnson (1984) yang menyatakan bahwa tugas yang jelas dan spesifik sangat penting bagi peserta didik dan menhindari frustrasi peserta didik dalam belajar.
Pengelompokan peserta didik kelas V SD terteliti terdiri atas 8 kelompok. Setiap kelompok berjumlah 5 peserta didik terdiri atas peserta didik laki-laki dan perempuan dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, seperti PNS, TNI/POLRl. pedagang, petani dan nelayan. Pengelompokan peserta didik seperti itu sesuai dengan pendapat Slavin (dalam Ajisuksomo, 1996) yang menyatakan bahwa cooperative learning didefinisikan sebagai strategi pengajaran yang terstruktur dan dinamis dimana guru membagi peserta didiknya ke dalam kelompok yang terdiri dari 5 peserta didik, terdiri atas tingkat prestasi, jenis kelamin, dan etnik berbeda.
Pemanfaatan tutor teman sebaya dalam pembelajaran membaca interpretatif diperlukan agar peserta didik yang lebih pintar dapat membantu teman lainnya dalam memahami bacaan yang diberikan praktisi. Tidak semua anggota kelompok dapat memahami tugas yang diberikan praktisi melalui tugas membaca yang diberikan praktisi dengan baik. Anggota kelompok yang mengalami kesulitan memahami tugas dan memahami bacaan dapat dibantu oleh teman sekelompok yang lebih memahami bacaan dan mengerti tugas yang diberikan.
Melalui kegiatan berbagi informasi atau sharing hasil, para peserta didik dapat berinteraksi baik dalam kelompok maupun antarkelompok. Setiap kelompok melaporkan hasil pekerjaan mereka di depan kelas dan para peserta didik atau kelompok lainnya memberi masukan atau pertanyaan. Praktisi sebagai fasilitator dan motivator memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik dalam berbagai informasi. Para peserta didik berani mengemukakan pendapat, bersedia mendengarkan pendapat orang lain, dan menerima perbedaan pendapat antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Keterampilan mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, dan menghargai pendapat orang lain perlu dilatih sedini mungkin agar peserta didik terlatih dengan suasana dan perilaku saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan peserta didik berdasarkan bimbingan praktisi pada pascabaca adalah merevisi lembar kegiatan kelompok dan merespon pembelajaran selama pembelajaran membaca interpretatif berlangsung. Kegiatan merevisi tugas dilakukan oleh kelompok berdasarkan masukan dari guru dan teman sekelas. Hal itu dilakukan oleh setiap kelompok agar mereka memahami bahwa tugas yang belum tepat diperbaiki oleh setiap kelompok secara bersama-sama.
Merespon pembelajaran membaca interpretatif dilakukan oleh praktisi dan peserta didik pada pasca baca. Praktisi mengungkapkan rasa senang dan berterima kasih kepada seluruh anggota kelompok dan kelompok selama pembelajaran berlangsung. Ungkapan rasa senang dan terima kasih yang tulus dari praktisi merepresentasikan bentuk penguatan berupa kata-kata dan kalimat yang diberikan oleh praktisi kepada para peserta didik. Pemberian penguatan dapat memotivasi peserta didik agar lebih giat mengemukakan pendapat dan bekerja sama dalam kelompok. Di samping praktisi merespon pembelajaran, peserta didik juga diberi kesempatan merespon pembelajaran membaca interpretatif dengan cooperative learning yang telah dilaksanakan. Para peserta didik mengungkapkan kepuasan dan rasa senang mereka dalam belajar kelompok. Mereka menyatakan bahwa pembelajaran kelompok memberi kesempatan kepada mereka untuk mengemukakan pendapat dan berbagi informasi dalam kelompok dan antarkelompok. Hal itu sesuai dengan pendapat Spodek (1994) yang menyatakan bahwa belajar bahasa yang baik memungkinkan terjadinya situasi diskusi dan tukar pendapat selama pembelajaran berlangsung.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan cooperatif learning dalam pembelajaran membaca interpretatif di SD Negeri Percobaan Padang lebih efektif bila dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Untuk mengefektifkan pembelajaran membaca interpretatif, praktisi membangkitkan skemata peserta didik, mengelompokkan peserta didik menjadi 8 kelompok, memanfaatkan teman sekelompok atau rekan sejawat dalam memahami isi bacaan, melakukan sharing hasil bacaan, merevisi tugas, dan merespon pembelajaran yang telah dilakukan.
