Senin, 16 Januari 2012

Menulis Cerita Pendek Melalui Strategi Area Isi



 MENULIS
CERITA PENDEK MELALUI STRATEGI AREA ISI
(Studi Kasus Terhadap Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia FBSS UNP)

Oleh: Yasnur Asri

Abstrak

This research aims at knowing the effectiveness of the use of 'content area strategy in teaching creative writing. Based on the action done in the class, it was found that content area strategy was able to enhanche students' activity in writing short story. The effectiveness was known from the average scores achieved in writing short story both in describing content of the story and element of the story, and in language usage.


Pendahuluan

Menulis cerita pendek merupakan salah satu pokok bahasan dalam mata kuliah menulis kreatif. Dalam realitas praktiknya, masih banyak  kendala yang dihadapi oleh mahasiswa dalam menulis cerpen. Untuk mengatasi kendala itu perlu dicarikan solusi pemecahannya. Salah satu upaya pemecahannya adalah melalui inovasi strategi pembelajaran. Inovasi strategi pembelajaran yang ditawarkan untuk pemecahan masalah itu adalah strategi area isi.
Kendala yang sering  dihadapi mahasiswa dalam menulis cerpen , antara lain adalah: Pertamapenggarapan unsur fiksional masih sangat lemah. Hal itu antara lain ditandai oleh kekurangjelasan teknik penga­luran. Struktur kejadian dalam cerita, yakni bagian awal, tengah, dan akhir sulit dipahami. Kejadian dalam cerita mengalir begitu saja tanpa pola yang jelas. Perwatakan tokoh-tokohnya diberikan sambil lalu dan terkesan serba kebetulan. Karena pengarang (dalam hal ini mahasiswa yang mengambil mata kuliah menulis kreatif)menggunakan cara naratif langsung, masalah latar cerita luput dari penggarapan. Sudut pandang yang digunakan secara tidak kon­sisten, akibatnya fokus cerita menjadi kabur. Kondisi demikian akhirnya menyulitkan pemahaman pembaca.
Kedua, dihubungkan dengan keterbacaan tekstual, bentuk penggunaan unsur kebahasaan masih tergolong sulit. Penggunaan kalimat yang panjang-panjang menguras konsentrasi pembaca, demikian juga penggunaan kosakata, istilah atau ungkapan tertentu terkesan dipaksakan.
Ketiga, wujud gambaran pokok persoalan cerita rekaan (cerkan) banyak yang klise, maksud kurang mendukung realitas objektif yang berlaku di tengah masyarakat sehingga juga meng­akibatkan kejenuhan dari pihak pembaca.
Keempat, wujud pengembangan terra cerita terkesan tidak utuh. Karena pengarang kurang disiplin terhadap fokus cerita. Cerita dikembangkan begitu saja menjadi penggalan-penggalan ke­jadian yang sering tidak berhubungan. Rata-rata cerita yang dihasilkan memiliki kesan yang bermacam-macam, bahkan tidak ada fokusnya (Thahar, 2000).
Dari sisi proses, berdasarkan realitas atau fakta pembe­lajaran (perkuliahan di kelas) teridentifikasi bahwa prosedur pem­belajaran penulisan cerita cerpen dilaksanakan sebagai berikut.
Tahap prapenulisan. Dosen memberikan informasi dengan cara ceramah tentang hakikat, sifat, dan corak cerita pendek. Contoh dan ilustrasi banyak diungkap dan diangkat dari penga­laman dosen sendiri. Akibat dari cara pembelajaran ini adalah mahasiswa kurang terlibat secara mental. Mereka cenderung diposisikan selaku pencatat dan pendengar yang baik.
Tahap penulisan. Pada tahap init bisa dikatakan bahwa  maha­siswa masih belum memiliki gambaran nyata tentang bentuk penulisan cerita pendek yang baik. Tugas penulisan cerita pendek dilaksanakan hanya berbekal pada potensi yang ada pada diri me­reka masing-masing. Dengan pembelajaran yang seperti ini adalah bahwa  cerpen yang mereka hasilkan terdapat banyak kelemahan
Tahap pascapenulisan (perbaikan/penyuntingan). Pada saat tersebut dosen memberikan balikan dan koreksi, baik secara in­dividu maupun klasikal. Pemberian balikan dan koreksi dalam kelompok-kelompok kecil belum dilakukan. Lagi-lagi, pada tahap itu peranan dosen sebagai satu-satunya sumber informasi sangat dominan.
Secara keseluruhan dapat direfleksikan bahwa dosen pembina menulis kreatif memang telah melaksanakan pembelajaran menulis cerita pendek sesuai dengan prosedurnya, tetapi di sisi lain peran mereka masih sangat dominan;  secara keseluruhan pola kegiatan pembelajaran masih  bersifat top-down,  informasi teoretis konseptual atau induktif-emprikal diangkat dari sisi dosen, akibatnya adalah  prior knowledge mahasiswa tidak tergali secara maksimal. Pendek kata dapat disimpulkan bahwa prosedur pembelajaran yang demikian itu, berpengaruh terhadap kualitas cerpen yang dihasilkan oleh mahasiswa. Rata-rata persoalan materi cerita yang diha­silkan mahasiswa bersifat klise, monoton, kurang berkembang, miskin ide, dan kurang kreatif.

