MENULIS
CERITA
PENDEK MELALUI STRATEGI AREA ISI
(Studi Kasus Terhadap Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia FBSS UNP)
Oleh: Yasnur Asri
Abstrak
This research aims at knowing the effectiveness
of the
use of 'content area strategy’ in teaching creative
writing. Based on the action done in the class, it was found that content area
strategy was able to enhanche students' activity in writing short story. The effectiveness was known
from the average scores achieved in writing short story both in describing content of the story and
element of the story, and in language usage.
Pendahuluan
Menulis cerita pendek
merupakan salah satu pokok bahasan dalam mata kuliah menulis kreatif. Dalam realitas praktiknya,
masih banyak kendala yang dihadapi oleh mahasiswa dalam menulis cerpen.
Untuk mengatasi kendala itu perlu dicarikan solusi pemecahannya. Salah satu
upaya pemecahannya adalah melalui inovasi strategi pembelajaran. Inovasi
strategi pembelajaran yang ditawarkan untuk pemecahan masalah itu adalah
strategi area isi.
Kendala yang sering dihadapi mahasiswa dalam menulis cerpen , antara lain adalah: Pertama,
penggarapan
unsur fiksional masih sangat lemah. Hal itu antara lain ditandai oleh kekurangjelasan
teknik pengaluran.
Struktur kejadian dalam cerita, yakni bagian awal, tengah, dan akhir sulit dipahami.
Kejadian dalam cerita mengalir begitu saja tanpa pola yang jelas. Perwatakan tokoh-tokohnya
diberikan sambil
lalu dan terkesan serba kebetulan. Karena pengarang (dalam hal ini mahasiswa yang
mengambil mata kuliah menulis kreatif)menggunakan cara naratif langsung, masalah latar
cerita luput dari penggarapan. Sudut pandang yang digunakan secara tidak konsisten,
akibatnya fokus cerita menjadi kabur. Kondisi demikian akhirnya menyulitkan pemahaman pembaca.
Kedua, dihubungkan dengan keterbacaan tekstual, bentuk penggunaan unsur
kebahasaan masih tergolong sulit. Penggunaan kalimat yang panjang-panjang menguras konsentrasi
pembaca, demikian
juga penggunaan kosakata, istilah atau ungkapan tertentu terkesan dipaksakan.
Ketiga, wujud gambaran pokok
persoalan cerita rekaan (cerkan) banyak yang klise, maksud kurang mendukung realitas objektif yang berlaku di
tengah masyarakat sehingga juga mengakibatkan kejenuhan dari pihak pembaca.
Keempat, wujud pengembangan terra
cerita terkesan tidak utuh. Karena pengarang kurang disiplin terhadap fokus cerita. Cerita dikembangkan begitu
saja menjadi penggalan-penggalan kejadian yang sering tidak berhubungan.
Rata-rata cerita yang dihasilkan memiliki kesan yang bermacam-macam, bahkan tidak ada fokusnya (Thahar,
2000).
Dari sisi proses,
berdasarkan realitas atau fakta pembelajaran (perkuliahan di kelas) teridentifikasi bahwa
prosedur pembelajaran
penulisan cerita cerpen
dilaksanakan sebagai berikut.
Tahap prapenulisan. Dosen
memberikan informasi dengan cara ceramah tentang hakikat, sifat, dan corak cerita pendek. Contoh dan
ilustrasi banyak diungkap dan diangkat dari pengalaman dosen sendiri. Akibat dari cara
pembelajaran ini adalah mahasiswa kurang terlibat secara mental. Mereka cenderung diposisikan selaku pencatat dan
pendengar yang baik.
Tahap penulisan. Pada
tahap
init bisa
dikatakan bahwa mahasiswa masih belum memiliki gambaran
nyata tentang bentuk penulisan cerita pendek yang baik. Tugas penulisan cerita pendek
dilaksanakan hanya berbekal pada
potensi yang ada pada diri mereka masing-masing. Dengan pembelajaran yang
seperti ini adalah bahwa cerpen yang mereka
hasilkan terdapat banyak kelemahan
Tahap pascapenulisan
(perbaikan/penyuntingan). Pada saat tersebut dosen memberikan balikan dan koreksi, baik
secara individu
maupun klasikal. Pemberian balikan dan koreksi dalam kelompok-kelompok kecil belum dilakukan.
Lagi-lagi, pada tahap itu peranan dosen
sebagai satu-satunya sumber informasi sangat dominan.