Efektivitas pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di kelas V SD Negeri Percobaan dilakukan melalui kegiatan prabaca, saat baca, dan pasca baca. Pada prabaca praktisi mengupayakan kesiapan belajar para peserta didik untuk mengikuti pembelajaran dan mengarahkan para peserta didik melakukan tugas individu dan kelompok selama pembelajaran membaca interpretatif Pada saat baca, para peserta didik dalam bimbingan praktisi bekerja dalam kelompok kecil untuk menemukan pikiran pokok dan penjelas dalam setiap paragraf, menemukan alasan dan tujuan pengarang, dan menyimpulkan isi bacaan. Pada pasca baca, praktisi, dan para peserta didik merespons pembelajaran membaca interpretatif melalui pendekatan cooperative learning dapat telah dilakukan.
SARAN
Kepada para guru SD terutama yang mengajar pada kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI) disarankan agar dapat memanfaatkan hasil penelitian tindakan ini untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran membaca pemalhaman termasuk pembelajaran membaca interpretatif dengan pendekatan cooperative learning di SD. Guru hendaknya memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk bekerja sama secara kooperatif dan memanfaatkan teman sekelompok untuk memahami tugas dan bacaan yang diberikan.
Hasil tindakan dengan memanfaatkan pendekatan cooperative learning ini tidak terbatas pada pembelajaran membaca interpretatif saja melainkan juga dapat dipergunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia maupun pembelajaran lainnya. Pembentukan kelompok tidak terbatas pada jumlah peserta didik yang sedikit saja, tetapi peserta didik yang berjumlah besar pun selayaknya mendapat kesempatan untuk belajar secara kelompok. Guru hendaknya merancang pembelajaran dengan memanfaatkan pendekatan cooperative learning secara profesional.

DAFTAR RUJUKAN
Ajisuksomo,C.R.P.1996. Self-Regulated Learning in Indonesian Higher Education. Jakarta: Atmajaya Research Centre.
Berk, L.E & Winsler,A. 1995. Scaffolding Children's Learning: Vygotsky Early Childhood Education. United States of America: National Assosiation for Education of Young Children.
Burns, P.C. Roe B.D., & Ross, E.P.1996. Teaching Reading in Today's Elementary School. Boston: Houghton Mifflin Company.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar: Garis-garis Besar Program Pengajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud.
Johnson D.W. & Johnson, R.T.1984. Circle of Learning:  Cooperative in the Classroom. Minneapolis: The Association for Supervision and Curriculum Development.
Miles, M.B. & Huberman, M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi. Jakarta: Ul Press
Spodek, B.& Saracho, O.N. 1994. Rightfrorn The Start: Teaching Children Ages Three to Eight. Boston: Allyn and Bacon.
Stone, J.M. 1990. Cooperative Learning and Language Arts. California: Resources for Teachers. San Juan Capistrano.
Sutanto. 1996/1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas: Pengenalan Penelitian Tindakan Kelas: Pengenalan Penelitian Tindakan Bagian Kesatu. Jakarta: Depdikbud



Tulisan ini disadur dari Jurnal Bahasa dan Seni Vol.8, No.1, Tahun 2007





Kiat Menciptakan Iklim Belajar Sastra yang Kondusif dengan Pendekatan Keterampilan Proses

Yasnur Asri

Abstract: This article describes technical words used to create a conducive teaching and learning atmosphere by using a process approach in the teaching of literature. It is expected that by applying the suggestions written in this article, the quality of teaching literature and appreciation to literary works will be improved so that the minimal competencies as required in the curriculum can be met. It is realized that a conducive learning atmosphere is a significant learning variable that contributes to students, literary appreciation.