Strategi Area Isi sebagai Kiat Menulis Cerpen
Untuk mengatasi masalah tersebut, Suhor (1984) mena­warkan strategi area isi. Dalam pelaksanaannya, penerapan strategi tersebut diawali dengan kegiatan (a) pengabstraksian, (b) pemo­delan, (c) pelatihan, dan (d) penghasilan produk.
Pada tahap persiapan, mahasiswa banyak diberi kesempatan melakukan proses (i) pembayangan, (ii) pengasosiasian, (iii) peng­eksplorasian, dan (iv) perefleksian terhadap masalah dan cerita anak-anak.
Pada tahap pemodelan, mahasiswa diberi banyak pajanan berupa contoh, bentuk atau model wacana cerita pendek. Dengan kegiatan tersebut mahasiswa berkesempatan melakukan proses (i) pengidentifikasian, (ii) pengkajian, (iii) perpresentasian, dan (iv) pemformulasian cerita baru.
Pada tahap pelatihan mahasiswa diberi banyak kesempatan untuk mencoba-coba dan bereksperimen. Pada tahap itu pula ma­hasiswa berlatih menulis cerpen secara langsung dengan mem­perhatikan cerpen model yang telah dikenalinya. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan adalah (a) penggunaan unsur bahasa, (b) peng­garapan unsur, (c) kesesuaian area isi, serta (d) keutuhan ceritanya.
Pada tahap penghasilan produk, mahasiswa diberi kesem­patan memformulasikan hasil latihannya dalam bentuk wacana cerita pendek yang memenuhi keempat syarat tersebut dalam tahap latihan, yakni syarat (a) keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian psiko­tekstual, dan (iii) keutuhan cerita.
Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan ben­tuk peningkatan penulisan cerita pendek mahasiswa dengan strategi area isi. Secara khusus bentuk peningkatan dimaksud men­cakup peningkatan kualitas proses dan hasil penulisan cerita anak. Kualitas proses penulisan cerpen diukur dari keterampilan mela­kukan pengabstraksian, pemodelan, dan pelatihan. Sedangkan kua­litas hasil penulisan cerpen dinilai dari (i) keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian psikolotekstual, dan (iii) keutuhan cerita.