Secara keseluruhan dapat direfleksikan bahwa dosen pembina menulis
kreatif memang telah
melaksanakan pembelajaran menulis cerita pendek sesuai dengan prosedurnya, tetapi di sisi lain peran mereka masih sangat dominan; secara keseluruhan pola kegiatan pembelajaran masih bersifat top-down,
informasi teoretis konseptual atau induktif-emprikal
diangkat dari sisi dosen, akibatnya adalah prior knowledge mahasiswa tidak tergali
secara maksimal. Pendek kata dapat disimpulkan bahwa prosedur pembelajaran yang demikian itu, berpengaruh
terhadap
kualitas cerpen yang dihasilkan oleh mahasiswa. Rata-rata persoalan materi cerita yang dihasilkan mahasiswa bersifat
klise, monoton, kurang berkembang, miskin ide, dan kurang kreatif.
Strategi Area Isi sebagai Kiat Menulis Cerpen
Untuk mengatasi masalah
tersebut, Suhor (1984) menawarkan strategi area isi. Dalam pelaksanaannya, penerapan strategi tersebut diawali dengan
kegiatan (a) pengabstraksian, (b) pemodelan, (c) pelatihan, dan (d) penghasilan produk.
Pada tahap persiapan,
mahasiswa banyak diberi kesempatan melakukan proses (i) pembayangan, (ii) pengasosiasian,
(iii) pengeksplorasian,
dan (iv) perefleksian terhadap masalah dan cerita anak-anak.
Pada tahap pemodelan,
mahasiswa diberi banyak pajanan berupa
contoh, bentuk atau model wacana cerita pendek. Dengan kegiatan tersebut mahasiswa berkesempatan melakukan proses (i) pengidentifikasian, (ii) pengkajian, (iii)
perpresentasian, dan (iv) pemformulasian
cerita baru.
Pada tahap pelatihan
mahasiswa diberi banyak kesempatan untuk mencoba-coba dan bereksperimen. Pada tahap itu
pula mahasiswa
berlatih menulis cerpen secara
langsung dengan memperhatikan cerpen model
yang telah dikenalinya. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan adalah (a) penggunaan unsur bahasa, (b) penggarapan unsur, (c) kesesuaian area isi, serta
(d) keutuhan ceritanya.
Pada tahap penghasilan
produk, mahasiswa diberi kesempatan memformulasikan hasil latihannya dalam bentuk
wacana cerita
pendek yang memenuhi keempat syarat tersebut dalam tahap latihan, yakni syarat (a)
keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian psikotekstual, dan (iii) keutuhan cerita.
Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk peningkatan penulisan cerita pendek mahasiswa
dengan strategi area isi. Secara khusus bentuk peningkatan dimaksud mencakup peningkatan kualitas proses dan hasil
penulisan cerita anak. Kualitas proses
penulisan cerpen diukur dari keterampilan melakukan pengabstraksian, pemodelan, dan pelatihan. Sedangkan kualitas hasil penulisan cerpen dinilai dari (i)
keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian
psikolotekstual, dan (iii) keutuhan cerita.
Metode
Ditinjau dari jenisnya,
penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (action
research) dengan rancangan penelitian kualitatif. Prosedur penelitian dilaksanakan
melalui tiga tahap, yakni tahap (1) diagnostik (2) terapeutik, dan (3) perancangan ulang (Cohen dan Monion,
dalam Madya, 1994; Moleong 1989; Elliot, 1991). Pada tahap diagnostik, peneliti
melakukan refleksi kajian awal yang bersumber pada (a) fakta pembelajaran menulis kreatif di kelas, dan (b)
kualitas hasil belajar menulis cerpen mahasiswa pada semsseter sebelumnya.
Berdasarkan hasil refleksi awal atau kajian awal tersebut, peneliti berkolaborasi dengan dosen yang membina mata
kuliah Menulis Kreatif untuk merumuskan masalah dan
hipotesis tindakan.
Pada tahap terapeutik,
peneliti bersama-sama dengan dosen pembina mata kuliah Menulis Kreatif, menyusun
rancangan tindakan,
melaksanakan tindakan, melakukan observasi dan pemantauan, serta melakukan
refleksi/perenungan. Pada tahap perancangan ulang, dilakukan diagnosis ulang, dan penentuan
implikasi dampak praktis terhadap basil penelitian.
Subjek penelitian
ditentukan mahasiswa Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia FBSS
Universitas Negeri Padang yang mengambil mata kuliah Menulis Kreatif pada semester Januari - Juni 2010 dan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Menulis Kereatif semester Juli - Desember 2010. Pada umumnya ketika tindakan ini dilakukan mereka telah berada dalam semester V dan VI. Secara
longitudinal, subjek penelitian diikuti perkembangannya selama 2 semester berturut-turut.