Key words: iklim belajar, apresiasi sastra, pendekatan keterampilan proses.


PENDAHULUAN

Ada sejumlah argumentasi yang mendasari diterapkannya pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar apresiasi bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Sejumlah argumentasi itu adalah: (1) guru tidak mungkin mengajarkan semua fakta, konsep prinsip sastra yang selalu berkembang ; (2) peserta didik akan lebih mudah memahami fakta, konsep dan prinsip sastra jika mereka sendiri yang menemukannya; (3) penemuan dalam bidang-bidang ilmu, termasuk ilmu sastra bersifat relatif tidak mutlak; dan (4) pengembangan konsep tidak bisa dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri peserta didik (Semiawan dkk., 1985: 14-16).
Alasan lain yang juga cukup relevan mengapa pendekatan keterampilan proses diterapkan dalam pengajaran sastra adalah sebagai berikut. Pertama, dalam kurikulum bidang studi bahasa dan sastra Indonesia untuk SMU secara eksplisit dijelaskan bahwa PBM dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bergaul dengan karya sastra. Dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses, peserta didik akan mempunyai peluang dan kemerdekaan untuk belajar dan menggauli karya sastra dengan seakrab-akrabnya. Kedua, tujuan pengajaran sastra di SMU adalah agar peserta didik dapat mengenal, memahami, dan dapat mengekspresikan sastra Indonesia serta dapat mengkomunikasikannya secara tulisan/lisan. Berdasarkan rumusan tujuan itu, tentu aspek
apresiasi merupakan tekanan pokok. Apresiasi peserta didik tidak akan tumbuh dengan paksaan guru. Dengan dasar pemikiran ini jelas pendekan keterampilan proses dapat dijadikan sebagai pemicu sistem pengajaran yang diindoktrinasikan guru (Suyitno, 1985, Nadeak 1985, dan Rosyana, 1989). Pendek kata dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses dalam PBM apresiasi sastra, peserta didik akan terhindar dari bius indoktrinasi guru, karena ia mempunyai kebebasan untuk memberikan penafsiran dan penghayatan terhadap karya yang diapresiasikannya. Hal yang seperti inilah yang diharapkan dari pengajaran apresiasi sastra, yaitu agar tercipta masyarakat sastra yang apresiatif dan kreatif di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mewujudkan masyarakat sastra yang seperti itu diperlukan keaktifan peserta didik dalam proses belajar, baik secara fisik maupun mental. Ketiga, Apabila dikaitkan dengan akikat komunikasi dalam sastra yang unsur-unsurnya meliputi penciptaan, medium, pesan dan penikmat atau pembaca, kehadiran pendekatan keterampilan proses yang diwujudkan dalam CBSA (bukan pendekatan dari Catat Buku Sastra Abis) sangat memungkinkan terciptanya kontak yang optimal antarkomponen komunikasi sastra itu. Keaktifan peserta didik dalam membaca, menyelidiki, menginterprestasi karya sastra secara langsung akan memungkinkan tenvujudnya komunikasi sastra yang mesra (Widdowson, 1979: 47-70) dengan iklim PBM yang kondusif seperti ini peserta didik sebagai insan sastra akan dapat melakukan kegiatan apresiasi dan ekspresi sastra secara kreatif dan kontinu. Keempat, jika kita masih konsisten dengan paham bahwa sastra adalah warisan kultural, ranah pengembangan kemampuan apresiasi, kumpulan pengajaran moral, dan himpunan visi budaya yang berkonsep realitas (Gani: 1989: 1-4) maka keberadaan pendekatan keterampilan proses yang dijiwai CBSA sangat menguntungkan. Melalui kegiatan membaca, menyimak, dan melihat pembacaan puisi, serta pementasan drama, para peserta didik diharapkan bisa menghayati warisan budaya yang berupa sastra, dapat mengembangkan kemampuan apresiasinya, dapat menggali ajaran moral yang terkandung di dalamnya, dan dapat memahami dan menghayati visi budaya yang tersembunyi dalam karya sastra. Kelima, bila dikaitkan dengan landasan pengajaran sastra, seperti yang dikemukakan Rusyana (1989: 11-15), yaitu teori sastra, hasil sastra, dan ilmu pendidikan, maka pendekan keterampilan proses pun dapat dijadikan "senjata pemungkas".