Metode
Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (action research) dengan rancangan penelitian kualitatif. Prosedur penelitian dilaksanakan melalui tiga tahap, yakni tahap (1) diagnostik (2) terapeutik, dan (3) perancangan ulang (Cohen dan Monion, dalam Madya, 1994; Moleong 1989; Elliot, 1991). Pada tahap diagnostik, peneliti melakukan refleksi kajian awal yang bersumber pada (a) fakta pembelajaran menulis kreatif di kelas, dan (b) kualitas hasil belajar menulis cerpen mahasiswa pada semsseter sebelumnya. Berdasarkan hasil refleksi awal atau kajian awal tersebut, peneliti berkolaborasi dengan dosen yang membina mata kuliah Menulis Kreatif untuk meru­muskan masalah dan hipotesis tindakan.
Pada tahap terapeutik, peneliti bersama-sama dengan dosen pembina mata kuliah Menulis Kreatif, menyusun rancangan tin­dakan, melaksanakan tindakan, melakukan observasi dan pe­mantauan, serta melakukan refleksi/perenungan. Pada tahap peran­cangan ulang, dilakukan diagnosis ulang, dan penentuan implikasi dampak praktis terhadap basil penelitian.
Subjek penelitian ditentukan mahasiswa Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang yang mengambil mata kuliah Menulis Kreatif pada semester Januari - Juni 2010 dan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Menulis Kereatif semester Juli - Desember 2010. Pada umumnya ketika tindakan ini dilakukan mereka telah berada dalam semester V dan VI. Secara longitudinal, subjek penelitian diikuti perkem­bangannya selama 2 semester berturut-turut.
Berdasarkan penahapannya, data dalam penelitian ini dibe­dakan dua, yaitu: (a) data awal (data pratindakan), serta (b) data tindakan, dan hasilnya. Data hasil tindakan berupa data verbal tulis, bersumber dari tampilan karangan atau cerpen yang dihasilkan mahasiswa yang dijadikan perlakuan tindakan. Karena didukung oleh adanya bukti (evidensi), empirik jenis data pertama itu di­sikapi sebagai data faktual (bogdan dan Biklen, 1982). Data faktual merupakan hasil tindakan, berupa data verbal tulis yang terekam dalam tampilan karangan cerita pendek realistik kontemporer (C­RK) dan cerita kesejarahan (C-K) mahasiswa terteliti.
Data verbal lisan, responsi, serta tingkah laku mahasiswa subyek penelitian dan dosen bidang studi berumber dari tampilan interaksi dosen mahasiswa, antarmahasiswa selama kegiatan per­kuliahan berlangsung. Karena data tersebut hanya didukung oleh isyarat-isyarat (clues), data jenis kedua ini disikapi sebagai data reflektif.
Kedua jenis data tersebut direkam dengan menggunakan alat (a) catatan lapangan, (b) catatan hasil wawancara, (c) catatan dokumen, (d) rekaman kaset handy-camera, (e) foto, dan (f) pan­duan lembar pengamatan. Dalam penelitian ini peneliti berkedu­dukan sebagai instrumen utama yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi, menilai, menyimpulkan, dan memutuskan data-data (Lincoln dan Guba, 1985, Moleong, 1989).
Analisis data dalam penelitian tindakan ini menganut prinsip multiguna (McNiff, 1992:85). Maksudnya adalah bagaimana suatu teknik analisis dapat digunakan untuk mendukung pemecahan ma­salah yang telah dirumuskan. Atas dasar itu, data tentang proses abstraksi, pemodelan, dan pelatihan dianalisis dengan teknik anali­sis kualitatif model mengalir (Miles dan Huberman, 1982). Data tentang kualitas hasil penulisan cerita pendek dianalisis dengan menerapkan prinsip analisis wacana (Emmit, 1996). Target analisis mengarah pada tiga level, yakni (i) observasi, (ii) deskripsi, dan (iii) eksplanatori.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Peningkatan Keterampilan Melakukan Proses Penulisan
Keterampilan melakukan proses penulisan cerita pendek dinilai berdasarkan tiga subketerampilan, yakni subketerampilan melakukan (1) pengabstrakan, (2) pemodelan, dan (3) pelatihan. Pada siklus I hasil penelitian menunjukkan berikut ini,
Keterampilan mahasiswa dalam melakukan abstraksi rata­rata meningkat. Secara esensial keterampilan yang semula hanya bersifat pembayangan telah ditingkatkan menjadi keterampilan pengasosiasian. Pada tahap ke-1 mahasiswa diberi kesempatan melakukan pembayangan atau pengasosiasian terhadap segala problematik atau permasalahan kehidupan, serta kemungkinan untuk diangkat menjadi persoalan dalam cerpen. Akibatnya, hasil abstraksi masih terlalu luas, dangkal dan kabur. Pada tahap ke-2 materi abstraksi difokuskan pada masalah yang secara realistic kontemporer/aktual dialami oleh masyarakat sekarang. Dengan tindakan demikian, ternyata keterampilan abstraksi mahasiswa meningkat secara signifikan. Data pada tahap 1 menunjukkan, nilai keterampilan melakukan abstraksi mahasiswa hanya berkisar pada 62 - 74 atau setara dengan kualifikasi C, sedangkan pada tahap ke-2 nilai keterampilan meningkat meningkat menjadi 68 - 85 atau setara dengan kualifikasi baik (B)
Keterampilan melakukan pemodelan terhadap cerpen model, secara berkelompok mahasiswa telah mampu mengidentifikasi inti cerita, yang di dalamnya mencakup penokohan, penggambaran konteks cerita, urutan kejadian dalam cerita, serta dalam penem­patan latar cerita. Masing-masing kelompok cukup cermat meng­kaji bagaimana diksi dalam judul cerpen model dipilih berbagai bentuk ungkapan yang digunakan, serta bagimana perangkaian peristiwa-peristiwa dijalin. Tentang akhir cerita setiap kelompok juga bervariasi. Jika sebelum tindakan dilakukan nilai hasil pe­modelan mahasiswa hanya berkisar pada 61 - 76 (setara C), maka setelah tindakan dilakukan nilai keterampilan _melakukan pemo­delan cerpen mereka berkisar pada 67 - 87 atau setara dengan kualifikasi B.
Keterampilan melakukan pelatihan ditemukan berikut ini. Pada tahap ke-1 sebagian besar mahasiswa masih terpengaruh dengan cerpen model. Kebanyakan judul cerpen yang dihasilkan diambilkan dari nama tokoh utamanya atau dari konflik antartokoh cerita meskipun konflik tersebut tidak begitu menonjol. Pada tahap ke-2, mahasiswa telah berhasil melepaskan diri dari pengaruh cerpen model. Malahan di antara mereka lebih kurang 17,5% telah dapat mengembangkan draf latihan dengan mencoba meng­angkat judul cerpen dari aneka ragam problema kehidupan manusia. Nilai keterampilan melakukan pelatihan mereka dari rata­rata 66,82 menjadi 79,56.
Pada siklus II intervensi tindakan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut. Keterampilan melakukan abstraksi, dike tahui bahwa dengan cara curah pendapat secara klasikal, dan sharing dengan teman sejawat mahasiswa cukup lancar mengemu­kakan momen-momen yang bermuatan sejarah, politik clan eko­nomi. Sebelumnya, mahasiswa telah memperoleh pengalaman dalam mata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusasteraan, Sejarah Sastra, dan Kajian Prosa Fiksi yang bermuatan sejarah, politik, ekonomi, dan humaniora.
Dinilai dari efek instruksional, mahasiswa terkesan lebih berani, responsif, dan percaya diri dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya. Dari segi tampilan interaksi,.mereka umumnya telah mampu menjalin kerjasama dengan prinsip saling membantu. Pada hal data awal penelitian, unjuk kerja atau kinerja yang dernikian belum tergambarkan dengan jelas.
Di samping itu upaya meningkatkan keterampilan melaku­kan pemodelan juga dilakukan dengan melibatkan mahasiswa dengan berbagai pengkajian cerita pendek yang bertemakan ma­salah polotik, ekonomi, clan sejarah. Contoh cerita diambilkan dari berbagai kumpulan cerpen yang telah dipublikasikan oleh berbagai penerbit.
Melalui kiat yang demikian, sebagian besar mahasiswa telah mampu menemukan cerpen-cerpen yang bermuatan politik, eko­nomi, dan sejarah. Bahkan di dalam mengaplikasikannya, terutama dalam penyuntingan, penokohan, dan penyeleksian terra cerita juga berdampak positif. Hal ini terlihat dari skor rata-rata maha­siswa dalam keterampilan melakukan model, 82,48 atau setara dengan nilai B.
Keterampilan melakukan pelatihan dilakukan secara berta­hap, dimulai dengan kegiatan:. (a) latihan sendiri, (b) latihan terbimbing dengan menianfaatkan kegiatan konferensi formal/­informal baik dengan rekan sejawat maupun dengan dosen, dan (c) latihan mandiri. Sebelumnya setiap mahasiswa melakukan tukar pengalaman, pikiran, atau pendapat dalam kelompok menulisnya, kesulitan-kesulitan yang muncul ternyata dapat dipecahkan dengan rekan sekelompoknya. Hampir tidak ada masalah-masalah pokok yang dikonsultasikan dengan dosen setelah perlakuan ini dilaku­kan.
Realitas menunjukkan bahwa hasil latihan mereka ternyata baik. Secara representatif tema-tema cerpen mereka mencerminkan berbagai persoalan pokok manusuia seperti polotik, ekonomi, dan sejarah. Tetapi, penggunaan unsur bahasa untuk beberapa draf cerita terkesan lemah di bidang diksi. Rata-rata nilai keterampilan melakukan pelatihan adalah 84,59 atau setara dengan nilai baik (B).
Sejalan dengan temuan pada keterampilan proses penulisan cerpen di atas, diintepratasikan bahwa kegiatan penulisan cerpen memang perlu didahului dengan kegiatan preparasi atau penyiapan yang menyangkut isi dan struktur cerita pendek. Untuk itu, Bernard (1996) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran menulis cerita ada dua, yakni melalui skemata formal dan skemata isi. Sekmata formal bertujuan untuk membantu iahasiswa dalam mengarahkan mereka pada pengetahuan dan pengalaman mereka terhadap tipe teks narasi dengan struktur elemen cerita yang meliputi tema, latar cerita, penokohan, dan rangkaian cerita. Sedangkan skemata isi membantu dan membekali mereka dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman mereka berkaitan dengan isi teks narasi. Pemahaman skemata isi yang dimiliki mahasiswa akan melahirkan proses pemahaman bacaan sejalan dengan pengetahuan dan penga­iamannya sehingga melahirkan persepsi dan pemahaman berkaitan dengan konsep struktur cerita.
Pada saat proses abstraksi dan pernodelan dilakukan, muncul aktivitas mental mahasiswa baik secara asimilatif maupun ako­?modatif. Dalam proses asimilasi itu mahasiswa menyusun kembali mformasi yang telah ada untuk menemukan dan menyelaraskan
en gan informasi bare. Sementara itu akomodasi terjadi karena mahasiswa melakukan modifikasi terhadap kategori informasi yang diterimanya yang menyangkut cerita pendek realistik kontemporer dan cerpen yang bernuansa kesejarahan.
Hasil penelitian tentang keterampilan proses penulisan tersebut sejalan pula dengan studi yang dilakukan Balckburn, (1982). Dinyatakannya bahwa pemberian pemahaman struktur cerita melalui kegiatan membaca model cerita membuat mahasiswa (peserta didik) memahami struktur cerita yang menyangkut latar, terra, perwatakan dan sebagainya. Secara keseluruhan temuan penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan para pakar terdahulu, terutama yang berkaitan dengan metode peng­ajaran yang dirancang untuk meningkatkan dan memfasilitasi transfer skemata tentang struktur elemen cerita dalam aplikasi kegiatan menulis cerita.
Pola-pola latihan sebagaimana yang dikemukakan oleh Temple (1988), bahwa apa yang dilakukan oleh instruktur/dosen mnerupakan upaya menciptakan suasana atau atmosfer pembe­lajaran yang bersifat intelektul daripada sekadar penciptaan sua­sana fisik kelas. Dengan ditumbuhkannya suasana intelektual kelas yang sehat, mahasiswa (peserta didik) merasa bahwa mereka boleh mengambil resiko dan berbuat salah tanpa takut akan kecaman; `in healtry intellectual atmosphere, young authors feel they can take risks and make mistake withhout fear of cencure (Temple, 1988:2). Dan memang dalam prosesnya, pada saat pelatihan tersebut mahasiswa diberi kesempatan melakukan berbagai eksperementasi, tanpa dibuyuti oleh rasa takut untuk berbuat kesalahan.
2. Peningkatan Kualitas Hasil Menulis Cerita Pendek
Hasil menulis cerita pendek dinilai dari tiga subkualitas, yakni (i) subkualitas keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian psiko­tekstual, dan (iii) keutuhan cerita.
Pada siklus I penilaian terhadap kualitas keterbacaan tekstual cerita hal-hal yang dinilai adalah sebagai berikut.
(1) Penggunaan unsur bahasa, Kriteria yang digunakan adalah kejelasan/ketepatan penggunan (a) kosakata konkret, (b) kosa­kata khusus, (c) bentuk sinestisia, (d) bentuk kiasan, (e) ben­tuk majas, dan (f) bentuk penyusunan kalimat efektif. Diketa­hui terdapat 3 mahasiswa yang kualitas penggunaan unsur bahasa masih sangat lemah. Kekurangtepatan yang sangat mencolok adalah penyusunan kalimat yang berpanjang-pan­jang dan diksi yang terkesan sangat umum. Pada tahap ke-2 kelemahan tersebut diantisipasi dengan tindakan konferensi informal. Mereka yang masih lemah dibantu/diarahkan dosen tanpa harus mengelompokkan mereka dalam kelompok ter­sendiri. Hasilnya tinggal tiga mahasiswa yang kualitas penggunaan bahasanya masih sangat kurang. Rata-rata kuali­tas penggunaan unsur bahasa tahap ke-2 adalah 81,89 atau setara dengan baik (B); sedangkan pada tahap I nilai rata­rata yang dicapai adalah 78,85 atau setara dengan cukup (C).
(2) Penggarapan unsur cerita. Kualitas penggarapan unsur cerita dinilai dari 6 unsur yakni kejelasan/ketepatan (a) penggam­baran pokok persoalan (tema), (b) penyusunan rangkaian cerita (alur) (c) penggambaran peran dan watak tokoh dalam cerita (penokohan), (d) latar cerita, (e) kewajaran cerita, dan sudut pandang atau posisi pengarang dalam cerita. Pada umumnya, penggarapan unsur cerita, terutama penyetingan dan penyudutpandangan telah disusun secara jelas. Sebagian besar mahasiswa menggunakan atau memilih sudut pandang dengan cara diaan atau sudut pandang orang ketiga dengan posisi pengarang serba tahu. Dikaji dari taksonomi pokok persoalannya, tiga puluh satu cerpen hasil produk mereka dapat dipilih menjadi tiga, yakni (i) hubungan antara tokoh utama dengan dirinya sendiri, (ii) hubungan antara tokoh utama dengan anggota keluarganya, dan (iii) hubungan antara tokoh utama dengan orang lain/yang memiliki hubungan jauh. Pada tahap ke-1 rata-rata nilai kualitas penggarapan unsur cerita 82,19 atau setara dengan (B). Sedangkan untuk tahap ke-2 nilai rata-rata yang dicapai adalah 89,96 atau setara dengan amat baik (A).