Berdasarkan penahapannya, data dalam penelitian ini
dibedakan
dua, yaitu: (a) data awal (data pratindakan), serta (b) data tindakan, dan hasilnya.
Data hasil tindakan berupa data verbal tulis, bersumber dari tampilan karangan atau cerpen
yang dihasilkan mahasiswa
yang dijadikan perlakuan tindakan. Karena didukung oleh adanya bukti
(evidensi), empirik jenis data pertama itu disikapi sebagai data faktual (bogdan dan Biklen,
1982). Data faktual merupakan hasil tindakan, berupa data verbal tulis yang terekam dalam tampilan
karangan cerita pendek realistik kontemporer (CRK) dan cerita kesejarahan (C-K) mahasiswa terteliti.
Data verbal lisan,
responsi, serta tingkah laku mahasiswa subyek penelitian dan dosen bidang studi berumber dari
tampilan interaksi dosen mahasiswa, antarmahasiswa selama kegiatan perkuliahan
berlangsung. Karena data tersebut hanya didukung oleh isyarat-isyarat (clues), data jenis kedua ini disikapi
sebagai data reflektif.
Kedua jenis data tersebut
direkam dengan menggunakan alat (a) catatan lapangan, (b) catatan hasil wawancara, (c) catatan
dokumen, (d)
rekaman kaset handy-camera, (e) foto,
dan (f) panduan
lembar pengamatan. Dalam penelitian ini peneliti berkedudukan sebagai
instrumen utama yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi, menilai, menyimpulkan, dan memutuskan data-data (Lincoln dan Guba, 1985, Moleong, 1989).
Analisis data dalam
penelitian tindakan ini menganut prinsip multiguna (McNiff, 1992:85). Maksudnya adalah
bagaimana suatu teknik analisis dapat digunakan untuk mendukung pemecahan masalah yang telah
dirumuskan. Atas dasar itu, data tentang proses abstraksi, pemodelan, dan pelatihan dianalisis
dengan teknik analisis kualitatif model mengalir (Miles dan Huberman, 1982). Data tentang kualitas hasil
penulisan cerita pendek dianalisis dengan menerapkan prinsip analisis wacana (Emmit, 1996).
Target analisis mengarah pada tiga level, yakni (i) observasi, (ii) deskripsi, dan (iii) eksplanatori.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Peningkatan Keterampilan Melakukan Proses Penulisan
Keterampilan melakukan
proses penulisan cerita pendek dinilai berdasarkan tiga subketerampilan, yakni subketerampilan
melakukan (1)
pengabstrakan, (2)
pemodelan, dan (3)
pelatihan. Pada
siklus I hasil penelitian menunjukkan berikut ini,
Keterampilan mahasiswa
dalam melakukan abstraksi ratarata meningkat. Secara esensial keterampilan yang
semula hanya bersifat pembayangan telah ditingkatkan menjadi keterampilan
pengasosiasian. Pada tahap ke-1 mahasiswa diberi kesempatan melakukan pembayangan atau
pengasosiasian terhadap segala problematik atau permasalahan kehidupan, serta
kemungkinan untuk
diangkat menjadi persoalan dalam cerpen. Akibatnya, hasil abstraksi masih terlalu
luas, dangkal dan kabur. Pada tahap ke-2 materi abstraksi difokuskan pada masalah yang
secara realistic kontemporer/aktual dialami
oleh masyarakat sekarang.
Dengan tindakan demikian, ternyata
keterampilan abstraksi mahasiswa meningkat
secara signifikan. Data pada tahap 1 menunjukkan, nilai keterampilan
melakukan abstraksi mahasiswa hanya berkisar pada
62 - 74 atau setara dengan kualifikasi
C, sedangkan pada tahap ke-2 nilai
keterampilan meningkat meningkat menjadi 68 - 85 atau setara dengan kualifikasi baik (B)
Keterampilan melakukan
pemodelan terhadap cerpen model, secara berkelompok mahasiswa telah mampu
mengidentifikasi inti cerita, yang di dalamnya mencakup penokohan, penggambaran konteks cerita,
urutan kejadian dalam cerita, serta dalam penempatan latar cerita.