Bahan pengajaran sastra harus berlandaskan pada telaah ilmu sastra. Setelah peserta didik mempelajari bahan pengajaran sastra itu, mereka diharapkan dapat mengolah perolehannya sehingga bermanfaat, baik bagi kepentingan praktis maupun teoretis. Untuk kepentingan praktis, misalnya, peserta didik akan dapat meningkatkan kemampuan apresiasinya, sedangkan untuk kepentingan teoretis,  peserta didik akan dapat menambah wawasan keilmuan sastranya.
Kontak langsung dengan karya sastra merupakan prasyarat terjadinya kegiatan apresiasi. Wujud kontak langsung dengan karya sastra dapat dilakukan dengan metode M5, yaitu mendengar/ menonton, membaca, mengekspresikan/ mengoralkan, menafsirkan, dan menuliskan hasil tafsiran (Santosa 1991: 8). Untuk melakukan kegiatan seperti ini tentu diperlukan kreativitas peserta didik sendiri, baik secara fisik maupun mental. Kadar kreativitas yang seperti ini akan dapat dioptimalkan dengan menerapkan pendekatan keterampilan proses melalui CBSA. Menurut kaca mata ilmu pendidikan, kreativitas dan keaktifan peserta didik dalam PBM apresiasi sastra diperlukan guru yang percaya pada sastra dan anak, untuk mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan PBM apresiasi sastra. Dengan tipe guru yang seperti ini, pemahamanan peserta didik terhadap karya sastra akan lebih mantap dan tahan lama, karena mereka terlibat secara langsung dengan
mendalami sendiri setiap karya sastra yang diapresiasikan.
Itulah beberapa argumentasi mengapa pendekatan keterampilan proses perlu dimasyarakatkan dalam PBM termasuk PBM apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Permasalahannya bagi kita sekarang tentu berkaitan dengan cara mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam kegiatan belajar-mengajar. Uraian berikut akan menyajikan tentang cara menerapkan pendekatan tersebut dalam pengajaran sastra, seperti dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam evaluasi dan tindak lanjut.

KIAT PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DALAM PENGAJARAN APRESIASI SASTRA
Pelaksanaan pengajaran sastra merupakan aktualisasi rencana pengajaran sastra yang telah disusun, di dalam atau di luar kelas. Dalam pelaksanaan pengajaran sastra inilah komponen­komponen pengajaran akan terlibat dan berinteraksi secara nyata. Keterlibatan dan interaksi antarkomponen ini baru dapat terlaksana dengan menggunakan pendekatan yang sesuai, dalam hal ini adalah pendekatan keterampilan proses.
Untuk mewujudkan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran sastra diperlukan strategi, metode, dan teknik pengajaran yang tepat. Salah satu strategi yang tepat untuk mewujudkan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran sastra (tidak tertutup kemungkinan untuk pengajaran bidang studi lainnya) adalah strategi CBSA. Dengan menggunakan strategi CBSA peserta didik akan lebih leluasa berperan serta dan terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dengan bimbingan guru melalui aktivitas-aktivitas membaca, mengamati atau mengobservasi, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan segala sesuatu yang telah digali dan diperolehnya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Maksudnya, peserta didik dapat mewujudkannya melalui kegiatan seperti pementasan drama, pembacaan puisi, pembacaan cerita pendek, diskusi sastra, dialog sastra, dan lain-lain (Setiawan, 1985: 9-13). Iklim belajar-mengajar seperti itu akan terwujud mana kala komponen-komponen pengajaran yang terlibat menjalankan peran dan fungsinya secara profesional.