Kedua, kesesuaian psikotekstual yang menyangkut (i) peng­gambaran area isi cerita, dan (ii) penggambaran pesan cerita diperoleh hasil sebagai berikut.
(1) Penggambaran area isi. Wujud penggambaran area isi cerita diukur dari kriteria kecocokan/kesesuaian isi cerita dengan (a) alam perasaan, (b) tingkat pemikiran, serta (c) keinginan dan kehendak. Dihubungkan dengan tiga ketegori pokok persoal­an permasalahan politik, ekonomi dan sejarah nilai rata-rata yang mereka peroleh adalah 83,21 atau setara dengan dengan baik (B).
(2) Wujud penggambaran pesan cerita. Kriteria yang digunakan untuk menilai sama dengan butir di atas. Secara spesifik ke-31 cerpen yang dihasilkan telah memberikan pesan moral secara "baik" pada tatakrama kehidupan masyarakat.Pesan moral dimaksud mencakup dua jenis, yakni (i) nilai moral kepri­badian, dan (ii) nilai moral sosial. Pada tahap ke-2, tinggal 4 cerpen saja, yakni Reformasi, si Pengemis, Gersang, dan Nasin Buk Fatma yang amat menonjol pesan ceritanya. Nilai rata-rata kualitas penggambaran pesan cerita yang mereka peroleh adalah 83,62 atau setara dengan baik (B).