Masing-masing kelompok cukup cermat mengkaji bagaimana diksi dalam judul cerpen model
dipilih berbagai bentuk ungkapan yang digunakan, serta bagimana perangkaian
peristiwa-peristiwa dijalin. Tentang akhir cerita setiap kelompok juga bervariasi. Jika
sebelum tindakan dilakukan nilai hasil pemodelan mahasiswa hanya berkisar pada 61 - 76 (setara
C), maka setelah tindakan dilakukan
nilai keterampilan _melakukan pemodelan
cerpen mereka berkisar pada 67 - 87 atau setara dengan kualifikasi B.
Keterampilan melakukan
pelatihan ditemukan berikut ini. Pada tahap ke-1 sebagian besar mahasiswa masih
terpengaruh dengan
cerpen model. Kebanyakan judul cerpen yang dihasilkan diambilkan dari nama tokoh
utamanya atau dari konflik antartokoh cerita meskipun konflik tersebut tidak
begitu menonjol. Pada tahap ke-2, mahasiswa telah berhasil melepaskan diri dari
pengaruh cerpen
model. Malahan di antara mereka lebih kurang 17,5% telah dapat mengembangkan
draf latihan dengan mencoba mengangkat judul cerpen dari aneka ragam problema
kehidupan manusia. Nilai keterampilan
melakukan pelatihan mereka dari ratarata 66,82 menjadi 79,56.
Pada siklus II intervensi
tindakan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut. Keterampilan melakukan
abstraksi, dike tahui
bahwa dengan cara curah pendapat secara klasikal, dan sharing dengan teman
sejawat mahasiswa cukup lancar mengemukakan momen-momen yang bermuatan sejarah, politik clan
ekonomi.
Sebelumnya, mahasiswa telah memperoleh pengalaman dalam mata kuliah Pengantar Pengkajian
Kesusasteraan, Sejarah Sastra, dan Kajian Prosa Fiksi yang bermuatan sejarah, politik, ekonomi, dan
humaniora.
Dinilai dari efek
instruksional, mahasiswa terkesan lebih berani, responsif, dan percaya diri dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya. Dari segi tampilan
interaksi,.mereka umumnya telah
mampu menjalin kerjasama dengan prinsip saling membantu. Pada hal data awal penelitian, unjuk
kerja atau kinerja yang dernikian belum tergambarkan dengan
jelas.
Di samping itu
upaya meningkatkan keterampilan melakukan
pemodelan juga dilakukan dengan melibatkan mahasiswa dengan berbagai pengkajian cerita pendek yang
bertemakan masalah polotik, ekonomi,
clan sejarah. Contoh cerita diambilkan dari berbagai kumpulan cerpen yang telah
dipublikasikan oleh berbagai penerbit.
Melalui kiat yang demikian, sebagian besar mahasiswa telah mampu menemukan cerpen-cerpen yang bermuatan
politik, ekonomi, dan sejarah. Bahkan
di dalam mengaplikasikannya, terutama dalam
penyuntingan, penokohan, dan penyeleksian terra cerita juga berdampak positif. Hal ini terlihat dari skor
rata-rata mahasiswa dalam
keterampilan melakukan model, 82,48 atau setara dengan nilai B.
Keterampilan melakukan pelatihan dilakukan secara
bertahap, dimulai dengan kegiatan:.
(a) latihan sendiri, (b) latihan terbimbing
dengan menianfaatkan kegiatan konferensi formal/informal baik dengan rekan sejawat maupun dengan dosen, dan (c) latihan mandiri. Sebelumnya setiap mahasiswa
melakukan tukar pengalaman, pikiran,
atau pendapat dalam kelompok menulisnya, kesulitan-kesulitan yang muncul ternyata dapat dipecahkan dengan rekan sekelompoknya. Hampir tidak ada
masalah-masalah pokok yang dikonsultasikan dengan dosen setelah perlakuan ini
dilakukan.
Realitas menunjukkan bahwa hasil latihan mereka
ternyata baik. Secara representatif
tema-tema cerpen mereka mencerminkan berbagai
persoalan pokok manusuia seperti polotik, ekonomi, dan sejarah. Tetapi, penggunaan unsur bahasa untuk
beberapa draf cerita terkesan lemah di bidang diksi. Rata-rata nilai
keterampilan melakukan pelatihan adalah 84,59
atau setara dengan nilai baik (B).
Sejalan dengan temuan pada keterampilan proses
penulisan cerpen di atas,
diintepratasikan bahwa kegiatan penulisan cerpen memang perlu didahului dengan kegiatan preparasi atau penyiapan yang menyangkut isi dan struktur cerita pendek.