Guru dalam pelaksanaan pengajaran sastra yang diwarnai pendekatan keterampilan proses akan menjalankan peran dan fungsinya sebagai fasilitator, dinamisator, organisator dan menjaga iklim mengajar yang hidup dengan menggunakan metode atau teknik mengajar yang relevan, misalnya dengan teknik diskusi, tanga jawab, penugasan dan latihan. Campur tangan guru dalam proses belajar mengajar yang demikian itu semata­mata hanya membantu dan menunjukkan jalan serta "mengendapkan" proses agar lebih terasa sejalan dengan rencana yang telah digariskan. Pada sisi lain, peserta didiklah yang berperan aktif dalam proses belajar mengajar dengan memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia. Keaktifan peserta didik tidak terbatas di dalam kelas semata melainkan juga di luar kelas. Dalam kaitan ini peserta didik dapat memanfaatkan lingkungan sekitarnya secara maksimal sebagai sumber belajar.
Komunikasi yang diharapkan dalam melaksanakan pengajaran sastra yang diwarnai oleh pendekatan keterampilan proses adalah komunikasi yang optimal, baik antara guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik secara timbal balik. Lebih jauh komunikasi itu bukan hanya antara guru-peserta didikdan peserta didik­peserta didik tetapi meliputi guru-teks atau sumber belajar lain. Dengan komunikasi yang demikian ini, kemungkinan peserta didik untuk berproses secara aktif untuk menemukan sesuatu dan mengolahnya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Dalam pelaksanaan pengajaran apresiasi sastra hubungan antara pembaca dengan wacana sastra sangat penting. Ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt (Gani, 1989: 11-17) yang ditegaskan dalam menggali makna hubungan antara pembaca dengan wacana sangat penting. Padangan Rosenblatt ini akan melahirkan empat prinsip yang sesuai dengan pendekatan keterampilan proses. Empat prinsip itu adalah: (i) peserta didik harus di beri kesempatan untuk melahirkan kreasinya sendiri; (ii) peserta didik harus diberi kebebasan untuk membentuk kristalisasi rasa personalnya terhadap wacana sastra yang dihadapinya; (iii) guru harus berusaha menemukan butir-butir persamaan diantara pendapat-pendapat peserta didiknya; dan (iv) pengaruh guru haruslah berupa elaborasi dari pengaruh-pengaruh utama yang inheren di dalam sastra itu sendiri. Implikasi lebih lanjut dalam pengajaran apresiasi sastra adalah bahwa makna sastra harus di tentukan oleh peserta didik,
sedangkan guru, kritikus, atau peserta didik yang lain dapat saja membantunya, tetapi tidak membuat makna sastra untuk peserta didikkutan (Gani, 1978: 11). Dengan demikian, kelas sastra akan menjadi ajang bagi peserta didik untuk beradu pendapat, bersambung rasa dengan nilai-nilai dalam wacana sastra yang dibacanya. peserta didik akan menyerap dan mengendapkan temuan dan hasil diskusinya menurut pandangan personalnya masing-masing. Hal yang seperti ini bermanfaat dan menarik bagi peserta didik dalam mepelajari sastra.
Pada sisi lain, bila kita kaitkan dengan kriteria interprestasi sastra, kehadiran pendekatan keterampilan proses dalam pelaksanaan pengajaran sastra sangat menunjang. Adanya kebebasan bagi peserta didik untuk memaknai sastra yang dibacanya akan memungkinkan akan terpenuhinya interprestasi (Gani, 1978: 118-159). Dalam hubungan ini kehadiran teknik diskusi dan tanga jawab akan memperkuat atau melengkapi temuan­temuan, sehingga pemahaman mereka akan semakin lengakp dan komprehensif. Di samping itu dalam kesempatan ini peserta didik diminta untuk mengemukakan pengalaman-pengalamnya selama bercengkrama dengan karya sastra, misalnya bagaimana cara menemukan suatu tema, penokohan, atau unsur-unsur keindahan lainnya yang telah ditemukan dalam suatu cerpen atau novel atau karya sastra yang lain. Mereka dapat berbagi pengalaman sehubungan dengan proses penemuannya itu. Juga diharapkan peserta didik dengan dibantu guru ala kadarnya dapat mengolah segala sesuatu yang telah diperolehnya itu (atau telah diperoleh sebelumnya) pada situasi lain yang mirip atau dalam kehidupan seharti-hari. Hal-hal yang seperti ini tidak kalah pentingnya dengan basil temuan itu sendiri. Dengan perkataan lain, cara menemukan, temuan, pengolahan hasil temuan yang telah digali dari karya sastra sama-sama penting sehingga perlu mendapat perhatian baik oleh guru maupun oleh peserta didik itu sendiri.