Ketiga, kualitas keutuhan cerita dinilai dari (a) ada/tidaknya kejadian sentral sebagai pusat pengisahan, (b) fungsional/tidaknya keseluruhan unsur cerita, (c) padu/tidaknya relasi antar unsure cerita, (d) ada-tidaknya kesan cerita yang kuat/dominan. Dengan memberikan layanan konsultasi dan konferensi informal di kelas, pada tahap ke-2 kesulitan mahasiswa dapat diatasi. Hasilnya cukup menggembirakan hampir tidak tidak ada dari 31 cerpen yang mereka buatproduk yang belum memenuhi keutuhan cerita. Rata­-rata kualitas keutuhan cerita adalah 80,78 atau setara dengan baik (B).
Mengacu pada refleksi hasil penelitian siklus I, maka intervensi tindakan dan hasil penelitian siklus II adalah sebagaI berikut. Pertama, kualitas keterbacaan tekstual cerita.
(1) Penggunaan unsur bahasa. Dengan tindakan konferensi in­formal, kelemahan penggunaan kosakata konkret, khusus, dan permajasan dapat diantisipasi. Penggunaan kalimat efektif sebagian besar telah dilakukan dengan baik. Bentuk keefek­tifan dimaksud antara lain dilakukan dengan cara (i) meng­hindari penggunaan kalimat boros, (ii) menghindari penggunaan kalimat bertumpuk-tumpuk idenya. Sebaliknya, kalimat disusun dengan ringkas dan komunikatif.
(2) Penggarapan unsur cerita. Penyetingan dilakukan dengan penghadiran seting fisik, sedangkan penokohan dilakukan secara analitis, dan dramatis dengan kalitas baik. Penyudut­pandangan sebagaian besar dilakukan dengan cara orang ketiga. Pesan cerita tidak dicantumkan secara eksplisit. Mela­lui lakuan para tokoh, serta nasib para tokohnya pesan-pesan cerita diselipkan. Pesan cerita dipilih dua kategori, yakni moral kepribadian, dan moral sosial.. Kedua, kesesuaian psi­kotekstual cerita yang menyangkut penggarapan area isi dan pesan cerita adalah sebagaimana terpapar berikut ini. Penggarapan area isi cerita. Sebagian besar cerita telah menyajikan pokok persoalan kesejarahan yang cocok dengan problematik kemanusiaan. Pokok persoalan dimaksud antara lain masalah kegetiran kehidupan, masalah-masalah herois­me, percintaan, kegelisahan, kemesraan, ke-Tuhanan, dan penderitaan. Secara kuanlitatif, rata-rata nilai kualitas peng­garapan area isi cerita mereka adalah baik (B).
(3) Penggambaran pesan cerita. Dari segi teknis kepengarangan, tidak  ditemukan sebuah cerpen pun yang menyajikan pesan cerita secara ekspilisit, melalui perjalanan nasib tokoh cerita mulai awal sampai dengan akhir.  Rata-rata nilai kualitas penggarapan area isi cerita mereka juga masuk  klasifikasi baik (B).

Ketiga, kualitas keutuhan cerita pada siklus II ini menun­jukkan hasil sebagai berikut, bahwa dari 31 cerpen yang dihasil­kan, terdapat 5 buah cerpen yang masih lemah/kurang baik ke­utuhan ceritanya dalam draft lima cerpen tersebut alur cerita tidak tertangkap dengan jelas, unsur-unsur pembangun cerita berjalan tanpa arah, akibatnya kesan cerita menjadi kabur. Secara kualitatif rata-rata nilai kualitas keutuhan cerita mereka tergolong baik (B).

Kesimpulan
Berdasarkan paparan hasil dan bahasan, maka peningkatan ketrampilanm proses menulis cerpen, dan peningkatan kualitas menulis cerpen disimpulkan berikut ini.
Pertama, peningkatan keterampilan menulis cerpen dinilai dari proses pengabstraksian, pemodelan, dan pelatihan. Bahwa secara induktif mahasiswa telah terampil melakukan asimilasi dan akomodasi cerpen yang dikenalkan berdasarkan pengalaman per­sonalnya baik langsung maupun tidak langsung.
Konkretisasi kegiatan abstraksi mahasiswa adalah pemberian model cerita. Mahasiswa diberi mengenali dengan mengkaji struktur cerpen yang dipilih sendiri atau dipilihkan dosen, baik yang menyangkut penggunaan unsur bahasa,.penggarapan unsur cerita, maupun penggarapan area isi cerita. Mahasiswa ternyata telah dengan baik mengakrabi dan mengindentifikasi struktur cerpen model.
Pada tahap pelatihan mahasiswa telah terampil menyusun rancangan cerita, melakukan eksperimentasi, dan menulis cerpen yang sesungguhnya. Pada tahap awal, imitasi atau duplikasi terhadap struktur cerpen model disikapi sebagai bagian integral dari proses kreatif penulisan. Lambat laun dengan sharing kese­jawatan dan masukan dari dosen, sebagian besar mahasiswa telah berani melakukan modifikasi perubahan terhadap struktur cerpen model, mereka berlatih menulis cerpen dengan struktur cerpen secara baru sama sekali.
Kedua, peningkatan kualitas hasil menulis cerpen, dinilai dari kualitas keterbacaan tekstual, kesesuaian psikotekstual, dan keutuhan cerita.
Kualitas keterbacaan tesktual yang menyangkut penggunaan unsur bahasa meningkat baik. Mahasiswa telah terampil menggu­nakan kosakata khusus, konkret, dan permajasan secara tepat. Kalimat-kalimat dalam narasi, deskripsi, dan dialog telah dirangkai secara ringkas dan jelas. Unsur-unsur cerita yang menyangkut penokohan, penyetingan, penyudutpandangan telah digarap secara padu dan fungsional.
Kualitas kesesuaian psikotekstual meningkat baik. Sebagian besar mahasiswa telah mengetengahkan isi tematik dan pesan moral cerita yang menarik. Rata-rata cerpen yang dihasilkan ber­akhir dengan berbagai, variasi ada yang bahagia dan ada yang berakhir dengan tragis.
Keutuhan . cerita telah tercipta dengan baik-baik sekali. Mahasiswa telah menampilkan kejadian dan tokoh sentral sebagai pusat pengisahan. Sudut pandang cerita telah dilakukan secara konsisten sehingga pembaca mudah memahami isinya.
Berdasarkan simpulan hasil bahasan di atas, maka untuk meningkatkan kualitas pengajaran menulis kreatif di masa yang akan datang disarankan kepada dosen pembina matakuliah menulis kreatif hal-hal berikut.
Pertama, kepada dosen matakuliah menulis kreatif. Bahwa penulisan cerpen atau cerita pada umumnya perlu diawali dengan proses abstraksi. Dengan kegiatan tersebut skemata mahasiswa terhadap cerpen dapat diidentifikasi. Selanjutnya proses abstraksi tersebut direduksi, dikonkretkan, dispesifikasikan dengan cerpen model untuk ditiru, dikenali, dan dikaji. Tahap berikutnya adalah pemberian kesempatan untuk berlatih. Dengan berlatih mahasiswa mencoba-coba menampilkan tokoh, menyusun alur, melakukan diksi dan gaya bahasa dan sebagainya. Pada tahap ini disarankan agar dosen tidak menuntut produk tulisan mahasiswa langsung baik/sempurna. Berbagai bentuk kekurangan atau kelemahan pada awal penulisan merupakan ciri utama ancangan menulis yang berorientasi pada proses.
Untuk menilai kualitas hasil menulis cerpen diperlukan rambu-rambu penilaian. Untuk itu disarankan kepada pembina matakuliah menulis kreatif (dosen atau guru) agar menggunakan rambu-rambu penilaian tekstual, kesesuaian psikotekstual, dan keutuhan cerita. Ketiga unsur/kriteria tersebut secara komprehensif dapat mengukur kualitas hasil menulis cerita.
Kedua, kepada penelti selanjutnya. Sifat penelitian ini bare bersifat rintisan dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu kepada peneliti selanjutnya disaran agar fokus dan hasil penelitian ini ditindaklanjuti. Fokusnya tidak hanya lagi terfokus pada me­nulis cerpen, melainkan penulisan cerita rekaan lainnya atau pada penulisan puisi. Subjeknya juga tidak lagi mahasiswa, melainkan murid-murid SD, SLTP, atau SMU/SMK. Dengan cara demikian menulis kreatif mudah-mudahan di masa yang akan datang dapat dioptimalkan.

