Untuk itu, Bernard (1996)
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran menulis cerita ada dua, yakni melalui skemata formal dan skemata
isi. Sekmata formal bertujuan untuk
membantu iahasiswa dalam mengarahkan mereka pada
pengetahuan dan pengalaman mereka terhadap tipe teks narasi dengan struktur elemen cerita yang meliputi tema, latar cerita, penokohan, dan rangkaian cerita. Sedangkan
skemata isi membantu dan membekali
mereka dengan berbagai pengetahuan dan
pengalaman mereka berkaitan dengan isi teks narasi. Pemahaman skemata isi yang dimiliki mahasiswa akan
melahirkan proses pemahaman bacaan sejalan dengan pengetahuan dan pengaiamannya
sehingga melahirkan persepsi dan pemahaman berkaitan dengan konsep struktur cerita.
Pada saat proses abstraksi
dan pernodelan dilakukan, muncul aktivitas mental mahasiswa baik secara asimilatif
maupun ako?modatif.
Dalam proses asimilasi itu mahasiswa menyusun kembali mformasi yang telah ada
untuk menemukan dan menyelaraskan
en gan informasi bare.
Sementara itu akomodasi terjadi karena mahasiswa melakukan modifikasi terhadap kategori
informasi yang diterimanya yang
menyangkut cerita pendek realistik kontemporer dan cerpen yang bernuansa kesejarahan.
Hasil penelitian tentang keterampilan proses penulisan
tersebut
sejalan pula dengan studi yang dilakukan Balckburn, (1982). Dinyatakannya bahwa
pemberian pemahaman struktur cerita melalui kegiatan membaca model cerita membuat
mahasiswa (peserta
didik) memahami struktur cerita yang menyangkut latar, terra, perwatakan dan sebagainya. Secara keseluruhan
temuan penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan para pakar terdahulu, terutama
yang berkaitan dengan metode pengajaran yang dirancang untuk meningkatkan dan
memfasilitasi transfer skemata tentang struktur elemen cerita dalam aplikasi kegiatan menulis cerita.
Pola-pola latihan sebagaimana yang dikemukakan oleh Temple (1988), bahwa apa
yang dilakukan oleh instruktur/dosen mnerupakan upaya menciptakan suasana atau
atmosfer pembelajaran yang bersifat intelektul daripada sekadar penciptaan suasana fisik kelas. Dengan
ditumbuhkannya suasana intelektual kelas yang sehat, mahasiswa (peserta didik)
merasa bahwa mereka boleh mengambil resiko dan berbuat salah tanpa takut akan
kecaman; `in
healtry
intellectual atmosphere, young authors feel they can take risks and make mistake
withhout fear of cencure (Temple, 1988:2). Dan memang dalam prosesnya, pada saat pelatihan
tersebut mahasiswa diberi kesempatan melakukan berbagai eksperementasi, tanpa
dibuyuti oleh rasa takut untuk berbuat kesalahan.
2.
Peningkatan Kualitas Hasil Menulis Cerita Pendek
Hasil menulis cerita
pendek dinilai dari tiga subkualitas, yakni (i) subkualitas keterbacaan tekstual, (ii) kesesuaian psikotekstual, dan (iii)
keutuhan cerita.
Pada siklus I penilaian terhadap kualitas keterbacaan
tekstual cerita hal-hal yang
dinilai adalah sebagai
berikut.
(1) Penggunaan unsur
bahasa, Kriteria yang digunakan adalah kejelasan/ketepatan penggunan (a) kosakata konkret,
(b) kosakata
khusus, (c) bentuk sinestisia, (d) bentuk kiasan, (e) bentuk majas, dan (f) bentuk
penyusunan kalimat efektif. Diketahui terdapat 3 mahasiswa yang kualitas penggunaan
unsur bahasa
masih sangat lemah. Kekurangtepatan yang sangat mencolok adalah penyusunan kalimat yang
berpanjang-panjang
dan diksi yang terkesan sangat umum. Pada tahap ke-2 kelemahan tersebut
diantisipasi dengan tindakan konferensi informal. Mereka yang masih lemah dibantu/diarahkan
dosen tanpa
harus mengelompokkan mereka dalam kelompok tersendiri. Hasilnya tinggal tiga mahasiswa yang
kualitas penggunaan bahasanya
masih sangat kurang. Rata-rata kualitas
penggunaan unsur bahasa tahap ke-2 adalah 81,89 atau setara dengan baik (B); sedangkan pada tahap I nilai ratarata yang dicapai adalah 78,85 atau setara dengan
cukup (C).