Agar pelaksanaan pengajaran sastra lebih terarah perlu dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS). LKS dimaksudkan untuk membimbing peserta didik melakukan aktivitas apresiasi sastra berdasarkan rencana yang telah ditentukan. Artinya, lembar kerja itu berisi kegiatan atau aktivitas yang harus dilakukan peserta didik selama pengajaran sastra berlangsung. Dengan adanya LKS ini, guru dapat mengamati dan sekaligus menilai keseriusan dan tingkat apresiasi peserta didik dijadikan sarana pendidikan homaniora atau mental spritual. Jika ditilik secara kultural, jika peserta didik yang kreatif clan dinamis akan dapat mentransmasikan nilai kebudayaan dari satu generasi berikutnya, berdasarkan kesinambungan clan penyimpangan yang ada. Ini tidak akan terwujud manakala peserta didik tidak mengenal clan bergaul dengan karya sastra yang nota benenya berisi visi kultual itu. Untuk itu diperlukan kiat PBM yang kondusif sehingga peserta didik dapat mengenal clan memahami pantulan nilai-nilai yang diungkapkan karya sastra tersebut.
Pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat dimanfaatkan guru untuk menciptakan iklim belajar sastra kondusif, yaitu iklim belajar yang terbebas dari virus-virus yang membelenggu peserta didik untuk berapresiasi clan berekspresi terhadap nilai-nilai karya sastra. Mudah-muclahan dengan kiat ini, pengajaran sastra akan lebih hidup clan semarak. Peserta didik akan dapat menghindarkan diri dari khotbah-khotbah guru tentang sastra clan pengajaran sastra tidak akan menjadi pengajaran tentang dunia antah barantah. Kemudian dengan kiat ini siswa akan terlibat secara aktif clan kreatif dalam memberi makna wacana sastra yang dipelajarinya, sehingga temuan nilai­nilai yang diperoleh melalui pergaulan secara akrab dengan karya sastra akan menjadi bekal yang bermanfaat baginya dalam meniti kehidupan ini.

DAFTAR RUJUKAN
Moody, H.L.B. 1971 The Theaching of Literature in Developing Countris. London: Longman Group Ltd.
Nadeak, Wilson. 1975. Pengajaran Apresiasi Puisi untuk Sekolah Lanjutan Atas. Bandung: Sinar Baru.
Olsen, Stein Hougon. 1978. The Structur of Literaru Understanding. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahmanto, B 1982. :Mencari Model Pengembangan Masyarakat Sastra di SMA dalam Sudiroatmadja, M.H. & Rahmanto, M.H. Bakti Gatra. Yogyakarta: FKSS IKIP Sanata Dharma.
---------- 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rusyana, Yus. 1989. "Pengajaran Sastra Indonesia di SMA". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.
Santoso, Puji. 1991. "Berbagai Isu Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah". Makalah PILNAS HISKI V. Bandung: HISKI clan Unpad.
Semiawan, dkk. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia.
Suyitno. 1985. Teknik-teknik Pengajaran Sastra clan Keterampilan Berbahasa. Yogyakarta: Hanindita.
Depdikbud. 1982. Konsep CBSA clan Berbagai Strategi B-M. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
Widdowson, H.G. 1979. Stylistics and The Theaching of Literature. London: Longman Group Ltd
Gani, Rizanur. 1989. "Wawasan Pengajaran Sastra Indonesia". Makalah Kongres Bahasa Indonesia V Jakarta: Depdikbud.


Artikel diterbitkan pada Jurnal Bahasa dan Seni Vol.6, No.2, tahun 2005