DAFTAR BACAAN
Ali, Lukman. 1991. Pokok-pokok Kebijakkan Pembinaan dan Pengembangan Sastra. Makalah disajikan dalam Ilmiah Ilmu-ilmu Sastra Pasca-sarjana Se-Indonesia. Bandung, UNPASD, 21-22 Oktober.

Bernard, Erlin S. 1996. Application of Schema Theory in Teaching of Reading Using Authentic Materials. Padang: IKIP Padang.

Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knop. 1982. Qualitative Research for Education. Boston: Allyn and Bacon.

Balckburn, Ellen. 1982. The Rhythm of Writing Development. Cheimsford MA: Nerex. Inc.

Cohen, L. dan Monion, L. 1980. Research Methods is Education. London & Canberra: Croom Helm.

Effendi Thahar, Harris. 2000. "Kreatif Menulis di Media Massa ". Padang: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP

Elliot, John. 1991e. Action Research Educational Chang. Philadelphia: Open University Press.

Emmit, M.T. Pollock. J.With Limbrick,L. 1996. An Introduction to Language Learning. Oxford university Press.

FBSS, UNP. 1999. Kumpulan Silabus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Padang. FBSS UNP

Huck, Charlotte, S. 1987. Children Literature in The Elementary School. New Yor: Holt-Rinerhart. Lincoln, Y, dan E.G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: sage Publications.

McNiff, Jean. 1992. Action Research: Principle and Practice. London Memilillan Educational Ltd.

Miles, Matthew B. and Huberman A, Michael. 1982. Analisis data Kualitatif. Alih bahasa oleh Rohidi, Tjetiep Rohendi. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.

Stewig, John Warren. 1988. Cildren and literature. Chicago: Rand Me Nally Publishing Company.

Suhor, Charles. 1984. Thinking Visually about Writing: Three Models for Teaching Composition's. K-12 Dalam Cristopher J Thais (Ed). Speaking and Writing hl. 74-103. Illiosis: National Council of Teachers of English.

Aplikasi Pendekatan Struktural dalam Memahami Karya Sastra



1.   Teori  dan Pendekatan Struktural
Pendekatan adalah serangkaian asumsi yang bersifat aksiomatis tentang sifat dan hakikat suatu objek (Djunaidi, 1987:28). Sedangkan Henry Guntur Tarigan (1991: 3) mengatakan bahwa pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat dan pembelajaran sastra. Bertolak dari kedua pengertian itu dalam sejarah perkembangan pemaham-an karya sastra  terdapat sejumlah pendekatan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mengapresiasi sastra. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan tersebut ditentukan oleh: (1) tujuan dan apa yang akan diapresiasi lewat karya sastra tersebut, (2) keleng-kapan apresiasi itu terproses lewat kegiatan yang bagaimana, dan (3) lkitasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi itu. Pendekatan apresiasi yang dimaksudkan di sini bertolak dari lkitasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi. Berdasarkan lkitasan teori yang digunakan dalam apresiasi, ada dua asumsi dasar yang berbeda mengenai karya sastra sebagai objek pemahaman atau apresiasi. Kedua pan-dangan yang berbeda itu menurut Abrams (1878:6-29) adalah: (1) pemahaman yang didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra merupakan objek yang otonom, yakni objek yang dapat memenuhi dan mengatur diri sendiri, dan (2) pemahaman yang didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra itu merupakan objek yang terikat pada penga-rang, realitas, dan pembeca.
Pkitangan pertama, menganggap bahwa untuk memahami makna sebuah karya sastra tidak diperlukan bantuan ilmu-ilmu lain karena ia dapat mengatur diri sendiri. Pkitangan ini telah melahirkan pendekatan objektif dalam studi sastra yang dikenal dengan sebutan pendekatan struktural. Sedangkan pkitangan kedua yang menganggap bahwa karya sastra merupakan objek yang terikat pada pengarang, realitas, dan pembaca telah melahirkan pendekatan ekspresif, mimesis, dan pragmatis.
Pendekatan sturuktural dalam memahami karya sastra bertumpu pada pkitangan pertama di atas. Orientasi yang kuat terhadap karya sastra sebagai objek yang otonom merupakan ciri utama pendekatan ini. Para pakar sastra yang menganut paham ini me-mkitang sastra sebagai satu kelas dengan bahasa yang khusus dan mendasarkan diri pada asumsi bahwa terdapat oposisi yang fondamental antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari (Abrams dalam Faruk HT., 1988:58). Kekahasan bahasa sastra itu tampak pada kecenderungan untuk memperhatikan pembaca pada unsur formal dan hubungan antara tkita-tkita keba-hasaan itu sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara yang disebut Mukarovsky dalam Faruk (1988{59) sebagai foregrounding, yaitu cara membuat sesuatu menjadi lebih menonjol dan dominan dibandingkan dengan yang lain dalam persepsi pembaca. Dalam wujud konkret foregrounding itu pada Fokkema and Kunne-Ibsch dalam Faruk (1988:59) terlihat pada teknik de-familiarisasi dan teknik membuat segala sesuatu yang di dalam bahasa sehari-hari telah menjadi otomatis.
Teori kaum formalis memperlihatkan kesepi-hakan dalam dua hal penting, yaitu: (1) dengan mem-batasi pengamatan pada unsur-unsur formal belaka, kelompok itu telah kehilangan unsur petkita. Dalam tahap  perkembangan waktu itu yang mereka garap baru penkita, (2) dengan memusatkan perhatian pada satu peralatan saja, kaum formalis melupakan prinsip keutuhan karya sastra, prinsip hubungan antarunsur yang membangun karya sastra.
Di kalangan formalis usaha mempelajari aspek petkita dan hubungan antarunsur pembangun karya sastra, baru muncul setelah adanya tulisan Tynjanov (1924) dan Erik (1927). Sampai di sini kaum formalis telah menyebut atau memunculkan istilah struktural (Fokkema dan Kunne-Ibsch dalam Faruk, 1988:60).
Mengapresiasi karya sastra berdasarkan pen-dekatan struktural pada dasarnya berakar dari struktur dalam studi bahasa yang dikembangkan Seussure. Konsep Seussure yang berpengaruh adalah konsep tkita dan diakronis. Berdasarkan pengaruh konsep itu, struktural dalam studi sastra atau dalam mengapresiasi karya sastra memkitang karya sastra sebagai objek otonom, yaitu objek yang dapat mengatur diri sendiri tanpa tergantung dengan faktor lain seperti pengarang, pembaca, dan faktor realitas sosial.