(2) Penggarapan unsur
cerita. Kualitas penggarapan unsur cerita dinilai dari 6 unsur yakni kejelasan/ketepatan
(a) penggambaran pokok persoalan (tema), (b) penyusunan rangkaian cerita
(alur) (c) penggambaran peran dan watak tokoh dalam cerita (penokohan), (d) latar cerita, (e) kewajaran
cerita, dan sudut
pandang atau posisi pengarang dalam cerita. Pada umumnya, penggarapan unsur cerita, terutama
penyetingan dan penyudutpandangan telah disusun secara jelas. Sebagian besar mahasiswa menggunakan atau memilih sudut
pandang dengan cara diaan atau sudut pandang
orang ketiga dengan posisi pengarang
serba tahu. Dikaji dari taksonomi pokok persoalannya, tiga puluh satu cerpen
hasil produk mereka dapat dipilih menjadi tiga, yakni (i) hubungan antara tokoh
utama dengan dirinya sendiri, (ii) hubungan antara tokoh utama dengan anggota keluarganya, dan (iii)
hubungan antara tokoh utama dengan orang lain/yang memiliki hubungan jauh. Pada tahap ke-1 rata-rata nilai kualitas
penggarapan unsur cerita 82,19 atau
setara dengan (B). Sedangkan untuk
tahap ke-2 nilai rata-rata yang dicapai
adalah 89,96 atau setara dengan amat baik (A).
Kedua, kesesuaian psikotekstual yang menyangkut (i)
penggambaran
area isi cerita, dan (ii) penggambaran pesan cerita diperoleh hasil sebagai
berikut.
(1) Penggambaran
area isi. Wujud penggambaran area isi cerita diukur dari kriteria kecocokan/kesesuaian isi cerita dengan (a) alam perasaan, (b) tingkat pemikiran, serta (c)
keinginan dan kehendak. Dihubungkan
dengan tiga ketegori pokok persoalan
permasalahan politik, ekonomi dan sejarah nilai rata-rata yang mereka peroleh adalah 83,21 atau setara
dengan dengan baik (B).
(2) Wujud penggambaran pesan
cerita. Kriteria yang digunakan untuk menilai sama dengan butir di atas. Secara
spesifik ke-31 cerpen
yang dihasilkan telah memberikan pesan moral secara "baik" pada
tatakrama kehidupan masyarakat.Pesan moral dimaksud mencakup dua jenis, yakni (i) nilai
moral kepribadian,
dan (ii) nilai moral sosial. Pada tahap ke-2, tinggal 4 cerpen saja, yakni
Reformasi, si Pengemis, Gersang, dan Nasin Buk Fatma yang amat menonjol pesan ceritanya.
Nilai rata-rata kualitas penggambaran pesan cerita yang mereka peroleh adalah 83,62 atau
setara dengan baik (B).
Ketiga, kualitas keutuhan cerita dinilai dari (a)
ada/tidaknya kejadian sentral sebagai
pusat pengisahan, (b) fungsional/tidaknya keseluruhan unsur cerita, (c) padu/tidaknya relasi
antar unsure cerita, (d) ada-tidaknya
kesan cerita yang kuat/dominan. Dengan memberikan
layanan konsultasi dan konferensi informal di kelas, pada tahap ke-2 kesulitan
mahasiswa dapat diatasi. Hasilnya cukup menggembirakan hampir tidak tidak ada dari 31 cerpen yang mereka buatproduk yang
belum memenuhi keutuhan cerita. Rata-rata kualitas keutuhan cerita adalah 80,78 atau setara
dengan baik (B).
Mengacu pada refleksi hasil penelitian siklus I, maka intervensi tindakan dan
hasil penelitian siklus II adalah sebagaI berikut. Pertama, kualitas keterbacaan tekstual
cerita.
(1) Penggunaan unsur bahasa.
Dengan tindakan konferensi informal, kelemahan penggunaan kosakata konkret, khusus,
dan permajasan
dapat diantisipasi. Penggunaan kalimat efektif sebagian besar telah dilakukan
dengan baik. Bentuk keefektifan dimaksud antara lain dilakukan dengan cara (i) menghindari penggunaan kalimat
boros, (ii) menghindari penggunaan kalimat
bertumpuk-tumpuk idenya. Sebaliknya, kalimat disusun
dengan ringkas dan komunikatif.
(2) Penggarapan unsur cerita. Penyetingan dilakukan
dengan penghadiran seting fisik, sedangkan
penokohan dilakukan secara analitis, dan dramatis dengan kalitas baik. Penyudutpandangan sebagaian besar dilakukan dengan cara
orang ketiga. Pesan cerita tidak
dicantumkan secara eksplisit. Melalui
lakuan para tokoh, serta nasib para tokohnya pesan-pesan cerita diselipkan. Pesan cerita dipilih dua
kategori, yakni moral kepribadian,
dan moral sosial.. Kedua, kesesuaian psikotekstual cerita yang
menyangkut penggarapan area isi dan pesan
cerita adalah sebagaimana terpapar berikut ini. Penggarapan area isi cerita.
Sebagian besar cerita telah menyajikan pokok persoalan kesejarahan yang
cocok dengan problematik kemanusiaan. Pokok persoalan dimaksud antara lain masalah kegetiran kehidupan, masalah-masalah
heroisme, percintaan, kegelisahan,
kemesraan, ke-Tuhanan, dan penderitaan.
Secara kuanlitatif, rata-rata nilai kualitas penggarapan area isi cerita mereka adalah baik (B).
(3) Penggambaran pesan
cerita. Dari segi teknis kepengarangan, tidak ditemukan sebuah cerpen pun yang menyajikan
pesan cerita secara ekspilisit, melalui perjalanan nasib
tokoh cerita mulai awal sampai dengan
akhir. Rata-rata nilai kualitas penggarapan
area isi cerita mereka juga masuk klasifikasi baik (B).
Ketiga, kualitas keutuhan
cerita pada siklus II ini menunjukkan hasil sebagai berikut, bahwa dari 31 cerpen
yang dihasilkan,
terdapat 5 buah cerpen yang masih lemah/kurang baik keutuhan ceritanya dalam
draft lima cerpen tersebut alur cerita tidak tertangkap dengan jelas, unsur-unsur pembangun
cerita berjalan tanpa
arah, akibatnya kesan cerita menjadi kabur. Secara kualitatif rata-rata nilai kualitas
keutuhan cerita mereka tergolong baik (B).
Kesimpulan
Berdasarkan paparan hasil dan bahasan, maka
peningkatan ketrampilanm proses menulis
cerpen, dan peningkatan kualitas menulis
cerpen disimpulkan berikut ini.
Pertama, peningkatan keterampilan menulis cerpen dinilai dari proses
pengabstraksian, pemodelan, dan pelatihan. Bahwa secara induktif mahasiswa telah terampil
melakukan asimilasi dan akomodasi cerpen yang
dikenalkan berdasarkan pengalaman personalnya
baik langsung maupun tidak langsung.
Konkretisasi kegiatan
abstraksi mahasiswa adalah pemberian model cerita. Mahasiswa diberi mengenali
dengan mengkaji struktur cerpen yang dipilih sendiri atau dipilihkan dosen, baik yang menyangkut penggunaan
unsur bahasa,.penggarapan unsur cerita, maupun penggarapan area isi cerita. Mahasiswa
ternyata telah
dengan baik mengakrabi dan mengindentifikasi struktur cerpen model.
Pada tahap pelatihan
mahasiswa telah terampil menyusun rancangan cerita, melakukan eksperimentasi, dan
menulis cerpen yang
sesungguhnya. Pada tahap awal, imitasi atau duplikasi terhadap struktur cerpen
model disikapi sebagai bagian integral dari proses kreatif penulisan. Lambat
laun dengan sharing kesejawatan dan masukan dari dosen, sebagian besar mahasiswa telah berani
melakukan modifikasi perubahan terhadap struktur cerpen model, mereka berlatih
menulis cerpen dengan struktur cerpen secara baru sama sekali.
Kedua,
peningkatan kualitas hasil menulis cerpen, dinilai dari kualitas keterbacaan
tekstual, kesesuaian psikotekstual, dan keutuhan cerita.
Kualitas keterbacaan
tesktual yang menyangkut penggunaan unsur bahasa meningkat baik. Mahasiswa telah terampil
menggunakan
kosakata khusus, konkret, dan permajasan secara tepat. Kalimat-kalimat dalam narasi, deskripsi, dan
dialog telah dirangkai secara ringkas dan
jelas. Unsur-unsur cerita yang menyangkut penokohan, penyetingan, penyudutpandangan telah digarap secara padu dan fungsional.
Kualitas kesesuaian
psikotekstual meningkat baik. Sebagian besar mahasiswa telah mengetengahkan isi tematik dan
pesan moral
cerita yang menarik. Rata-rata cerpen yang dihasilkan berakhir dengan berbagai,
variasi ada yang bahagia dan ada yang berakhir dengan tragis.