a)   Hakikat  Teori Struktural
Meskipun penganut paham struktural ini ber-macam-macam, namun di antara mereka terdapat kesatupahaman dalam memahami karya sastra, yaitu pada struktur. Apakah itu struktural? Pengertian tentang struktural telah banyak dikemukakan pakar. Shipley misalnya, merumuskan bahwa:
“Structure: the sum total of elements that make up a work. A structure may have such diverging elements that is does satisfy any logical or critical estimate: in which case we call it ‘formless’.”
                              (Shipley, 1960:396)

Sedangkan Re Wellek dan Austin Warren  memberi-kan batasan struktural sebagai:
            “Structure is concept including both content and form so far are organized for aesthetic purpose. The work of art is, then, considered a whole system of signs, or structure of signs; serving a specific aesthetic purpose.”
                                   (Wellek & Warren, 1962:141)
Kemudian Michael Lane  (1870:24) mendefi-nisikan struktur sebagai berikut “A structure is a set of any element between which, or between certain sub-sets of which, relations are difined.” Sejalan dengan pengertian ini, Robert Scholes (1977:4) membatasi bahwa struktur merupakan suatu cara untuk mencari kenyataan, bukan benda-benda secara sendiri-sendiri, melainkan dalam hubungan antarbenda-benda itu. Dengan kata lain bahwa struktur merupakan suatu cara memkitang kenyataan bukan dalam benda-benda secara individual, tetapi dalam relasinya satu dengan yang lain.
            Secara lebih tegas Teeuw (1981:5) mengatakan bahwa asumsi dasar struktur adalah sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai kohesi intrinsik, dalam keseluruhan itu setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks (lingkaran hermeneutik).
Dari batasan-batasan yang diberikan di atas dapat dirumuskan bahwa dasar gagasan pendekatan struktural adalah konsep tentang struktur. Seperti dijelaskan Jean Piaget dalam Hawkes (1977:141) bahwa struktur itu mempunyai ciri-ciri sebagai beri-kut: (a) gagasan menyeluruh, koherensi intrinsik, (b) gagasan transformasi yang memungkinkan pemben-tukan pengertian baru, dan (c) gagasan regulasi diri yang berarti bahwa struktur itu bersifat otonom. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur merupakan suatu organisasi menyeluruh (organized whole) yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara fungsional, artinya bagian itu saling mempe-ngaruhi, saling menentukan makna, dan hanya ber-makna di dalam  kesatuan. Setiap struktur diarahkan kepada sutau tujuan yang sudah ditentukan hubungan antara struktur yang satu dengan struktur yang lain bersifat ‘singanze’ artinya bahwa setiap struktur itu menjadi bagian struktur yang lebih besar dan lebih tinggi; dalam hubungan ini ada kecenderungan penanjakan (escalating).
Menurut Terrence Hawkwes (1977) prinsi strukturalisme yang utama adalah menelaah sesuatu berdasarkan struktur. Karakteristik struktur menurut Piaget sebagaimana yang dikutip Hawkess ada tiga, yakni (a) gagasan menyeluruh yang menjalin koherensi intrinsik; (b) gagasan transformasi yang memungkinkan pembentukan penafsiran baru, dan (c) gagasan regulasi diri bahwa struktur bersifat otonom.
Dalam hubungannya dengan karya sastra, menurut Umar Junus (1985:17) ada tiga karakteristik struktur, yaitu: (a) dalam struktur ada saling hubungan unsur-unsur sebuah karya sastra merupakan suatu sistem interelasi antara unsur-unsur pembentuknya, (b) dalam struktur ada suatu yang abstrak yang menyatukan hal-hal yang berbeda untuk memperoleh hukum universal, dan (c) struktur tidak mengenal sejarah.
Kemudian Roland Barthes dalam Sapardi Djoko Damono (1977:40) menyebutkan empat ciri khas struktur, yaitu: (a) perhatian tertuju kepada kese-luruhan (totalitas), (b) struktur tidak hanya menelaah struktur permukaan, tetapi juga struktur batin, (c) struktur bersifat anti sejarah (menyangkut sesuatu yang sinkronis dan bukan diakronis) dan (d) struktur bersifat anti kausal.