Keutuhan . cerita
telah tercipta dengan baik-baik sekali. Mahasiswa telah menampilkan kejadian dan tokoh sentral sebagai pusat pengisahan. Sudut pandang cerita telah
dilakukan secara konsisten sehingga
pembaca mudah memahami isinya.
Berdasarkan simpulan hasil bahasan di atas, maka untuk
meningkatkan
kualitas pengajaran menulis kreatif di masa yang akan datang disarankan kepada dosen pembina
matakuliah menulis kreatif hal-hal berikut.
Pertama, kepada dosen matakuliah menulis
kreatif. Bahwa penulisan cerpen atau cerita pada umumnya perlu diawali dengan
proses abstraksi. Dengan kegiatan tersebut skemata mahasiswa terhadap cerpen
dapat diidentifikasi. Selanjutnya proses abstraksi tersebut direduksi,
dikonkretkan, dispesifikasikan dengan cerpen model untuk ditiru, dikenali, dan dikaji. Tahap
berikutnya adalah pemberian
kesempatan untuk berlatih. Dengan berlatih mahasiswa mencoba-coba menampilkan tokoh, menyusun alur,
melakukan diksi dan gaya
bahasa dan sebagainya. Pada tahap ini disarankan agar dosen tidak menuntut produk tulisan mahasiswa
langsung baik/sempurna. Berbagai bentuk kekurangan atau
kelemahan pada awal penulisan merupakan ciri
utama ancangan menulis yang berorientasi
pada proses.
Untuk menilai kualitas hasil
menulis cerpen diperlukan rambu-rambu penilaian. Untuk itu disarankan kepada pembina matakuliah
menulis kreatif (dosen atau guru) agar menggunakan rambu-rambu penilaian
tekstual, kesesuaian psikotekstual, dan keutuhan cerita. Ketiga unsur/kriteria tersebut
secara komprehensif dapat mengukur kualitas hasil menulis cerita.
Kedua, kepada penelti
selanjutnya. Sifat penelitian ini bare bersifat rintisan dengan segala
keterbatasannya. Oleh karena itu kepada peneliti selanjutnya disaran agar fokus dan
hasil penelitian ini ditindaklanjuti. Fokusnya tidak hanya lagi terfokus pada menulis cerpen, melainkan penulisan cerita rekaan
lainnya atau pada penulisan puisi. Subjeknya juga tidak lagi mahasiswa,
melainkan murid-murid
SD, SLTP, atau SMU/SMK. Dengan cara demikian menulis kreatif mudah-mudahan di masa yang akan
datang dapat dioptimalkan.
DAFTAR BACAAN
Ali, Lukman. 1991. Pokok-pokok Kebijakkan Pembinaan
dan Pengembangan
Sastra. Makalah
disajikan dalam Ilmiah Ilmu-ilmu Sastra Pasca-sarjana Se-Indonesia. Bandung, UNPASD,
21-22 Oktober.
Bernard, Erlin S. 1996. Application of Schema Theory in Teaching of Reading Using Authentic
Materials. Padang: IKIP
Padang.
Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knop. 1982. Qualitative Research for Education. Boston: Allyn
and Bacon.
Balckburn, Ellen. 1982. The
Rhythm of Writing Development. Cheimsford
MA: Nerex. Inc.
Cohen, L. dan Monion, L.
1980. Research Methods is
Education. London & Canberra:
Croom Helm.
Effendi Thahar, Harris. 2000. "Kreatif
Menulis di Media Massa ". Padang: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS
UNP
Elliot, John. 1991e. Action Research Educational Chang. Philadelphia: Open
University Press.
Emmit, M.T. Pollock. J.With Limbrick,L. 1996. An Introduction to
Language Learning. Oxford university Press.
FBSS, UNP. 1999. Kumpulan Silabus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Padang. FBSS UNP
Huck, Charlotte, S. 1987. Children Literature in The
Elementary School. New Yor: Holt-Rinerhart. Lincoln, Y, dan E.G. Guba. 1985. Naturalistic
Inquiry. Beverly Hills: sage Publications.
McNiff, Jean. 1992. Action Research: Principle
and Practice. London Memilillan Educational Ltd.
Miles, Matthew B. and Huberman A, Michael. 1982.
Analisis
data Kualitatif.
Alih
bahasa oleh Rohidi, Tjetiep Rohendi. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Stewig, John Warren. 1988. Cildren and
literature. Chicago: Rand Me Nally Publishing Company.
Suhor,
Charles. 1984. Thinking Visually about Writing: Three Models for Teaching
Composition's. K-12 Dalam Cristopher J Thais (Ed). Speaking and Writing hl. 74-103. Illiosis: National Council of Teachers of English.