b)   Prinsip Dasar Pendekatan Struktural
Prinsip dasar dari pendekatan struktural, menurut  Teeuw (1984:135-136) adalah (a) pendekat-an struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan unsur-unsur karya sastra yang membentuk makna menyeluruh (univer-sal), (b) pendekatan struktural tidak menjumlahkan unsur-unsur, (c) pendekatan struktural berusaha me-nyematikkan termasuk menyemantikkan gejala bunyi dalam karya puisi, dan (d) pendekatan struktural menganggap bahwa keseluruhan makna karya sastra berada dalam keterpaduan struktur total.
Rene Wellek dan Warren menyatakan bahwa pendekatan struktural dalam menganalisis karya sastra harus mementingkan segi intrinsik dan anti ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1974:24). Artinya di dalam pendekatan struktural, karya sastra dipkitang otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal yang berada di luar karya sastra. Aristoteles dalam Teeuw (1984:66) menyebutkan empat sifat struktur, yakni: (a) order (urutan teratur), (b) amlplitude (keluasan yang memadai),  (c) complexity (masalah yang kompleks), dan (d) unity (kesatuan yang bulat). Cara meng-aktualisasikan prinsip tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) dengan cara berpola, dan (b) dengan cara tidak berpola. Pendekatan struktural ber-pola si Apresiator (pembaca) terlebih dahulu menen-tukan unsur apa yang akan diapresiasi atau dipahami. Sedangkan dengan cara tidak berpola, apresiator (pembaca) tidak menentukan terlebih dahulu unsur apa yang akan diapresiasinya, tetapi dimulai dari unsur yang diinginkan.
Kelemahan metode strukturalisme adalah keyakinannya yang terlalu berlebihan terhadap otonomi karya sastra. Akibatnya, terabaikanlah dua hal pokok yang penting dipertimbangkan dalam rangka mencari dan menemukan makna karya sastra, yakni kerangka sejarah dan kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra tersebut. Secara lebih rinci kelemahan itu adalah: (a) strukturalisme murni belum mengungkapkan teori sastra yang tepat dan lengkap, (b) menelaah karya sastra secara terpisah, padahal karya sastra harus diteliti dan dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah, (c) terlalu meyakini bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, dan (d) telaah strukturalisme yang hanya menekankan otonomi karya sastra akan menghilangkan fungsi referensialnya, sehingga karya sastra dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
Sedangkan keuntungan metode strukturalis-me yang memegang teguh kelengkapan, keterjalinan struktur dan otonomi karya sastra, serta metode telaah sastra yang disukai ini adalah sebagai berikut: (a) penelaah atau apresiator tidak perlu memiliki latar belakang budaya, sejarah, psikologi, sosiologi, filsafat dan sebagainya yang cukup luas untuk membaca karya sastra, (b) pembaca dapat menggali struktur karya sastra sedalam-dalamnya sampai pada keterjalinannya yang paling rumit sekalipun, dan (c) pembeca dapat menelaah karya sastra secara objektif karena hanya menelaah struktur karya sastra.

c)    Karakteristik Telaah Karya sastra
Berdasarkan Pendekatan Struktural
Berdasarkan hakikat dan prinsip dasar pende-katan struktural sebagaimana yang diuraikan terda-hulu, dapat dirumuskan bahwa karakteristik pende-katan struktural dalam menelaah atau mengapresiasi karya sastra adalah sebagai berikut.
(1)   Asumsi pendekatan struktural adalah bahwa karya sastra baik prosa fiksi maupun puisi atau karya drama dipkitang bersifat otonom
(2)   Bentuk telaah sederhana karena yang ditelaah hanya struktur intrinsik semata;
(3)   Unsur yang ditelaah hanya terbatas pada unsur intrinsik serta keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya;
(4)   Proses telaah dari struktur bagian ke struktur keseluruhan;
(5)   Teknik telaah analitik, yaitu memberi makna tiap bagian struktur intrinsik kemudian baru kepada makna totalitas;
(6)   Dasar pertimbangan dalam penentuan makna semata-mata dari unsur intrinsik;
(7)   Pangkal tolak telaah linear, dari bagian ke konsep totalitas secara otonom; dan
(8)   Esensi sastra terlepas dari konteks kesemes-taan.

d. Pola Pembelajaran Apresiasi Sastra
    Berdasarkan Pendekatan Struktural
Pola pembelajaran apresiasi sastra, baik apre-siasi puisi maupun prosa fiksi berdasarkan pendekatan struktural menenkankan pada pola penggunaan ana-lisis. Pembelajaran dimulai dari proses pengenalan unsur karya sastra yang akan dianalisis, kemudian baru melakukan kegiatan analisis. Pada tahap analisis ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah meng-identifikasi unsur karya sastra yang dianalisis, meng-klasifikasikannya, dan setelah itu baru menyimpul-kannya. Untuk lebioh jelasnya tahap-tahap pelak-sanaan pembelajaran apresiasi sastra berda-sarkan pendekatan struktural berpola tersebut dapat digam-barkan sebagai berikut.

Pengenalan informasi tentang struktur intrinsik karya sastra
Pemahaman/ menganalisis informasi struktur untuk pembentukan konsep
Rangkuman dan penyimpulan hasil analisis untuk memperoleh gambaran makna

            Dari gambar di atas, terlihat pola pembelajar-an yang dilaklukan pendidik yang menganut paham struktural. Pada tahap pertama, pendidik memper-kenalkan terlebih dahulu kepada peserta didiknya tentang unsur-unsur karya sastra yang akan diapresia-sinya. Hal ini dapat dilakukan dengan metode cera-mah, diskusi kelompok, tanya jawab dan lain-lain. Setelah berlangsung proses diskusi dan tanya jawab barulah pendidik masuk pada tahap kedua. Pada tahap kedua ini pendidik memberikan sebuah karya sastra yang akan diapresiasi peserta didik, sesuai dengan unsur intrinsik yang diperkenalkan pada tahap satu. Terakhir (pada tahap ketiga) pendidik bersama-sama peserta didik menyimpulkan hasil analisisnya untuk memperoleh gambaran  umum makna tentang karya sastra yang dianalisis tersebut.
            Dengan berpedoman pada pola pembelajaran yang demikian, di satu pihak pembelajaran yang se-perti itu menguntungkan karena peserta didik dapat berpikir secara kritis, analitis, dan berpola, tetapi di pihak lain bentuk pembelajaran yang demikian tidak mengakrabkan peserta didik dengan karya sastra. Hal ini disebabkan karena: (a) pembelajaran terlalu ana-lisis, (b) pembelajaran yang demikian mengabaikan  aspek individu peserta didik sebagai manusia pemberi makna karya sastra, (c) pembelajaran dimulai dengan pengetahuan hafalan, dan (d) dalam melakukan kegiat-an analisis tidak melibatkan variabel-variabel ekstrin-sik karya sastra.